Kisah Horor: Legenda dari Pulau Sulawesi

Table of Contents
Kisah Horor, Legenda dari Pulau Sulawesi - Cerpen Horor Mania

Kisah Horor: Legenda dari Pulau Sulawesi yang Masih Hidup

Di sebuah desa terpencil di kaki Gunung Latimojong, Sulawesi Selatan, terdapat sebuah legenda tua yang masih dibisikkan warga hingga kini. Legenda itu tentang “Ballo Tana”—roh penjaga tanah yang diyakini akan menghukum siapa saja yang mencoba merusak alam atau melanggar adat. Meski terdengar seperti dongeng, kisah ini menjadi nyata bagi seorang mahasiswa arkeologi bernama Jaya.

Jaya datang dari Makassar untuk melakukan penelitian tugas akhir. Ia tertarik dengan situs-situs megalitikum di sekitar desa Buntu Lamba. Bersama tiga temannya—Dinda, Bayu, dan Intan—mereka tinggal sementara di rumah kepala desa, Pak Lombo, yang sudah sepuh namun ramah.

"Kalian hati-hati kalau masuk hutan. Jangan sembarangan pegang batu atau pohon besar, ya," pesan Pak Lombo sambil mengunyah sirih.

Bayu tertawa kecil. "Pak, masa zaman sekarang masih percaya yang begituan?"

Pak Lombo menatap tajam. "Kalian anak kota mungkin tidak percaya. Tapi di sini, tanah ini punya penjaganya."

Jaya, meskipun skeptis, memilih menghormati kepercayaan lokal. Ia fokus pada peta dan dokumen yang menunjukkan adanya struktur batu misterius di dalam hutan yang belum pernah diteliti sebelumnya.

Esok harinya, mereka masuk ke hutan bersama seorang pemandu lokal bernama Daeng Tompo. Saat menemukan tumpukan batu berbentuk melingkar, Bayu langsung melompat ke tengahnya dan berpose untuk difoto.

"Lihat! Raja batu dari Sulawesi!" teriaknya sambil tertawa.

Daeng Tompo langsung menariknya keluar dengan panik. "Jangan sembarang berdiri di situ! Itu Batu Panggaukang, tempat roh penjaga berkumpul!"

Bayu kesal. "Ah, cuma mitos. Nggak ada apa-apa juga."

Namun malam harinya, suasana berubah. Angin bertiup kencang padahal langit cerah. Bayu mengeluh sakit kepala dan mulai berteriak-teriak sendiri di kamar. Matanya kosong, dan tubuhnya menggigil hebat.

"Dia lihat aku... dia marah... AKU TIDAK SENGAJA!" teriak Bayu sambil menghantamkan kepalanya ke dinding.

Pak Lombo langsung memanggil tetua adat dan seorang sanro (dukun lokal). Upacara pembersihan dilakukan dengan membakar dupa dan membaca mantra. Namun roh itu belum pergi.

"Rohnya belum tenang. Kalian sudah mengusik tempat keramat. Dia butuh persembahan," kata Sanro Marani dengan suara dalam.

Jaya merasa bersalah. Ia memutuskan kembali ke lokasi batu esok paginya untuk meletakkan sesajen dan meminta maaf secara adat.

Namun Dinda dan Intan menolak ikut. Mereka terlalu takut, apalagi setelah semalam mendengar suara tangisan perempuan di luar jendela, padahal desa itu terpencil dan tak ada yang lewat setelah gelap.

Jaya dan Daeng Tompo kembali ke Batu Panggaukang. Mereka membawa ayam putih, sirih, dan air dari mata air keramat sebagai persembahan. Saat sesajen diletakkan, angin mendadak berhenti. Suasana menjadi hening mencekam.

"Ballo Tana... maafkan kami yang telah lancang. Kami bukan ingin merusak, hanya ingin belajar dan mengerti," bisik Jaya dengan khusyuk.

Beberapa detik kemudian, daun-daun kering berputar di udara, dan suara seperti bisikan terdengar dari balik pepohonan. Jaya menoleh, namun tak ada siapa pun. Daeng Tompo menunduk dalam, memberi isyarat agar Jaya diam dan tidak bergerak.

