Ilusi yang Menyesatkan: Pikiran yang Bermain
Ilusi yang Menyesatkan: Pikiran yang Bermain
Malam itu hujan turun deras di sebuah desa kecil di kaki gunung. Angin menderu-deru, menerbangkan dedaunan kering dan membuat pepohonan berderak menyeramkan. Dika, seorang mahasiswa yang sedang pulang kampung, duduk di beranda rumahnya sambil menyesap kopi pahit. Sejak kembali ke desa, ia sering mengalami kejadian aneh.
"Kau yakin baik-baik saja, Dik?" tanya Ibu sambil menyentuh bahunya.
Dika mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi kegelisahan. Ia tak ingin membuat ibunya khawatir, tapi akhir-akhir ini ia kerap melihat bayangan hitam di sudut matanya, mendengar suara bisikan ketika tak ada orang di sekitar.
"Mungkin aku hanya kelelahan," gumamnya.
Namun, gangguan itu semakin menjadi. Suatu malam, saat hendak tidur, Dika merasa ada seseorang yang berdiri di sudut kamar. Ia mengintip lewat selimutnya yang sedikit terbuka. Matanya membelalak ketika melihat sosok tinggi dengan mata kosong menatapnya.
"Siapa kau?!" teriaknya sambil meloncat dari tempat tidur.
Sosok itu menghilang dalam sekejap, meninggalkan bau anyir yang menusuk hidung. Dika terengah-engah, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Keesokan harinya, ia menceritakan hal itu pada sahabatnya, Rian.
"Serius, Dik? Mungkin cuma perasaanmu aja. Bisa jadi stres," kata Rian sambil menepuk pundaknya.
"Aku nggak yakin, Yan. Terlalu nyata," jawab Dika, matanya masih menyiratkan ketakutan.
Rian mengajak Dika pergi ke rumah seorang dukun yang dikenal bisa mengusir gangguan makhluk halus. Saat mereka tiba, dukun itu menatap Dika lama, lalu berkata dengan suara berat.
"Kau telah membuka pintu. Ada sesuatu yang menempel padamu."
Dika menelan ludah. "Maksudnya, Pak?"
"Beberapa orang memiliki pikiran yang lebih sensitif, lebih mudah melihat apa yang seharusnya tersembunyi. Dan kau adalah salah satunya."
Dika merasa tubuhnya meremang. Sejak kecil, ia memang sering mengalami kejadian aneh, tapi selalu menganggapnya sebagai ilusi atau permainan pikirannya sendiri.
"Apakah ada cara agar mereka pergi?" tanyanya.
Dukun itu mengangguk. "Aku bisa membantumu, tapi kau harus kuat. Pikiranmu bisa menjadi musuhmu sendiri."
Ritual pun dilakukan. Dupa dibakar, doa-doa dilantunkan. Dika merasakan tubuhnya berat, matanya berkunang-kunang. Dalam kondisi setengah sadar, ia melihat sosok hitam itu lagi, tapi kali ini lebih dekat.
"Jangan percaya pada matamu. Ini semua hanya ilusi..." suara itu berbisik di telinganya.
Dika terbangun dengan terengah-engah. Ritual telah selesai, tapi ia masih merasa ada sesuatu yang mengintainya. Apakah semua ini benar-benar nyata, atau hanya pikiran yang mempermainkannya?
Beberapa hari berlalu, dan kejadian aneh semakin sering terjadi. Lampu di rumahnya berkedip-kedip tanpa sebab, suara langkah kaki terdengar di lorong ketika tak ada siapa-siapa. Bahkan cermin di kamarnya mulai memantulkan bayangan yang tidak sesuai dengan gerakannya.
Suatu malam, Dika merasa tubuhnya lumpuh di tempat tidur. Ia ingin berteriak, tapi suaranya hilang. Sosok hitam itu kembali, kali ini duduk di ujung tempat tidurnya, menatapnya tanpa ekspresi.
"Kau tak bisa lari..." suara itu menggema di kepalanya.
Dika berusaha melawan rasa takutnya, mencoba mengingat nasihat dukun. Ia menutup mata dan berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanyalah permainan pikirannya.
Namun, ketika ia membuka mata, sosok itu masih ada. Lebih dekat. Lebih nyata.
Keesokan harinya, Dika mencari tahu lebih dalam tentang rumahnya. Ia berbicara dengan tetua desa, mencoba menggali sejarah tempat tinggalnya. Ia terkejut ketika mengetahui bahwa tanah tempat rumahnya berdiri dulunya adalah lokasi pembantaian di masa penjajahan. Banyak nyawa yang melayang di sini, dan konon beberapa arwah masih terjebak di dunia ini.
"Mungkin mereka hanya ingin didengar," ujar Pak Lurah.
Dika memutuskan untuk melakukan upacara persembahan. Bersama beberapa warga, ia menyalakan lilin dan menaburkan bunga di halaman rumahnya. Mereka melantunkan doa untuk para arwah, memohon agar mereka menemukan jalan menuju ketenangan.
Sejak malam itu, gangguan mulai berkurang. Bayangan hitam itu tak lagi muncul, cermin kembali memantulkan bayangan sesuai dengan kenyataan, dan suara langkah kaki di lorong tak lagi terdengar.
Namun, Dika tahu, ada sesuatu yang telah berubah dalam dirinya. Ia tak lagi menganggap semua yang dilihatnya sebagai ilusi belaka. Ia kini tahu bahwa ada hal-hal di luar nalar yang benar-benar ada, dan ia harus berhati-hati untuk tidak membuka pintu yang seharusnya tetap tertutup.
Ketika ia hendak tidur malam itu, sebuah bisikan halus terdengar di telinganya.
"Terima kasih..."
Dika menelan ludah. Meskipun semuanya telah berakhir, ia tahu bahwa dunia ini lebih luas dari yang pernah ia bayangkan. Ia menutup matanya, berdoa agar pikirannya tak lagi menjadi celah bagi yang tak kasat mata.
Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, ia tidur dengan tenang.
Posting Komentar