Hantu Kolong Wewe: Penunggu Bawah Ranjang

Table of Contents
Hantu Kolong Wewe, Penunggu Bawah Ranjang - Cerpen Horor Mania

Hantu Kolong Wewe: Penunggu Bawah Ranjang yang Meneror Malam

Di banyak daerah di Indonesia, kisah tentang makhluk gaib yang menghuni kolong ranjang sering dianggap sebagai dongeng penakut anak-anak. Namun, siapa sangka, cerita itu bisa menjadi nyata. Inilah kisah mengerikan tentang Hantu Kolong Wewe, penunggu bawah ranjang yang menghantui sebuah keluarga kecil di pinggiran kota Magelang, Jawa Tengah.

Namaku Andini. Aku tinggal bersama suami dan anakku yang baru berusia lima tahun, Radit. Kami baru saja pindah ke rumah warisan orang tua suamiku. Rumah itu tua, berdinding kayu jati, dan telah lama kosong sebelum kami tempati kembali. Di balik suasana tenangnya, ada sesuatu yang kami tidak tahu—dan kami terlalu terlambat menyadarinya.

Malam pertama kami di rumah itu berjalan biasa. Radit tertidur lebih awal karena lelah setelah seharian membantu beres-beres. Sekitar tengah malam, aku terbangun karena mendengar suara seperti sesuatu yang tergerak dari bawah ranjang. Awalnya aku kira itu tikus, tapi suaranya berat dan menyeret, seperti sesuatu yang besar merayap perlahan.

“Sayang, kamu dengar suara itu?” bisikku pada suamiku, Arman.

Dia menggeram malas, “Enggak, tidur aja, Din. Tikus kali.”

Aku mencoba memejamkan mata lagi, tapi suara itu semakin jelas. Kali ini disertai dengan desahan lirih… seperti suara perempuan yang menahan tangis.

Aku bangun dan menyalakan lampu. Tak ada apa pun. Tapi entah mengapa, bulu kudukku berdiri. Aku memeriksa kolong ranjang. Kosong, hanya ada debu. Tapi udara di bawah sana sangat dingin, seperti hawa dari kulkas terbuka.

Keesokan harinya, Radit tampak pucat. Dia menolak tidur di kamar dan bersikeras ingin tidur di ruang tamu.

“Ada tante di bawah ranjang. Dia ajak aku main tarik-tarikan,” ucap Radit polos.

Aku dan Arman saling pandang.

“Tante siapa, Nak?” tanyaku lembut, berusaha tidak panik.

“Dia rambutnya panjang banget, terus mukanya enggak ada matanya. Tangannya panjang, kukunya kaya sendok nasi,” jawab Radit sambil menatap kosong ke jendela.

Aku merinding. Cerita Radit terlalu detail untuk ukuran imajinasi anak lima tahun. Sejak hari itu, kejadian-kejadian aneh mulai terjadi di rumah. Lampu kamar sering mati sendiri. Piring jatuh dari rak tanpa sebab. Bahkan suara cakaran di bawah ranjang terdengar hampir setiap malam.

Malam ketiga, aku memutuskan tidur bersama Radit di ruang tamu. Saat tengah malam, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari kamar.

“Aaaaarghhh!” Itu suara Arman.

Aku langsung berlari ke kamar dan melihatnya terduduk di lantai, wajahnya pucat, napasnya terengah-engah.

“Ada yang narik aku ke bawah ranjang! Tangan… tangan itu panjang, hitam… dan kukunya dingin banget!”

Kami memutuskan untuk tidur bertiga di ruang tamu malam itu. Tapi malam-malam berikutnya, hantu itu tidak berhenti. Kami mulai mencium bau busuk dari kamar tidur, seperti bau bangkai tikus dicampur tanah basah. Suara perempuan menangis terus terdengar dari bawah ranjang, bahkan saat kamar dikunci dan kami tidak ada di dalam.

Aku akhirnya menceritakan semuanya kepada Bu Ning, tetangga sebelah yang sudah lama tinggal di situ.

