Jeritan dari Hutan Terlarang
Jeritan dari Hutan Terlarang
Di sebuah desa terpencil di Jawa Timur, terdapat sebuah hutan yang dikenal sebagai Hutan Terlarang. Konon, siapa pun yang masuk ke dalamnya setelah matahari terbenam tidak akan pernah kembali dengan selamat. Namun, bagi Dika dan teman-temannya, kisah itu hanyalah mitos belaka.
"Ah, itu cuma cerita lama buat nakut-nakutin kita," kata Dika, seorang pemuda pemberani yang tidak percaya dengan takhayul.
Suatu malam, Dika bersama tiga temannya, Rina, Bayu, dan Joko, memutuskan untuk membuktikan bahwa hutan itu tidak menyeramkan. Mereka membawa senter dan peralatan sederhana, lalu berjalan memasuki hutan yang gelap.
Langkah pertama mereka terasa biasa saja, tetapi semakin dalam mereka berjalan, hawa dingin tiba-tiba menyelimuti mereka.
"Kenapa tiba-tiba jadi dingin begini?" tanya Rina sambil merapatkan jaketnya.
"Mungkin karena kita sudah makin dalam," jawab Bayu, mencoba mengusir rasa takut.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan melengking dari arah yang tidak bisa ditentukan.
"A... apa itu?" Joko berbisik, suaranya bergetar.
"Mungkin suara burung malam," kata Dika, meskipun nada suaranya terdengar sedikit ragu.
Mereka melanjutkan perjalanan, tetapi suara jeritan itu terdengar semakin dekat, diikuti oleh suara langkah kaki yang berlari.
"Kita balik saja!" teriak Rina, panik.
Mereka bergegas berbalik arah, tetapi jalan yang mereka lewati sebelumnya kini terasa berbeda. Pohon-pohon terlihat lebih rapat, dan kabut mulai turun perlahan.
"Aku rasa kita tersesat," kata Bayu dengan suara gemetar.
Tiba-tiba, sosok bayangan putih melintas di antara pepohonan.
"Itu apa?" tanya Joko dengan suara parau.
Semua menahan napas. Tiba-tiba, sosok itu berbalik, menampakkan wajahnya yang menyerupai wanita tua dengan mata hitam pekat.
Rina menjerit, diikuti oleh jeritan lain yang datang dari segala arah.
"Lari!" Dika berteriak.
Mereka berlarian tanpa arah, hanya berharap bisa keluar dari hutan itu. Nafas mereka tersengal, kaki terasa berat, tetapi suara jeritan terus mengikuti mereka.
Setelah berlari sekuat tenaga, mereka melihat cahaya dari kejauhan. Dengan sisa tenaga, mereka berlari menuju cahaya tersebut dan akhirnya keluar dari hutan.
Namun, ada sesuatu yang janggal. Saat mereka melihat sekeliling, hanya ada tiga orang.
"Joko? Di mana Joko?" Rina menangis.
Bayu dan Dika saling berpandangan. Joko tidak terlihat di antara mereka.
Keesokan harinya, warga desa mencari Joko di hutan itu. Namun, yang mereka temukan hanyalah jaketnya yang tergantung di pohon dengan bekas cakaran di sekelilingnya.
Sejak kejadian itu, tidak ada lagi yang berani memasuki Hutan Terlarang, karena mereka tahu, jeritan yang terdengar setiap malam mungkin adalah suara Joko yang belum bisa keluar dari sana.
Seminggu berlalu, Dika dan Bayu masih belum bisa melupakan kejadian malam itu. Rina jatuh sakit karena trauma, sering mengigau dan menyebut nama Joko dalam tidurnya.
Suatu malam, Dika mendengar suara ketukan di jendela kamarnya. Saat dia melihat keluar, jantungnya hampir berhenti. Di luar, samar-samar terlihat sosok Joko berdiri kaku dengan tatapan kosong.
"Joko?" Dika bergumam pelan.
Namun, saat dia mengedipkan mata, sosok itu menghilang. Dika terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar.
Keesokan harinya, dia menceritakan hal itu kepada Bayu. Bayu yang awalnya skeptis akhirnya percaya ketika dia sendiri melihat jejak kaki basah di depan rumahnya, seolah-olah seseorang telah berdiri di sana semalaman.
Ketakutan mereka semakin menjadi-jadi ketika suara jeritan mulai terdengar setiap malam, kali ini lebih dekat dari sebelumnya.
"Kita harus lakukan sesuatu!" kata Rina dengan suara lirih.
Mereka menemui seorang dukun tua di desa. Sang dukun memperingatkan mereka bahwa roh Joko terjebak di dunia ini dan membutuhkan bantuan untuk pergi dengan tenang.
"Kalian harus kembali ke hutan dan mencari tubuhnya," kata dukun itu.
Dengan hati berat, mereka kembali ke Hutan Terlarang. Malam itu, mereka membawa sesajen dan mantra yang diberikan oleh dukun.
Suasana di dalam hutan terasa lebih menekan. Semakin dalam mereka melangkah, suara jeritan semakin jelas.
Tiba-tiba, mereka menemukan sebuah lubang besar yang tertutup ranting dan daun. Di dalamnya, terlihat sosok tubuh Joko yang membeku dengan ekspresi ketakutan.
Rina menangis tersedu-sedu. Mereka mengikuti ritual yang diajarkan dukun, membakar kemenyan, dan mengucapkan doa.
Angin bertiup kencang, suara jeritan berubah menjadi bisikan pelan sebelum akhirnya menghilang. Tiba-tiba, udara di sekitar mereka menjadi lebih ringan.
"Sudah selesai..." bisik Bayu.
Mereka membawa jasad Joko kembali ke desa untuk dimakamkan dengan layak. Sejak malam itu, suara jeritan tidak pernah terdengar lagi di Hutan Terlarang.
Namun, bagi Dika, Bayu, dan Rina, pengalaman itu akan selamanya terpatri dalam ingatan mereka. Mereka belajar bahwa ada hal-hal yang lebih baik tidak disentuh, dan beberapa mitos ada bukan tanpa alasan.
Hutan Terlarang tetap berdiri, sunyi dan mencekam. Namun, bagi mereka yang pernah merasakan terornya, hutan itu bukan sekadar legenda—itu adalah neraka yang tersembunyi di balik pepohonan rimbun.
Posting Komentar