Kisah Horor Museum Fatahillah, Jakarta

Table of Contents
Kisah Horor Museum Fatahillah, Jakarta - CerpenHororMania

Kisah Horor Museum Fatahillah, Jakarta: Misteri yang Tak Terpecahkan

Museum Fatahillah yang terletak di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, bukan sekadar bangunan bersejarah yang menyimpan peninggalan zaman kolonial. Di balik temboknya yang kokoh dan lorong-lorongnya yang gelap, tersembunyi kisah horor yang membuat bulu kuduk merinding. Banyak pengunjung hingga penjaga malam merasakan keanehan yang tak bisa dijelaskan secara logika. Berikut adalah cerita horor nyata yang terjadi di Museum Fatahillah, sebuah tempat angker di Jakarta yang penuh misteri.

Namaku Sari. Dua tahun lalu, aku adalah seorang mahasiswi jurusan sejarah yang sedang menyusun skripsi tentang peninggalan kolonial Belanda. Sebagai bagian dari risetku, aku memutuskan untuk mengunjungi Museum Fatahillah. Aku tertarik bukan hanya karena nilai sejarahnya, tapi juga karena bisik-bisik mengenai aktivitas gaib di sana. Namun, aku tak pernah menyangka bahwa kunjungan itu akan mengubah hidupku selamanya.

Hari itu, aku tiba sekitar pukul empat sore. Udara Jakarta panas seperti biasa, tapi ketika aku melangkah masuk ke museum, hawa dingin menyergapku tiba-tiba. Pintu utama besar terbuka dengan derit pelan yang menambah kesan mistis bangunan itu. Seorang penjaga tua menyambutku dengan senyum tipis.

“Sendirian, Mbak?” tanyanya sambil memperhatikan sekeliling.

“Iya, Pak. Saya sedang riset untuk skripsi,” jawabku.

Penjaga itu mengangguk, lalu menambahkan, “Kalau bisa, jangan terlalu lama di dalam ya, apalagi nanti lewat maghrib.”

Aku mengangguk dan tersenyum sopan. Dalam hati, aku hanya menganggapnya sebagai nasihat biasa. Tapi ternyata itu adalah peringatan.

Aku mulai menjelajahi ruangan demi ruangan. Kamera kecilku sibuk merekam ornamen tua, lukisan, dan peninggalan kolonial yang penuh sejarah. Salah satu ruangan yang menarik perhatianku adalah bekas ruang tahanan bawah tanah. Konon, ruangan itu dulunya adalah penjara tempat para pejuang Indonesia disiksa oleh penjajah Belanda.

Saat aku menuruni tangga sempit menuju ruang bawah tanah, hawa dingin terasa semakin menusuk. Lampu temaram menyorot batu-batu tua yang masih terlihat berlumur lumut. Bau lembap dan anyir memenuhi hidungku. Jantungku berdegup kencang, tapi rasa penasaran mendorongku untuk terus maju.

Tiba-tiba, dari sudut gelap, aku mendengar suara rantai diseret. Suara itu makin lama makin dekat.

“Kreeeek… Kreeek…”

Aku membeku. Keringat dingin mengalir dari pelipis. Aku mencoba menyakinkan diriku bahwa itu hanyalah suara tikus atau pintu berderit.

Namun, kemudian aku mendengar bisikan—lirih dan menyeramkan.

“Tolong… jangan… siksa aku lagi…”

Aku tersentak dan menoleh ke belakang. Tak ada siapa-siapa. Aku buru-buru naik ke atas, hampir terjatuh karena langkahku tergesa-gesa.

Begitu sampai di lantai atas, napasku memburu. Aku memutuskan untuk duduk sebentar di bangku kayu dekat ruang koleksi keramik. Tapi keanehan belum berhenti.

Saat aku membuka catatan di ponselku, tiba-tiba layar gelap. Kemudian muncul gambar seseorang berpakaian kolonial, dengan wajah pucat dan mata menatap tajam. Padahal aku tidak sedang membuka aplikasi kamera ataupun galeri.

Aku terdiam. Gambar itu hilang begitu saja setelah beberapa detik. Tanganku gemetar.

Aku mencoba menenangkan diri dan memutuskan untuk segera keluar dari museum. Saat aku berjalan melewati lorong utama, aku melihat sesosok wanita berdiri membelakangiku. Ia mengenakan kebaya putih lusuh dan rambutnya panjang menjuntai menutupi punggung.

“Bu?” sapaku ragu.

Wanita itu tidak menjawab. Perlahan, ia menoleh. Wajahnya… rusak. Mata kanan kosong, bibirnya robek hingga ke pipi.