Setelah persembahan selesai, mereka kembali ke desa. Anehnya, kondisi Bayu mulai membaik. Ia mulai sadar, walau masih lemas. Namun ketika ditanya, Bayu menangis dan berkata, "Aku lihat dia, Ja. Matanya hitam. Rambutnya panjang dan tubuhnya... setengah tanah."

Hari-hari berikutnya, kelompok itu memutuskan menghentikan penelitian dan pulang lebih awal. Sebelum pergi, Pak Lombo memberi Jaya sebuah potongan kain tenun tua.

"Ini dari almarhum nenek saya. Katanya, siapa pun yang pernah bertemu Ballo Tana, tidak akan pernah benar-benar lepas. Simpan ini, untuk perlindungan," ujar Pak Lombo.

Sesampainya di Makassar, Jaya mencoba menganalisis hasil penelitiannya. Namun ia menyadari ada banyak rekaman suara dan video yang rusak, seperti terganggu oleh gelombang tak terlihat. Lebih mengejutkan lagi, dalam salah satu rekaman audio, terdengar suara wanita berkata pelan: "Bawa aku pulang..."

Satu tahun kemudian, Jaya kembali ke desa Buntu Lamba. Ia sudah menjadi lulusan arkeologi dan mendapat tawaran riset dari luar negeri. Namun ada sesuatu dalam hatinya yang belum selesai. Ia ingin memastikan bahwa semua roh yang ia ganggu telah benar-benar tenang.

Namun setibanya di desa, ia mendapat kabar bahwa Daeng Tompo hilang di hutan tiga bulan lalu. Tak ada jejak, hanya senter dan ikat kepala yang ditemukan dekat Batu Panggaukang.

Jaya berdiri di depan batu itu, kali ini sendirian. Ia membawa kain tenun pemberian Pak Lombo dan menggali lubang kecil di dekat batu, menanam kain itu sebagai tanda penghormatan terakhir.

Hening. Angin bertiup pelan. Tapi Jaya merasa dia tidak sendiri.

"Terima kasih sudah mengingatku..." bisik suara dari belakang. Saat Jaya menoleh, tidak ada siapa pun. Namun di atas batu, ada bekas jejak kaki—kecil dan samar, seperti milik anak-anak. Tapi Jaya tahu, tidak ada anak yang bermain di tempat ini.

Sejak saat itu, tak ada lagi gangguan di desa. Batu Panggaukang tetap sunyi, namun kini dijaga dan dihormati. Jaya menuliskan pengalamannya dalam jurnal ilmiah, namun banyak bagian yang ia simpan sendiri. Tidak semua bisa dijelaskan dengan ilmu.

Legenda Ballo Tana kini hidup sebagai bagian dari kearifan lokal. Bukan sekadar cerita untuk menakut-nakuti, tapi peringatan bahwa alam dan roh penjaganya tidak boleh diremehkan.

Kisah ini menjadi saksi bahwa di balik keindahan alam Pulau Sulawesi, tersimpan rahasia tua yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang mendengarkan dengan hati dan bukan hanya dengan mata.

Hari sudah sore ketika Jaya meninggalkan Batu Panggaukang. Hatinya berat. Meski secara ilmiah ia mendapatkan banyak data, namun pengalaman spiritualnya jauh lebih dalam dari sekadar teori arkeologi. Di dalam hutan itu, ia merasakan bahwa manusia bukan penguasa satu-satunya, bahwa ada dunia lain yang hidup berdampingan, menuntut hormat dan pengertian.

Sebelum pulang ke Makassar, Jaya sempat menginap semalam di rumah Pak Lombo. Malam itu, ia berbincang panjang di beranda, ditemani kopi hitam dan bunyi jangkrik dari kejauhan.

"Pak, sebenarnya apa itu Ballo Tana? Apakah roh, atau semacam penjaga kuno?" tanya Jaya.

Pak Lombo menatap langit gelap, lalu berkata pelan, "Ballo Tana bukan cuma satu makhluk. Dia perwujudan banyak arwah penjaga tanah, leluhur yang dulu dikubur dekat situs-situs batu itu. Ketika orang luar datang dan tidak sopan, mereka bangkit, bukan untuk menakut-nakuti, tapi mengingatkan."

Jaya termenung. "Jadi... saat Bayu berdiri di atas batu itu, dia dianggap menghina makam mereka?"

