Hantu Penunggu Pura: Kisah Bali
Hantu Penunggu Pura: Kisah Bali
Di sebuah desa kecil di Bali, berdirilah sebuah pura kuno yang sudah berusia ratusan tahun. Pura itu bernama Pura Dalem Segara. Konon, pura itu dipercaya sebagai tempat bersemayamnya roh-roh leluhur dan penjaga gaib. Warga setempat sangat menghormati pura tersebut, dan tak seorang pun berani menginjakkan kaki ke sana saat malam tiba.
Pada suatu malam purnama, Wayan, seorang pemuda desa yang baru saja kembali dari perantauan, mendengar cerita tentang pura itu dari kakeknya.
"Ingat, Yan," pesan Kakek Mangku sambil menatap mata cucunya dalam-dalam, "jangan pernah main-main ke Pura Dalem Segara saat malam. Penunggunya tidak suka diganggu."
Wayan, yang merasa dirinya sudah modern dan tak percaya takhayul, hanya tertawa kecil. "Ah, Kek. Itu kan cuma cerita orang zaman dulu," katanya santai.
Kakek Mangku menghela napas panjang. Ia tahu, pemuda itu harus belajar dengan caranya sendiri.
Beberapa hari kemudian, Wayan bersama dua temannya, Made dan Komang, merencanakan sesuatu yang dianggap mereka sebagai uji nyali. Mereka sepakat pergi ke Pura Dalem Segara saat tengah malam, hanya untuk membuktikan bahwa tidak ada yang perlu ditakuti.
"Kalau ada hantu beneran, aku traktir kalian sate babi seminggu penuh!" tawa Made keras saat mereka berkumpul di bale banjar.
Komang, yang dari tadi tampak sedikit gelisah, akhirnya mengangguk setuju. "Tapi kalau ada apa-apa, jangan salahkan aku," katanya pelan.
Malam itu, sekitar pukul dua belas, mereka bertiga berjalan menyusuri jalan setapak menuju pura. Angin malam berhembus kencang, membuat dedaunan kelapa berdesir pelan seperti bisikan halus.
"Serem juga ya," gumam Komang sambil merapatkan jaketnya.
Setibanya di depan pura, Wayan menyorotkan senter ke arah gerbang besar berbentuk candi bentar. Batu-batu hitam berlumut tampak memancarkan aura dingin.
"Yuk, masuk," ajak Wayan tanpa ragu. Ia mendorong gerbang perlahan. Berdecit pelan, gerbang itu terbuka, seakan mengundang mereka masuk.
Begitu mereka melangkah ke dalam, suasana langsung berubah. Udara menjadi lebih dingin, dan aroma dupa yang menyengat memenuhi hidung mereka, meski tidak ada upacara atau sesaji di sana.
Made memegang lengan Wayan. "Serius, aku ngerasa nggak enak," bisiknya.
Wayan menertawakannya. "Ah, perasaanmu aja."
Mereka berjalan lebih dalam ke pelataran pura. Di tengah-tengah, berdiri sebuah bangunan suci beratap ijuk, pura utama tempat pemujaan. Di depannya, ada pelinggih kecil dengan sesaji kering berserakan di sekitarnya.
Tanpa berpikir panjang, Wayan mengambil salah satu canang sari itu dan mengangkatnya ke atas kepala, berpura-pura berdoa.
"Om Swastiastu... Semoga kita diberkati sate babi gratis!" serunya keras sambil tertawa.
Made dan Komang ikut tertawa, meski tawa mereka terdengar gugup.
Tiba-tiba, angin berhembus lebih kencang, menerbangkan dedaunan kering di pelataran. Senter yang dibawa Made bergetar, lalu mati mendadak.
"Eh, kenapa ini?!" teriak Made panik.
Wayan menyorotkan senternya, tapi cahayanya hanya mampu menembus beberapa meter ke depan. Di kejauhan, di antara bayang-bayang pelinggih, tampak sosok putih berdiri diam.
"Kalian lihat itu...?" suara Komang bergetar, nyaris berbisik.
Wayan memperhatikan lebih seksama. Sosok itu tinggi, berjubah putih lusuh, rambutnya panjang menutupi wajah. Tubuhnya tampak melayang beberapa centimeter dari tanah.
"Itu... siapa?" tanya Made, suaranya pecah karena ketakutan.
Perlahan, sosok itu bergerak mendekat, tanpa mengeluarkan suara. Bau busuk menyeruak memenuhi udara, membuat mereka hampir muntah.
Wayan menelan ludah. Untuk pertama kalinya malam itu, ia benar-benar merasa takut.