Bu Ning tampak serius, lalu berkata, “Kalian tahu nggak, rumah itu dulu ditinggali oleh janda tua bernama Wewe. Dia punya penyakit jiwa, suka bicara sendiri, dan sering menyimpan mainan anak-anak di bawah ranjangnya. Katanya, dia menunggu anaknya yang sudah lama meninggal.”

Aku tercekat. “Apa yang terjadi padanya?”

“Dia gantung diri di kamar itu. Tapi yang aneh, jasadnya baru ditemukan dua minggu kemudian, sudah membusuk. Sejak itu, rumah itu kosong dan katanya berhantu. Orang-orang sini menyebutnya Hantu Kolong Wewe.”

Cerita itu membuatku nyaris menangis. Semua gejala cocok—bau busuk, suara tangis, dan sosok menyeramkan yang suka menarik dari bawah ranjang.

Kami memanggil seorang ustaz lokal untuk membersihkan rumah secara spiritual. Saat proses ruqyah dilakukan di kamar, tiba-tiba ranjang bergetar hebat dan terdengar suara jeritan dari bawahnya. Kami semua terkejut. Bahkan ustaz itu tampak kesulitan menenangkan energi yang liar dari dalam ruangan itu.

“Ini bukan jin biasa. Ini makhluk yang dulunya manusia dan meninggal dalam dendam dan kesepian,” ujar sang ustaz.

Setelah beberapa kali proses pembersihan dan doa, aktivitas itu mulai mereda. Tapi sampai sekarang, kami tidak pernah lagi memakai kamar itu. Kami jadikan gudang, dan tak satu pun dari kami berani membuka kolong ranjang—atau sekadar menatapnya terlalu lama.

Radit kini sudah mulai ceria lagi, meski sesekali ia masih menanyakan “tante yang suka main tarik-tarikan.” Kami selalu mengalihkan pembicaraan. Aku tahu, bayangan itu mungkin masih ada di benaknya. Sama seperti aku… yang hingga kini masih sering terbangun tengah malam, karena merasa… ada yang mengawasi dari bawah tempat tidur.

Namun, kejadian itu tidak berhenti di rumah kami. Beberapa bulan setelah kejadian, adikku, Mila, datang menginap. Ia tidak percaya pada cerita horor dan menganggap kami terlalu paranoid.

Malam itu, Mila bersikeras tidur di kamar tersebut. Pagi harinya, ia kami temukan terduduk di pojok ruangan dengan mata terbuka lebar dan tubuh gemetar.

“Aku… aku enggak bisa keluar. Ada yang pegang kakiku dari bawah ranjang… dia minta anak. Katanya aku harus gantiin,” bisiknya.

Mila akhirnya dirawat beberapa hari di rumah sakit. Diagnosa dokter menyebutnya syok psikis. Tapi aku tahu… ini lebih dari sekadar trauma. Dia telah melihat apa yang kami lihat. Atau mungkin lebih.

Sejak saat itu, kami memutuskan mengurung kamar itu sepenuhnya. Paku besar menutup kusennya, dan kami bahkan menaruh sesajen dan doa-doa di sekelilingnya. Tapi tetap saja, kadang terdengar suara dari dalam. Tangisan lirih. Cakaran di dinding. Bisikan yang memanggil nama kami satu per satu.

“Aaandiniii…” suara itu kadang muncul di dapur, di kamar mandi, bahkan di mimpi. Suara yang membuat kami tidak bisa benar-benar merasa aman, meski di siang bolong.

Aku menulis ini sebagai peringatan. Bahwa terkadang, yang dianggap dongeng bisa menjadi nyata. Bahwa makhluk seperti Hantu Kolong Wewe benar-benar ada—dan mereka menunggu. Di tempat tergelap, tersembunyi di bawah ranjang, mereka mendekam. Menanti anak-anak. Menanti perhatian. Dan menanti kesempatan untuk kembali… ke dunia ini.

Jika kamu baru pindah rumah dan anakmu mulai berbicara tentang “tante” di bawah tempat tidur, jangan abaikan. Periksa. Dengarkan. Dan mungkin, segera pergi. Karena tidak semua hantu mengganggu dengan niat jahat—tapi ada yang begitu kesepian, mereka rela menyeret siapa pun… untuk menemani mereka di dasar gelap tempat mereka bersemayam selamanya.

Posting Komentar