"Bisa jadi begitu. Batu melingkar itu bukan sekadar formasi alami, tapi lingkaran pelindung. Di dalamnya, ada pusat energi yang tidak bisa dijelaskan manusia biasa," jawab Pak Lombo.

Malam semakin larut. Namun ketika Jaya masuk kamar, ia kembali merasakan sesuatu yang aneh. Udara di dalam kamar tiba-tiba dingin. Ia mematikan lampu dan mencoba tidur, tapi suara ketukan pelan terdengar dari jendela. Tiga kali. Perlahan dan teratur.

Deg. Jantung Jaya berdetak kencang. Ia membuka jendela dengan hati-hati, tapi di luar hanya ada bayangan pohon yang bergoyang diterpa angin. Saat ia menutup jendela dan berbalik, ada suara napas di dekat telinganya.

"Kau kembali... aku tahu..."

Jaya menoleh seketika. Tidak ada siapa-siapa. Tapi dalam sekejap, ia melihat bayangan perempuan berambut panjang berdiri di pojok ruangan. Wajahnya samar, seperti terbungkus kabut tipis. Namun tatapannya tajam, seolah menembus pikiran Jaya.

Jaya menutup mata dan membaca doa dalam hati. Ia ingat pesan Pak Lombo, bahwa ketenangan bisa dicapai jika seseorang menerima kehadiran roh tanpa melawan atau menolak.

Beberapa menit kemudian, udara kembali normal. Sosok itu perlahan menghilang. Namun sebelum benar-benar lenyap, suara lirihnya terdengar lagi, "Beri tahu yang lain... jangan ulangi kesalahanmu."

Esok paginya, Jaya memutuskan menulis pengalamannya, tapi bukan untuk publikasi ilmiah. Ia ingin menyampaikan kepada para peneliti muda agar selalu menghargai kearifan lokal dan tidak semata melihat segala sesuatu dari sisi logika modern. Ia menyebut tulisannya sebagai “Catatan Bayangan dari Sulawesi.”

Tulisan itu menyebar di kalangan komunitas spiritual dan pengkaji budaya. Banyak yang mengirim komentar, beberapa berbagi pengalaman serupa. Namun ada juga yang tidak percaya dan menyebut kisah itu hanya fiksi mahasiswa yang terlalu larut dalam cerita rakyat.

Tiga bulan kemudian, Jaya mendapat kabar mengejutkan. Salah satu dosen dari universitas luar negeri yang pernah membaca jurnal aslinya memutuskan datang ke Sulawesi untuk meneliti Batu Panggaukang. Tanpa izin adat, ia langsung membawa tim dan perlengkapan eksplorasi. Mereka menginap dekat situs tersebut.

Namun hanya dua hari berselang, salah satu anggota tim ditemukan tidak sadarkan diri di tengah lingkaran batu. Mulutnya berbusa, matanya terbuka lebar tanpa berkedip. Yang lebih menyeramkan, ia menggenggam segenggam tanah merah, seolah mencengkram sesuatu yang tak terlihat.

Penelitian dihentikan. Media lokal memberitakan kejadian itu sebagai “reaksi alergi akut terhadap lingkungan liar”, namun warga setempat tahu: Ballo Tana kembali bangkit karena ketidakhormatan manusia.

Jaya hanya bisa geleng kepala. Ia merasa bertanggung jawab karena telah menyebarkan lokasi itu, meski tujuannya baik. Sejak itu, ia menutup semua catatan digitalnya dan memilih jalur sunyi. Ia kembali mengajar di kampus, namun enggan bicara banyak soal pengalaman di Buntu Lamba.

Bertahun-tahun kemudian, Jaya kembali mengunjungi desa itu. Kali ini, ia tidak datang sebagai peneliti, tapi sebagai murid yang ingin belajar dari para tetua adat. Ia mengikuti ritual, membantu persiapan sesajen, dan tinggal di rumah panggung sederhana selama berminggu-minggu.

Ia akhirnya menyadari bahwa ilmu pengetahuan dan spiritualitas tidak harus saling menafikan. Keduanya bisa berjalan berdampingan, asalkan ada rasa hormat dan keterbukaan.

Di malam terakhirnya di desa, saat duduk di batu yang sama di bawah bintang-bintang, Jaya berkata pelan dalam hati:

"Terima kasih, Ballo Tana. Aku sudah belajar."

Angin berhembus lembut. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa damai sepenuhnya.

Posting Komentar