Teka-Teki yang Mematikan

Table of Contents
Teka-Teki yang Mematikan - Cerita Horor Mania

Teka-Teki yang Mematikan

Malam itu, hujan deras mengguyur desa kecil di pinggiran Jawa Timur. Petir sesekali menyambar langit gelap, menciptakan kilatan cahaya yang singkat namun menyeramkan. Di sebuah rumah tua yang sudah lama tak berpenghuni, empat orang remaja duduk melingkar di ruang tamu yang penuh debu. Mereka adalah Raka, Andi, Sita, dan Lilis.

"Jadi, kita benar-benar mau main permainan ini?" tanya Lilis dengan suara gemetar.

"Sudah terlanjur masuk, kita harus selesaikan," sahut Raka dengan nada yakin.

Andi menyalakan lilin di tengah lingkaran mereka. "Permainan ini disebut ‘Teka-Teki yang Mematikan’. Konon, jika kita tidak bisa menjawab teka-teki yang diberikan, sesuatu yang buruk akan terjadi."

Sita menelan ludah. "Siapa yang kasih teka-teki?"

"Kita akan mengetahuinya sebentar lagi," jawab Andi, lalu membaca mantra dari secarik kertas yang ditemukan di dalam rumah.

Udara mendadak menjadi dingin. Lilin tiba-tiba bergetar, seolah ada angin tak kasat mata yang meniupnya. Kemudian, suara berat bergema di dalam ruangan.

"Siapa yang berani memanggilku?"

Keempatnya membeku. Mata mereka mencari sumber suara, namun yang terlihat hanya bayangan hitam di sudut ruangan.

"Kalian ingin bermain? Jawab teka-tekiku. Jika benar, kalian boleh pergi. Jika salah…" Bayangan itu tertawa pelan. "Satu per satu akan menghilang."

Andi menelan ludah. "Baik, kami siap."

Bayangan itu mendekat. "Dengarkan baik-baik… Aku punya banyak wajah, tapi tidak punya mata. Aku bisa hidup tanpa bernapas. Siapakah aku?"

Sita menggigit bibirnya. "Banyak wajah… tapi tidak punya mata…"

"Cepat jawab," desak bayangan itu.

Raka berpikir keras. "Cermin?"

Bayangan itu terdiam sesaat, lalu tertawa. "Kalian beruntung. Jawaban benar."

Keempat remaja menghela napas lega.

"Tapi permainan belum selesai," lanjut bayangan itu. "Sekarang, teka-teki kedua. Aku berjalan tanpa kaki, aku bisa membunuh dalam diam. Aku tidak terlihat, tapi bisa dirasakan. Apakah aku?"

Lilis mulai menangis pelan. "Aku tidak suka ini…"

Andi memegang tangannya. "Kita harus tetap tenang."

Raka berpikir keras. "Sesuatu yang berjalan tanpa kaki… yang membunuh…"

"Jawabannya angin!" teriak Sita tiba-tiba.

Bayangan itu mendesis marah. "Benar lagi. Tapi apakah kalian bisa menjawab yang terakhir?"

Ruangan semakin gelap. Udara makin dingin. "Aku datang saat malam, membawa mimpi buruk. Aku bisa berada di cermin, di bayangan, atau di hatimu. Siapakah aku?"

Andi merasa jantungnya berdetak lebih cepat. "Ini pasti…"

Sebelum ia bisa menjawab, lilin padam. Suasana menjadi gelap gulita.

"Waktunya habis," bisik suara di telinga mereka.

Satu per satu, mereka mulai menghilang dalam kegelapan.

Ketika cahaya kembali menyala, hanya Raka yang masih ada di tempatnya. Andi, Sita, dan Lilis menghilang tanpa jejak. Napasnya memburu, jantungnya berdegup kencang.

"Apa… apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara bergetar.

Bayangan itu mendekat, semakin jelas bentuknya. Sosoknya tinggi, dengan wajah hitam pekat tanpa fitur jelas. Hanya matanya yang bersinar merah.

"Mereka telah gagal… dan sekarang, giliranmu."

Raka merasakan tubuhnya kaku. Ia tahu bahwa ia harus menjawab dengan benar atau mengalami nasib yang sama.

"Aku datang saat malam, membawa mimpi buruk. Aku bisa berada di cermin, di bayangan, atau di hatimu," gumamnya mengulang pertanyaan itu.

Ketakutan menjalar di tubuhnya. Lalu, sesuatu terlintas di benaknya. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Jawabannya adalah ketakutan!"

Bayangan itu terdiam. Ruangan terasa bergetar. Sosok mengerikan itu melengking marah sebelum akhirnya memudar, meninggalkan suara berbisik, "Kali ini kau selamat… tapi aku akan kembali."

Dalam sekejap, cahaya lilin kembali menyala. Dan di depan matanya, Andi, Sita, dan Lilis tergeletak di lantai. Mereka tampak pingsan.

Raka mengguncang tubuh mereka. "Bangun! Kalian selamat!"

Perlahan, ketiganya membuka mata. Mereka tampak bingung, seakan baru saja mengalami mimpi buruk.

"Apa yang terjadi?" tanya Andi dengan suara lemah.

"Kita hampir kehilangan nyawa…" jawab Raka sambil membantu mereka berdiri.

Mereka bergegas meninggalkan rumah itu. Saat melangkah keluar, angin malam berhembus kencang. Saat mereka menoleh ke jendela, bayangan itu masih ada di sana, menatap mereka dengan mata merah menyala.

"Kita jangan pernah kembali ke sini lagi," kata Sita gemetar.

"Setuju," sahut Lilis.

Mereka pun berlari menjauh dari rumah tua itu, meninggalkan teka-teki yang hampir merenggut nyawa mereka. Namun, dalam hati kecil Raka, ia tahu… sosok itu belum benar-benar pergi.

Posting Komentar