Pemburu: Pengejaran yang Mencekam

Table of Contents
Pemburu, Pengejaran yang Mencekam - Cerita Horor Mania

Pemburu: Pengejaran yang Mencekam

Di sebuah desa terpencil di Sumatera, tersebar kisah tentang sosok pemburu yang gentayangan di hutan. Konon, ia adalah arwah seorang pemburu yang mati mengenaskan setelah dikhianati oleh rekannya. Kini, ia memburu siapa saja yang berani memasuki wilayahnya.

"Jangan pernah masuk ke hutan itu saat malam tiba," kata Pak Jono, seorang tetua desa, memperingatkan Rio dan teman-temannya.

Namun, seperti kebanyakan anak muda, mereka tidak percaya begitu saja.

"Ayolah, kita hanya ingin berburu rusa. Tidak ada yang perlu ditakuti," ujar Didi, salah satu teman Rio.

Dengan membawa senjata dan senter, mereka berempat—Rio, Didi, Andi, dan Jaka—memasuki hutan saat senja mulai turun.

Awalnya, semuanya terasa biasa saja. Namun, setelah beberapa jam berlalu tanpa satu pun hewan yang terlihat, kegelisahan mulai menjalar di antara mereka.

"Kenapa hutan ini terasa begitu sepi?" bisik Andi.

"Entahlah, tapi aku merasa kita sedang diawasi," tambah Jaka, menggenggam erat senapannya.

Tiba-tiba, terdengar suara ranting patah di belakang mereka.

"Siapa itu?!" Rio menyorotkan senter ke arah suara, tapi yang mereka lihat hanya kegelapan.

"Mungkin hanya binatang," kata Didi, meski suaranya sedikit bergetar.

Namun, saat mereka hendak melanjutkan perjalanan, terdengar suara langkah kaki berat yang bergerak mendekat.

"Cepat kita pergi dari sini!" teriak Andi.

Mereka mulai berlari, tetapi suara langkah itu semakin mendekat, disertai dengan suara napas berat yang terdengar jelas di belakang mereka.

Rio mencoba melihat ke belakang dan terkejut saat melihat sosok tinggi besar dengan mata merah menyala. Wajahnya hancur dan tubuhnya penuh dengan bekas luka.

"Itu dia! Pemburu itu!" Jaka menjerit.

Mereka berlari sekuat tenaga, tetapi satu per satu mereka mulai terpisah. Didi tersandung akar pohon dan jatuh.

"Didi! Bangun!" teriak Rio, tapi sebelum dia bisa mendekat, sosok itu telah berada di atas Didi.

"Tolong!" jerit Didi sebelum suaranya menghilang.

Tanpa berpikir panjang, Rio, Jaka, dan Andi terus berlari hingga mereka menemukan sebuah gubuk tua.

"Masuk cepat!" perintah Jaka.

Mereka menutup pintu dan menahan napas, mendengar suara langkah mendekat.

Hening. Lalu, suara ketukan pelan terdengar di pintu.

"Kita harus bertahan sampai pagi," bisik Andi.

Mereka bertiga duduk di pojok ruangan, berharap malam segera berlalu. Namun, ketukan itu terus berlanjut, semakin keras.

Akhirnya, menjelang fajar, suara itu menghilang. Mereka memberanikan diri keluar dan kembali ke desa.

Namun, saat mereka tiba, semua orang terkejut.

"Mana Didi?" tanya Pak Jono.

Rio hanya bisa menggeleng. Dan saat mereka kembali ke hutan untuk mencari Didi, yang mereka temukan hanyalah senapan dan bekas cakaran di tanah.

Sejak saat itu, tak ada lagi yang berani berburu di hutan itu. Pemburu masih ada di sana, mengintai, mencari korban berikutnya.

Namun, kisah mereka belum berakhir. Malam berikutnya, suara ketukan kembali terdengar di rumah Rio. Kali ini, lebih keras dan berulang.

"Siapa di luar?" Rio memberanikan diri bertanya, tetapi tidak ada jawaban.

Jaka yang datang ke rumahnya untuk menginap ikut mendengar suara itu. "Jangan buka pintunya," bisiknya.

Namun, rasa penasaran mengalahkan ketakutan. Rio mengintip melalui celah jendela, dan melihat sosok bayangan berdiri di depan pintu. Bayangan itu terlihat mengenakan pakaian seperti Didi.

"Didi?" Rio bergumam, lalu dengan cepat membuka pintu.

Namun, yang ada di hadapannya bukanlah Didi. Wajah itu penuh luka, mata merah menyala, dan mulutnya tersenyum lebar dengan gigi tajam yang berkilau di bawah cahaya bulan.

Rio menjerit dan menutup pintu sekuat tenaga. Jaka segera menahan dengan tubuhnya.

"Itu bukan Didi! Itu dia!" Jaka berteriak.

Suara gedoran semakin keras. Rumah itu bergetar, dan tiba-tiba lampu padam.

"Kita harus pergi dari sini!" kata Jaka.

Mereka mencoba kabur melalui jendela belakang, berlari ke rumah Pak Jono.

"Apa yang terjadi?!" Pak Jono membukakan pintu dan melihat wajah panik mereka.

Setelah mendengar cerita mereka, Pak Jono segera memanggil seorang dukun desa. Dukun itu memperingatkan mereka bahwa arwah pemburu itu marah karena wilayahnya diganggu.

"Kalian harus mengembalikan sesuatu yang miliknya. Ada yang membawa barang dari hutan itu?" tanya sang dukun.

Rio tiba-tiba teringat. Didi sempat mengambil pisau berburu yang mereka temukan di dekat pohon besar.

"Pisaunya! Didi membawanya!" Rio berteriak.

Dukun itu segera menyiapkan ritual. Mereka harus mengembalikan pisau itu ke tempat asalnya sebelum matahari terbit, atau arwah pemburu akan terus menghantui mereka.

Dengan keberanian yang tersisa, mereka kembali ke hutan. Malam itu, suasana lebih mencekam. Udara semakin dingin, dan suara langkah terdengar mengikuti mereka.

Ketika mereka tiba di tempat Didi menemukan pisau itu, sang dukun mulai membaca mantra.

"Cepat! Letakkan pisau itu di sini!" kata dukun.

Rio menggali tanah dan menaruh pisau tersebut. Angin berhembus kencang, suara jeritan panjang menggema di hutan, lalu semuanya kembali sunyi.

Mereka pun segera berlari kembali ke desa.

Sejak saat itu, tidak ada lagi yang mengalami gangguan. Hutan kembali sunyi, tetapi legenda tentang pemburu itu tetap hidup, mengingatkan mereka bahwa beberapa hal memang sebaiknya tidak diganggu.

Posting Komentar