Kegilaan: Batas Antara Nyata dan Khayalan
Kegilaan: Batas Antara Nyata dan Khayalan
Malam itu, hujan turun dengan derasnya di sebuah desa terpencil di Jawa Tengah. Angin berhembus kencang, membuat dedaunan berdesir seperti bisikan yang mengancam. Di dalam sebuah rumah joglo tua, Arman duduk termenung di depan cermin besar yang berbingkai kayu jati. Tatapan matanya kosong, tapi bayangan di dalam cermin menatapnya dengan senyum mengerikan.
"Aku tidak gila," bisik Arman, suaranya bergetar.
Namun, sosok di dalam cermin justru menyeringai lebih lebar. Arman mundur selangkah, napasnya tersengal. Sejak ia pindah ke rumah warisan kakeknya ini, ia mulai mengalami kejadian aneh. Suara-suara berbisik, bayangan yang bergerak sendiri, dan mimpi buruk yang terasa nyata.
"Arman, kamu baik-baik saja?" tanya Sinta, istrinya, yang muncul dari balik pintu dengan wajah cemas.
Arman menggeleng pelan. "Aku merasa... ada yang memperhatikanku dari dalam cermin ini."
Sinta menatap cermin besar itu dan bergidik. "Sejak kapan kamu mulai merasa seperti ini?"
"Sejak malam pertama kita di sini. Aku mendengar suara-suara, dan kadang bayanganku tidak bergerak bersamaan denganku."
Sinta menelan ludah. Ia sendiri sering merasa ada yang tidak beres di rumah ini, tapi ia mencoba mengabaikannya. "Besok kita panggil orang pintar, ya? Mungkin ini hanya perasaanmu saja, Man."
Namun, malam itu, sesuatu terjadi.
Arman terbangun oleh suara langkah kaki di dalam kamarnya. Ia membuka mata dan melihat sosoknya sendiri berdiri di ujung tempat tidur, menatapnya dengan mata kosong. Arman membeku. Itu bukan bayangan. Itu dirinya sendiri, tapi dengan ekspresi yang berbeda.
"Aku bukan khayalanmu, Arman. Akulah yang nyata," kata sosok itu dengan suara berat.
Arman tidak bisa bergerak. Dadanya sesak. Sosok itu perlahan mendekat, dan Arman merasakan hawa dingin menyelimutinya.
"Aku akan mengambil alih," bisik sosok itu sebelum segalanya menjadi gelap.
Keesokan harinya, Sinta menemukan Arman berdiri di depan cermin dengan ekspresi datar. Matanya kosong, tetapi bibirnya membentuk senyum yang tidak biasa.
"Man? Kamu kenapa?"
Arman menoleh perlahan, dan senyumnya melebar. "Aku baik-baik saja, Sinta. Sangat baik."
Sesuatu dalam suara suaminya membuat bulu kuduk Sinta berdiri. Ada yang tidak beres. Arman tidak lagi terlihat seperti suaminya.
Sejak saat itu, Arman berubah. Ia sering berbicara sendiri, tertawa tanpa alasan, dan lebih sering menatap cermin dengan penuh kekaguman.
"Cermin itu harus dibuang," kata Sinta kepada Pak Rahmat, tetua desa.
Pak Rahmat mengangguk. "Rumah itu memang sudah lama dikenal angker. Dahulu, pemiliknya adalah seorang dukun sakti yang memiliki ilmu pengganda bayangan. Ia ingin hidup abadi dengan menciptakan duplikat dirinya di dalam cermin. Namun, ritualnya gagal, dan arwahnya terjebak di sana."
Sinta merinding. "Jadi, yang aku lihat sekarang bukan Arman?"
Pak Rahmat menghela napas. "Mungkin hanya tubuhnya. Jiwanya bisa saja sudah tergantikan."
Tanpa membuang waktu, Pak Rahmat dan beberapa warga desa datang ke rumah Arman. Mereka membawa sesajen dan mantra-mantra untuk menutup cermin terkutuk itu.
Namun, ketika mereka hendak memulai ritual, Arman berdiri di depan cermin dan tertawa. "Terlambat. Aku sudah menjadi bagian dari ini."
Dengan sekali tepukan tangan, cermin itu bergetar dan mulai retak. Sosok-sosok samar muncul dari dalamnya, menjerit dalam kesakitan.
Pak Rahmat dengan cepat mengucapkan mantra, menaburkan garam dan kemenyan ke sekeliling cermin. "Kembalilah ke tempat asalmu!" serunya.
Arman menjerit, tubuhnya bergetar hebat. Dari dalam cermin, sosok asli Arman muncul dengan wajah penuh penderitaan.
"Sinta! Tolong aku!"
Sinta menahan tangis. "Bagaimana caranya?"
"Hancurkan cerminnya!"
Tanpa berpikir panjang, Sinta mengambil palu dan menghantam cermin dengan sekuat tenaga. Cermin itu pecah berkeping-keping, dan suara jeritan menggema di seluruh rumah.
Arman jatuh ke lantai, napasnya tersengal. Saat ia membuka mata, ekspresi aneh itu telah hilang. Ia kembali menjadi Arman yang Sinta kenal.
"Sinta...?"
"Kamu kembali!" Sinta memeluk suaminya erat.
Pak Rahmat menghela napas lega. "Syukurlah, semuanya sudah berakhir."
Namun, saat mereka beranjak pergi, di antara pecahan cermin, ada satu pantulan yang masih tersenyum... seolah menunggu kesempatan berikutnya.
Sejak hari itu, Arman dan Sinta memutuskan untuk meninggalkan rumah itu dan kembali ke kota. Namun, gangguan tidak berhenti sampai di sana. Setiap kali Arman melihat bayangannya di cermin, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kadang, refleksi di cermin masih menyeringai meskipun ia sendiri tidak tersenyum.
Beberapa malam setelah kejadian itu, Sinta terbangun mendengar suara tawa pelan. Ia menoleh ke arah kamar mandi dan melihat sesuatu yang membuatnya nyaris menjerit. Di depan cermin, bayangan Arman berdiri diam dengan senyum mengerikan.
"Arman... kamu baik-baik saja?" suaranya bergetar.
Arman yang tidur di sampingnya tidak menjawab.
Sinta berani melirik ke sebelahnya, dan darahnya membeku. Arman masih tertidur pulas di tempat tidur.
Lalu... siapa yang ada di cermin?
Posting Komentar