Kisah Horor: Pocong Gentayangan di Jalanan Sumatera

Table of Contents
Kisah Horor, Pocong Gentayangan di Jalanan Sumatera - Cerpen Horor Mania

Kisah Horor: Pocong Gentayangan di Jalanan Sumatera

Malam itu gelap pekat. Langit tanpa bintang, hanya ada bulan samar yang tertutup kabut tipis. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma basah dari tanah yang baru saja diguyur hujan. Di sebuah desa terpencil di Sumatera, jalanan sepi tanpa seorang pun yang berani keluar rumah setelah jam sembilan malam.

Namun, Budi, seorang pemuda desa, terpaksa harus pulang larut malam setelah membantu pamannya di desa sebelah. Ia mengendarai motornya melewati jalanan yang sunyi, hanya ditemani suara jangkrik dan gemerisik dedaunan yang tertiup angin.

“Ah, sepi sekali malam ini,” gumam Budi sambil mengeraskan suara motornya untuk mengusir rasa takut.

Jalanan itu terkenal angker. Sudah banyak cerita tentang penampakan makhluk menyeramkan, terutama pocong yang sering terlihat melompat-lompat di tengah jalan. Namun, Budi tidak percaya hal semacam itu. Baginya, semua hanya takhayul untuk menakut-nakuti anak kecil.

Setelah beberapa kilometer berkendara, tiba-tiba udara menjadi semakin dingin. Budi merapatkan jaketnya, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Angin berhembus lebih kencang, membawa suara lirih yang samar terdengar di telinganya.

"Hssssss..."

Budi menoleh ke kanan dan kiri, namun tak ada siapa-siapa. Ia mempercepat laju motornya, tapi suara itu semakin jelas.

"Hssssss... kembalikan..."

Jantungnya berdegup kencang. Dari kaca spion, ia melihat sesuatu yang membuatnya hampir kehilangan kendali.

Di belakangnya, sebuah sosok putih melompat-lompat mengikuti motornya. Pocong! Matanya kosong, wajahnya pucat, dan kain kafannya masih basah seolah baru saja keluar dari liang kubur.

“Astaga! Tidak mungkin!” teriak Budi panik.

Ia menambah kecepatan, berharap bisa menjauh dari makhluk itu. Namun, pocong itu semakin dekat. Suara kain kafannya yang tertiup angin terdengar jelas di telinganya. Budi ingin berteriak, tapi suaranya tercekat.

Ketika ia memasuki tikungan, sesuatu yang lebih mengerikan terjadi. Tiba-tiba, pocong itu sudah berada di depan motornya!

Budi mengerem mendadak. Ban motornya tergelincir, dan ia terjatuh di tengah jalan. Tubuhnya terasa sakit, namun ia tahu ia tidak punya waktu untuk merintih. Dengan gemetar, ia menoleh ke depan. Sosok pocong itu berdiri diam, menghadapnya.

“Kembalikan… kembalikan…” suara serak itu terdengar seperti bisikan, namun cukup jelas di telinga Budi.

“Kembalikan apa? Aku tidak mengambil apa-apa!” Budi berusaha bangkit, tapi kakinya lemas.

Pocong itu perlahan mendekat, matanya yang kosong seperti menatap langsung ke dalam jiwanya. Angin berhembus semakin dingin, aroma anyir menyebar di udara.

Budi teringat sesuatu. Beberapa hari lalu, ia dan teman-temannya menemukan sebuah makam tua di pinggir desa. Salah satu dari mereka, Doni, nekat mengambil tali kafan yang terlepas dari sebuah kuburan. Mereka menganggap itu hanya benda biasa, tetapi ternyata…

“Doni! Ini pasti gara-gara Doni!” pikir Budi.

Dengan sisa keberanian yang ada, ia merogoh ponselnya dan menghubungi Doni. Setelah beberapa dering, suara mengantuk Doni terdengar.

“Halo, Bud? Malam-malam gini kenapa?”

“Cepat! Kembalikan tali kafan yang kamu ambil! Aku sedang diburu pocong di jalanan!” teriak Budi dengan napas tersengal.

Doni terdiam. Setelah beberapa detik, suaranya terdengar gugup.

“A-aku… aku masih menyimpannya. Baiklah, aku akan mengembalikannya sekarang juga!”

Setelah itu, suara tawa seram terdengar dari pocong di depan Budi. Ia mundur ketakutan, tubuhnya gemetar hebat.

Beberapa menit berlalu yang terasa seperti selamanya. Lalu, sesuatu yang aneh terjadi. Pocong itu tiba-tiba berhenti bergerak. Angin kembali normal, dan udara dingin perlahan menghilang. Sosok itu memutar tubuhnya perlahan, lalu melompat menjauh hingga akhirnya lenyap di kegelapan.

Budi terengah-engah, tubuhnya masih gemetar. Ia berusaha berdiri dan mengambil motornya yang tergeletak di jalan. Dengan sisa tenaga, ia kembali ke rumahnya tanpa menoleh ke belakang.

Keesokan paginya, Doni mengabarkan bahwa ia telah mengembalikan tali kafan ke makam tempat ia mengambilnya. Sejak saat itu, tidak ada lagi penampakan pocong di jalanan desa.

Budi dan teman-temannya belajar dari kejadian itu. Mereka tidak lagi berani mengganggu makam atau benda-benda yang berhubungan dengan dunia lain. Karena mereka tahu, ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan tetap dalam keheningan.

Namun, cerita tidak berakhir di situ.

Minggu berikutnya, seorang warga desa melaporkan bahwa ia melihat sosok pocong yang sama di area makam tua. Kali ini, pocong itu tidak hanya melompat-lompat, tetapi juga menangis lirih. Tangisan itu begitu menyayat hati, seperti seseorang yang tersiksa dan tak bisa pergi dengan tenang.

Pak RT pun memutuskan untuk mengundang seorang dukun kampung, Mbah Surya, untuk melakukan ritual pembersihan. Malam itu, seluruh warga berkumpul di sekitar makam dengan obor di tangan. Mereka berdoa bersama, berharap arwah yang gentayangan bisa kembali ke tempatnya.

Ketika Mbah Surya mulai membaca doa-doa, angin bertiup lebih kencang. Tiba-tiba, terdengar suara erangan panjang.

“Uhhhhhh…”

Semua orang menahan napas. Dari dalam tanah, terdengar rintihan lirih.

“Biarkan aku pergi…”

Mbah Surya terus melanjutkan doa-doanya, hingga akhirnya suara itu menghilang, dan angin kembali normal. Sejak saat itu, tidak ada lagi yang melihat pocong gentayangan di jalanan Sumatera.

Namun, legenda ini tetap diceritakan turun-temurun. Sebagai pengingat, bahwa tidak semua yang telah pergi bisa benar-benar beristirahat dalam damai.

Posting Komentar