Aku menjerit dan berlari ke luar. Penjaga tua yang tadi menyambutku langsung menghampiri.

“Kamu lihat dia ya?” tanyanya lirih.

Aku hanya bisa mengangguk, air mata bercucuran.

“Itu Nyai Kartika. Dulu dia dipenjara dan disiksa sampai mati di sini. Arwahnya masih gentayangan,” jelasnya dengan nada pelan.

Sejak malam itu, aku jatuh sakit selama dua minggu. Setiap malam, aku bermimpi melihat wanita berkebaya itu duduk di ujung ranjangku, menangis. Ibuku sampai memanggil ustaz untuk membacakan doa-doa ruqyah di rumah.

Kini, setiap kali mendengar nama Museum Fatahillah, tubuhku gemetar. Aku tak berani lagi ke sana, bahkan sekadar melihat fotonya di internet pun membuat jantungku berdebar. Aku tak tahu apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh arwah itu. Tapi aku yakin, ia masih ingin agar kisahnya didengar.

Museum Fatahillah bukan hanya tempat bersejarah, tapi juga saksi bisu penderitaan masa lalu yang masih membekas hingga kini. Bagi kamu yang berani, silakan berkunjung. Tapi ingat satu hal—jangan pernah meremehkan energi gaib yang masih bersemayam di sana.

Menurut cerita para penjaga, selain Nyai Kartika, ada juga sosok anak kecil yang sering terlihat berlari-lari di lorong museum saat malam hari. Anak itu konon adalah korban salah tangkap yang meninggal akibat kelaparan dalam sel bawah tanah. Sering terdengar tawa kecil atau suara tangisannya di malam hari.

Salah satu pengunjung lain, Denny, pernah mengalami kejadian menyeramkan saat mengikuti tur malam museum. Ia bercerita bahwa ketika kelompok tur bergerak ke ruangan lukisan, lampu tiba-tiba mati total selama dua menit. Saat nyala kembali, salah satu peserta tur ditemukan pingsan dengan wajah pucat dan tangan penuh cakaran halus.

“Waktu sadar, dia bilang ada tangan-tangan dingin yang menariknya masuk ke lukisan,” ujar Denny saat diwawancarai oleh media lokal.

Hingga hari ini, kisah horor di Museum Fatahillah terus menjadi perbincangan. Banyak paranormal yang mengatakan bahwa energi negatif dari masa kolonial masih kuat di sana, terutama di ruang bawah tanah dan ruang lukisan. Bahkan beberapa menyarankan agar museum tersebut rutin dibersihkan secara spiritual.

Salah satu paranormal terkenal, Mbah Darmo, pernah datang ke museum ini bersama timnya. Dalam proses meditasinya, ia mengaku melihat sosok-sosok yang terjebak antara dunia nyata dan alam gaib. Menurutnya, beberapa arwah masih belum bisa pergi karena meninggal dalam keadaan tidak tenang dan penuh siksaan.

“Roh-roh di sini bukan ingin menakut-nakuti. Mereka hanya ingin didengar dan dikenang. Mereka menuntut keadilan,” katanya dalam sebuah wawancara televisi lokal.

Bahkan menurut kesaksian penjaga malam yang tidak ingin disebutkan namanya, pernah suatu malam, pintu ruang tahanan bawah tanah terbuka sendiri dengan keras. Padahal sebelumnya sudah dikunci rapat. Ia juga sering melihat bayangan berjalan di lorong-lorong tanpa suara langkah kaki.

“Kadang saat saya sendirian, ada suara langkah berat di belakang. Tapi saat saya balik, tidak ada siapa-siapa,” ujarnya dengan wajah pucat.

Fenomena-fenomena ini membuat Museum Fatahillah menjadi destinasi horor favorit bagi pecinta kisah seram lokal. Banyak konten kreator horor di Indonesia menjadikan tempat ini sebagai lokasi pembuatan konten uji nyali. Meski begitu, pihak pengelola museum selalu mengimbau agar pengunjung tetap sopan dan tidak sembarangan saat berada di dalam, karena mereka percaya tempat ini bukan sekadar ruang pameran biasa—tapi juga rumah bagi mereka yang tak kasat mata.

Kisah horor Museum Fatahillah Jakarta bukan hanya urban legend. Dengan banyaknya kesaksian nyata dari pengunjung dan penjaga, jelas bahwa tempat ini menyimpan sisi gelap dari sejarah Indonesia. Jika kamu mencari cerita horor Indonesia yang benar-benar membuat merinding, inilah salah satu yang tidak boleh dilewatkan. Tapi bersiaplah... karena saat kamu melangkah ke dalam, kamu mungkin bukan satu-satunya yang berjalan di sana.

Posting Komentar