Kisah Noni Belanda: Arwah Gentayangan
Kisah Noni Belanda: Arwah Gentayangan
Di salah satu sudut kota tua di Indonesia, berdiri sebuah rumah tua peninggalan zaman kolonial. Rumah itu telah lama terbengkalai, namun warga sekitar percaya bahwa ada sesuatu yang masih mendiami tempat itu—arwah seorang Noni Belanda yang meninggal secara tragis di masa lalu.
Raka, seorang jurnalis muda, tertarik untuk mengungkap misteri rumah tersebut. Bersama temannya, Andi dan Sarah, mereka memutuskan untuk menyelidiki tempat yang disebut-sebut sebagai "Rumah Noni" oleh penduduk setempat.
"Kalian yakin mau masuk ke sana malam ini?" tanya Pak Darto, seorang warga yang sudah tinggal di daerah itu selama puluhan tahun.
"Kami hanya ingin melihat dan mungkin mengabadikan beberapa gambar untuk artikel kami," jawab Raka.
Pak Darto menghela napas panjang. "Baiklah, tapi ingat satu hal. Jangan pernah menyebut nama Maria di dalam rumah itu."
Andi mengernyitkan dahi. "Maria? Siapa itu?"
Pak Darto menatap mereka dengan sorot mata serius. "Maria adalah putri seorang pejabat Belanda yang tinggal di rumah itu. Dia bunuh diri setelah dikhianati oleh kekasihnya. Arwahnya dipercaya masih berkeliaran, mencari orang yang mengusik ketenangannya."
Meskipun merasa sedikit was-was, Raka dan teman-temannya tetap melanjutkan rencana mereka. Mereka memasuki rumah itu menjelang tengah malam, hanya berbekal senter dan kamera.
Di dalam rumah, suasana terasa sangat sunyi. Debu tebal menutupi lantai, dan perabotan tua masih berdiri di tempatnya seolah waktu berhenti berputar.
"Serem juga ya," bisik Sarah.
Andi tertawa kecil. "Ini cuma rumah tua, jangan terlalu tegang."
Mereka mulai memotret berbagai sudut rumah. Namun, saat mereka melewati sebuah cermin besar di ruang tamu, Sarah terkejut.
"Aku... aku melihat seseorang di cermin tadi!" katanya panik.
Raka mendekati cermin itu, tapi tak melihat apa-apa selain bayangan mereka sendiri. "Mungkin cuma bayanganmu, Sarah."
Namun, keanehan semakin terasa. Mereka mulai mendengar suara langkah kaki di lantai atas, padahal mereka tahu tidak ada orang lain di rumah itu.
"Kita harus periksa," kata Raka, mencoba tetap tenang.
Mereka naik ke lantai dua, mengikuti suara langkah itu. Mereka tiba di sebuah kamar besar dengan tempat tidur tua yang masih berdiri tegak. Di atas meja rias, ada foto seorang gadis muda berambut pirang dengan mata biru yang tajam.
"Maria..." gumam Andi tanpa sadar.
Begitu nama itu disebut, lampu senter mereka tiba-tiba berkedip dan mati. Udara di sekitar mereka mendadak menjadi dingin, dan suara perempuan menangis terdengar jelas.
"Kita harus keluar dari sini!" seru Sarah, ketakutan.
Namun sebelum mereka bisa bergerak, pintu kamar tertutup sendiri dengan keras. Di sudut ruangan, sosok wanita berbaju putih dengan rambut panjang menjuntai berdiri, menatap mereka dengan mata kosong.
"Kenapa kalian datang?" suaranya terdengar sayup, namun penuh kesedihan.
Andi berusaha berteriak, tapi tubuhnya kaku. Raka menggenggam tangan Sarah, berusaha mencari cara untuk keluar.
"Kami tidak berniat mengganggu... maafkan kami," kata Raka dengan suara gemetar.
Namun, sosok itu justru melangkah mendekat. Wajahnya perlahan berubah menjadi menyeramkan, matanya kosong, bibirnya membiru.
"Pergi... atau kalian akan bernasib sama denganku..." bisiknya.
Tanpa pikir panjang, mereka berlari keluar dari kamar itu. Pintu yang sebelumnya terkunci mendadak terbuka sendiri. Mereka menuruni tangga dengan tergesa-gesa, lalu berlari keluar dari rumah itu.
Begitu tiba di luar, mereka menoleh ke belakang. Dari jendela lantai dua, sosok Maria masih berdiri di sana, menatap mereka dengan tatapan penuh duka.
Sejak malam itu, mereka tak pernah kembali ke rumah itu lagi. Dan Raka menyadari satu hal—beberapa rahasia memang lebih baik dibiarkan terkubur.
Namun, kejadian aneh tak berhenti di sana. Beberapa malam setelah kunjungan ke rumah Maria, Raka mulai mengalami mimpi buruk. Ia selalu bermimpi berada di kamar tempat Maria muncul. Dalam mimpinya, Maria berdiri di depan cermin, menatapnya dengan senyum penuh kesedihan.
"Kau sudah datang... sekarang aku bisa pergi...?"
Raka terbangun dengan tubuh bersimbah keringat. Ia mencoba mengabaikan mimpi itu, tapi kejadian aneh mulai terjadi. Kamera yang digunakannya untuk mengambil gambar di rumah Maria tiba-tiba mati total. Saat ia menyalakan ulang dan melihat galeri foto, ada satu gambar yang tidak diingatnya pernah diambil—potret seorang wanita dengan gaun putih, berdiri tepat di belakangnya.
Ketakutan, Raka mencoba menghubungi Andi dan Sarah. Namun, mereka juga mengalami hal yang sama. Sarah mengaku mendengar suara tangisan di rumahnya pada tengah malam, sementara Andi merasa selalu diawasi oleh sosok yang tak terlihat.
"Kita harus melakukan sesuatu," kata Sarah dengan suara gemetar saat mereka bertemu di kafe.
Andi mengangguk. "Kita harus menemui Pak Darto. Mungkin dia tahu cara menghentikan ini."
Pak Darto, yang mendengar cerita mereka, hanya menghela napas berat. "Aku sudah memperingatkan kalian. Sekarang satu-satunya cara untuk menghentikan ini adalah dengan mengembalikan sesuatu yang mungkin kalian bawa dari rumah itu."
Raka teringat sesuatu. "Aku membawa selembar foto Maria dari meja riasnya. Mungkin ini penyebabnya."
"Kembalikan foto itu ke tempatnya. Dan ingat, jangan pernah berbicara atau menjawab suara apa pun yang kalian dengar di rumah itu," kata Pak Darto tegas.
Dengan rasa takut, mereka kembali ke rumah itu. Malam itu, suasana terasa lebih mencekam. Begitu masuk, suara tangisan kembali terdengar. Raka dengan cepat meletakkan foto itu di meja rias.
Angin dingin tiba-tiba berhembus, dan suara Maria terdengar lirih, "Terima kasih..."
Sejak saat itu, gangguan yang mereka alami perlahan menghilang. Namun, bagi mereka bertiga, pengalaman ini menjadi pelajaran bahwa beberapa rahasia sebaiknya tetap terkubur. Dan bahwa rumah itu, serta arwah Maria, akan terus menjadi bagian dari misteri yang tak akan pernah terpecahkan.
Posting Komentar