"Lari!" teriak Komang.
Mereka bertiga berlari secepat mungkin ke arah gerbang. Tapi entah bagaimana, jalanan yang mereka lalui terasa berputar-putar, membawa mereka kembali ke pelataran utama pura.
"Astaga, kita terjebak!" jerit Made.
Sosok putih itu kini hanya berjarak beberapa langkah dari mereka. Dari balik rambut panjangnya, tampak sepasang mata merah menyala menatap tajam.
Wayan terjatuh, lututnya gemetar hebat. "Maaf... maafkan kami..." bisiknya ketakutan.
Seakan mendengar permintaan maafnya, sosok itu berhenti. Udara di sekitar mereka berubah, menjadi lebih hangat namun tetap menekan.
Sebuah suara berat terdengar di telinga mereka, meski bibir sosok itu tidak bergerak. "Jangan ganggu tempat ini."
Setelah itu, semuanya gelap.
Ketika mereka sadar, matahari sudah terbit. Mereka terbaring di luar gerbang pura, pakaian mereka kotor penuh debu dan lumpur. Tanpa berkata apa-apa, ketiganya pulang dengan tubuh lemas dan wajah pucat.
Kakek Mangku hanya tersenyum samar saat mendengar cerita mereka. "Sekarang kalian tahu, ada hal-hal yang tak bisa dijelaskan dengan logika."
Beberapa hari berlalu, namun kejadian malam itu terus menghantui mereka. Setiap malam, Wayan sering terbangun karena mendengar suara gamelan halus dari kejauhan, padahal rumahnya berjarak cukup jauh dari pura.
Made lebih parah. Ia mengalami mimpi buruk yang sama setiap malam; bermimpi berada di dalam pura dan melihat sosok putih itu mendekatinya sambil mengulurkan tangan.
"Aku nggak tahan lagi, Yan," kata Made suatu sore di warung kopi. "Aku mau ke pemangku untuk minta pembersihan diri."
Komang juga mengangguk setuju. "Aku pun mengalami hal aneh. Tadi malam, aku mendengar suara orang menangis di halaman rumahku."
Atas saran Kakek Mangku, mereka bertiga mengikuti upacara melukat di sebuah pancuran suci. Mereka duduk bersila, sementara air suci mengalir membasahi kepala mereka.
Pemangku yang memimpin upacara berbisik, "Kalian telah membangunkan sesuatu yang lama berdiam. Roh itu marah karena kalian tidak menghormati tempat sucinya."
Seusai upacara, mereka sedikit merasa lebih baik. Namun, rasa takut tetap membayangi mereka setiap kali malam tiba.
Suatu hari, Kakek Mangku memutuskan untuk menceritakan kisah yang selama ini disimpan rapat oleh warga desa.
"Dulu," mulai Kakek Mangku, "Pura Dalem Segara didirikan untuk menjaga desa dari serangan makhluk laut yang jahat. Seorang pendeta sakti mengikat roh penjaga di sana, tapi sebagai gantinya, pura itu harus selalu diberi sesaji dan dihormati."
"Kalau tidak?" tanya Wayan dengan suara serak.
"Roh itu akan mencari manusia untuk menuntut penghormatan," jawab Kakek Mangku lirih.
Sejak saat itu, warga desa memperketat aturan tak tertulis tentang pura. Setiap purnama, warga ramai-ramai mengadakan upacara persembahan, menari barong, dan membakar dupa agar pura tetap diberkati dan dijaga dengan baik.
Meski mereka bertiga sudah jarang diganggu, trauma malam itu tidak pernah benar-benar hilang. Bahkan bertahun-tahun kemudian, ketika Wayan sudah menikah dan memiliki anak, ia masih melarang keluarganya mendekati Pura Dalem Segara tanpa alasan yang jelas.
Pura itu tetap berdiri kokoh, diselimuti kabut dan misteri. Kadang, turis-turis asing yang tak tahu cerita lokal mencoba mengunjungi pura itu sendirian, namun mereka sering kembali dalam keadaan ketakutan, bahkan ada yang jatuh sakit tanpa sebab.
Desa kecil itu tetap sunyi, terlindungi oleh aturan-aturan yang diwariskan turun-temurun. Mereka percaya, menjaga kehormatan terhadap yang tak kasat mata adalah kunci untuk hidup damai di tanah Bali yang sakral.
Dan Pura Dalem Segara? Ia tetap setia dijaga oleh sang penunggu, menunggu dengan sabar, memastikan tak seorang pun berani meremehkan kekuatan dunia gaib yang nyata adanya.
Posting Komentar