Kisah Horor dari Zaman Penjajahan

Table of Contents
Kisah Horor dari Zaman Penjajahan - Cerita Horor Mania

Kisah Horor dari Zaman Penjajahan

Di sebuah desa terpencil di Jawa, berdiri sebuah bangunan tua peninggalan zaman penjajahan Belanda. Bangunan itu dulunya adalah kantor administrasi Belanda, tetapi sekarang telah lama terbengkalai. Penduduk desa menyebutnya "Rumah Tuan Wilhem," diambil dari nama seorang pejabat Belanda yang dulu memimpin daerah itu.

Konon, pada masa penjajahan, banyak penduduk desa yang dipaksa bekerja tanpa upah di tempat itu. Mereka yang melawan akan disiksa atau bahkan dihukum mati. Arwah mereka yang tidak tenang dipercaya masih bergentayangan hingga sekarang.

Suatu malam, lima pemuda desa—Rama, Dika, Arif, Joko, dan Sandi—memutuskan untuk menguji keberanian mereka dengan masuk ke dalam rumah itu. Mereka membawa senter dan kamera untuk merekam pengalaman mereka.

“Kalian yakin mau masuk?” tanya Arif, yang tampak sedikit ragu.

“Ayolah, ini cuma bangunan tua. Kita lihat sebentar lalu keluar,” jawab Rama dengan santai.

Mereka melangkah masuk melalui pintu yang sudah lapuk. Begitu berada di dalam, hawa dingin langsung menyelimuti tubuh mereka. Dindingnya berlumut, bau lembap menyengat, dan suasana mencekam terasa begitu kuat.

“Lihat itu,” bisik Sandi sambil menunjuk sebuah kursi tua di sudut ruangan.

Kursi itu bergoyang perlahan, padahal tidak ada angin. Mereka saling berpandangan dengan wajah pucat.

“Mungkin cuma tikus,” ujar Dika, meskipun suaranya terdengar ragu.

Mereka melanjutkan perjalanan ke ruang utama. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari lantai atas.

“Siapa itu?!” teriak Joko.

Tidak ada jawaban. Dengan tangan gemetar, mereka menaiki tangga yang berderit. Begitu sampai di atas, mereka melihat sebuah ruangan dengan pintu yang setengah terbuka. Cahaya senter mereka menerangi sekeliling, tetapi yang mereka lihat justru membuat darah mereka membeku.

Di dalam ruangan itu, ada bayangan seorang pria tinggi dengan seragam kolonial Belanda. Wajahnya pucat, matanya kosong, dan di tangannya ada cambuk yang sudah usang.

“Keluar dari sini...” suara dalam bahasa Belanda terdengar menggema.

Rama mencoba bersikap berani. “Siapa kau?!”

Namun, sosok itu bergerak cepat ke arah mereka. Dengan panik, mereka berlari menuruni tangga, tetapi tiba-tiba pintu depan tertutup sendiri. Mereka berusaha membukanya, tetapi sia-sia.

Dari balik gelapnya ruangan, terdengar suara tangisan dan rintihan kesakitan.

“Ini pasti arwah para pekerja paksa itu,” bisik Sandi ketakutan.

Dalam kepanikan, mereka memutuskan untuk mencari jalan keluar lain. Namun, semakin mereka berjalan, semakin mereka merasa seperti tersesat dalam rumah yang seharusnya tidak begitu besar.

“Tidak mungkin... kita sudah melewati lorong ini tadi!” seru Joko.

Ruangan berubah menjadi labirin tanpa ujung. Cahaya senter mulai meredup, menambah kengerian yang mereka rasakan.

Lalu, tiba-tiba terdengar suara keras, seperti seseorang membanting meja.

“Keluar... atau kalian akan bernasib sama!”

Suara itu bergema begitu kuat hingga mereka merasa kepala mereka bergetar. Dengan sisa keberanian, mereka menutup mata dan berteriak serempak.

“Kami tidak mengganggu! Kami hanya ingin pergi!”

Begitu mereka membuka mata, pintu depan yang sebelumnya terkunci kini terbuka lebar. Tanpa pikir panjang, mereka segera berlari keluar tanpa menoleh ke belakang.

Begitu mereka sampai di luar, rumah itu terlihat seperti biasa—sepi dan tak bergerak. Namun, saat mereka melihat rekaman kamera yang mereka bawa, ada sesuatu yang membuat mereka merinding.

Di rekaman itu, ada bayangan hitam yang bergerak di belakang mereka sepanjang waktu, seolah-olah mengawasi mereka sejak awal.

Sejak malam itu, tidak ada satu pun dari mereka yang berani mendekati rumah Tuan Wilhem lagi.

Namun, kejadian menyeramkan tidak berhenti di sana. Malam-malam berikutnya, mereka mulai mengalami gangguan aneh. Arif sering mendengar suara langkah kaki di luar kamarnya, meskipun ia tinggal sendirian. Sandi menemukan bekas cakaran di dinding rumahnya yang tidak pernah ada sebelumnya. Joko bermimpi buruk setiap malam tentang seorang pria Belanda yang menatapnya dengan marah.

Suatu hari, mereka memutuskan untuk menemui seorang sesepuh desa untuk mencari tahu lebih lanjut tentang sejarah rumah tersebut.

“Kalian telah membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap tertidur,” kata sang sesepuh dengan nada serius.

Ia bercerita bahwa Tuan Wilhem adalah seorang pejabat yang kejam. Ia sering menyiksa penduduk setempat, dan konon, sebelum meninggal, ia mengutuk rumah itu agar siapa pun yang mengganggu akan menerima balasan.

“Lalu, apa yang harus kami lakukan?” tanya Rama.

“Kalian harus mengadakan ritual permintaan maaf dan meninggalkan sesaji di depan rumah itu. Jika tidak, roh-roh itu tidak akan membiarkan kalian hidup dengan tenang,” jawab sang sesepuh.

Malam harinya, mereka mengikuti saran tersebut. Mereka membawa sesaji berupa kemenyan, bunga tujuh rupa, dan ayam hitam ke depan rumah tua itu. Dengan gemetar, mereka membacakan doa dan meminta maaf atas gangguan yang telah mereka lakukan.

Begitu ritual selesai, angin kencang berhembus, lalu tiba-tiba semuanya menjadi sunyi. Sejak saat itu, gangguan mulai mereda. Namun, mereka tetap berjanji tidak akan pernah kembali ke rumah Tuan Wilhem lagi.

Namun, pada suatu malam, seseorang mengetuk pintu rumah Rama. Ketika ia membukanya, tidak ada siapa-siapa. Hanya ada jejak kaki basah yang menuju ke dalam rumahnya.

Posting Komentar