Jangan Pernah Ucapkan Kata Ini di Tengah Malam!

Table of Contents
Jangan Pernah Ucapkan Kata Ini di Tengah Malam! - Cerita Horor Mania

Jangan Pernah Ucapkan Kata Ini di Tengah Malam!

Aldi dan teman-temannya duduk melingkar di teras rumah tua yang mereka sewa untuk liburan akhir pekan. Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Langit gelap tanpa bulan, hanya suara jangkrik dan desir angin yang menemani mereka.

Diangkat dari kisah nyata, nama dan tempat telah disamarkan.

"Kalian tahu nggak? Katanya, kalau kita mengucapkan kata terlarang di tengah malam, kita bisa memanggil sesuatu dari dunia lain," kata Rio, sambil menatap teman-temannya dengan serius.

"Ah, itu cuma mitos," sahut Dinda sambil tertawa kecil. "Banyak cerita horor yang bilang begitu, tapi nggak ada buktinya."

Aldi menghela napas dan memandangi jam di ponselnya. Pukul 23.55. Hanya lima menit lagi sebelum tengah malam. Ia tidak percaya hal-hal mistis, tapi cerita Rio cukup membuat bulu kuduknya berdiri.

"Kata terlarang itu apa, sih?" tanya Sita penasaran.

Rio tersenyum misterius. "Aku nggak bisa bilang. Tapi kalau ada yang nekat mengucapkannya, kita akan tahu akibatnya."

Semua terdiam. Angin berhembus lebih kencang, menggoyangkan dedaunan di pohon besar dekat rumah tua itu.

"Sudahlah, jangan main-main sama hal begituan," kata Aldi akhirnya.

Namun, Dinda justru menantang. Dengan nada mengejek, ia berkata, "Aku nggak takut. Apa pun itu, aku akan mengucapkannya!"

Jam berdentang tepat pukul 00.00. Tanpa ragu, Dinda berbisik pelan kata yang seharusnya tak pernah diucapkan.

"Loro Kidul..."

Hening. Angin tiba-tiba berhenti. Lampu teras berkedip-kedip, lalu padam seketika.

"Hahaha! Nggak terjadi apa-apa, kan?" Dinda tertawa, tetapi suaranya terdengar sedikit gemetar.

Rio menelan ludah. "Seharusnya kita nggak melakukan ini..."

Suara langkah kaki terdengar di belakang mereka. Pelan, menyeret, seolah sesuatu mendekat.

"Siapa itu?" bisik Sita.

Tidak ada yang menjawab. Aldi menyalakan senter ponselnya dan mengarahkannya ke sekitar. Tidak ada siapa-siapa.

"Sudah, ayo masuk ke dalam," kata Aldi dengan suara tegang.

Mereka semua bergegas masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu. Tapi ketegangan belum berakhir.

Ketukan pelan terdengar dari jendela.

Tok... Tok... Tok...

Dinda, yang duduk paling dekat dengan jendela, menoleh perlahan. Matanya membelalak. "Astaga... Ada seseorang di luar!" bisiknya.

Rio menggertakkan giginya. "Jangan lihat! Jangan balas!"

Tapi terlambat. Dinda sudah berdiri dan berjalan mendekat ke jendela. Dengan tangan gemetar, ia mengintip melalui celah gorden.

Di luar, berdiri sosok perempuan berambut panjang dengan gaun putih. Wajahnya tertutup rambut, dan tubuhnya bergoyang perlahan, seolah tidak benar-benar berdiri di tanah.

"Dia... dia melihat ke arah kita!" bisik Dinda ketakutan.

Sita menarik lengan Dinda. "Kita nggak boleh menatapnya! Ayo pergi ke kamar dan kunci pintunya!"

Mereka semua berlari ke dalam kamar, menutup pintu dan menguncinya. Suara ketukan semakin keras.

Tok! Tok! Tok!

Tiba-tiba, ketukan berhenti. Suasana sunyi mencekam.

Aldi mencoba mengatur napasnya. "Kita harus bertahan sampai pagi. Jangan lakukan apa pun yang bisa menarik perhatiannya lagi."

Jam di ponsel menunjukkan pukul 03.00. Mereka duduk saling berdekatan, tak berani mengeluarkan suara.

Tapi tiba-tiba, terdengar suara Dinda.

"Teman-teman... aku kedinginan..."

Aldi menoleh. "Dinda?"

Dinda duduk di pojok ruangan, memeluk lututnya. Matanya kosong, wajahnya pucat. Bibirnya gemetar seolah ingin mengatakan sesuatu.

"Dia... dia ada di sini..." bisiknya.

Rio menutup mulutnya, menahan jeritan. Sita mulai menangis dalam diam.

Perlahan, Dinda mengangkat tangannya dan menunjuk ke sudut ruangan yang gelap.

Aldi mengarahkan senter ponselnya ke sudut itu.

Dan di sana, berdiri sosok perempuan bergaun putih, tersenyum mengerikan.

Layar ponsel tiba-tiba padam. Angin dingin menyapu ruangan.

Dinda berbisik dengan suara parau, "Dia bilang... salah satu dari kita harus ikut bersamanya..."

Sejak malam itu, tidak ada yang melihat Dinda lagi.

Pagi harinya, ketika polisi datang, tidak ada tanda-tanda keberadaan Dinda. Pintu jendela terkunci rapat, tanpa jejak perlawanan.

Namun, di lantai kayu kamar, tergores sebuah tulisan samar.

"Jangan pernah ucapkan namanya..."

Rio, Sita, dan Aldi tak pernah lagi berbicara tentang malam itu. Tapi setiap kali mereka mendengar bisikan angin di tengah malam, mereka merasa seolah Dinda masih bersama mereka.

Atau... sesuatu yang lain menggantikan tempatnya.

Posting Komentar