Kuntilanak Penunggu Pohon Belakang Rumah

Table of Contents
Kuntilanak Penunggu Pohon Belakang Rumah - Cerpen Horor Mania

Kuntilanak Penunggu Pohon Belakang Rumah

Desa Karangjati dikenal tenang dan jauh dari keramaian. Namun di balik keheningan itu, ada satu cerita yang membuat warga enggan keluar rumah saat malam tiba—kisah tentang kuntilanak penunggu pohon belakang rumah milik keluarga Pak Slamet.

Pohon besar itu berdiri menjulang di belakang rumah tua yang terbuat dari kayu jati. Konon, pohon tersebut sudah ada sebelum rumah itu dibangun. Banyak warga mengatakan sering mendengar suara tangisan wanita dari arah pohon saat tengah malam.

Anak sulung Pak Slamet, Rina, pulang dari perantauan setelah sekian lama. Ia tidak percaya dengan hal-hal mistis dan menganggap semua cerita hanyalah mitos.

“Ah, itu cuma cerita buat nakut-nakutin anak kecil,” ucap Rina sambil menatap pohon besar dari jendela kamarnya. “Mana ada hantu-hantuan segala.”

Namun malam pertama Rina kembali ke rumah, suasana terasa berbeda. Angin malam berhembus kencang. Pohon di belakang rumah bergoyang, daunnya berdesir, seolah membisikkan sesuatu.

Jam menunjukkan pukul 12 malam ketika Rina mendengar suara tangisan pelan.

“Hiks... hiks...”

Rina terbangun. Ia duduk di ranjang, telinganya tajam menangkap suara itu. Ia berjalan ke jendela dan membuka tirai. Cahaya bulan menyoroti sosok wanita berambut panjang yang berdiri di bawah pohon.

“Astaga...” bisik Rina. Sosok itu berdiri membelakanginya. Gaunnya putih panjang, lusuh, dan rambutnya menutupi wajah. Seketika sosok itu menoleh.

“AAAAAAAA!”

Rina berteriak histeris. Ia mundur dan menabrak kursi. Sosok itu tiba-tiba menghilang seperti kabut tertiup angin.

Keesokan paginya, Rina menceritakan apa yang ia lihat pada ibunya.

“Mak, semalam Rina lihat perempuan berdiri di bawah pohon! Dia nangis... terus tiba-tiba nengok ke arah Rina!”

Ibu Rina hanya mengangguk pelan. “Mak sudah bilang, pohon itu bukan pohon biasa. Sejak dulu memang sudah ada yang nungguin.”

Rina semakin penasaran. Ia bertanya pada warga sekitar dan mendengar cerita tentang seorang wanita hamil yang dulu bunuh diri di pohon itu karena dikhianati kekasihnya. Sejak saat itu, banyak yang percaya rohnya menjadi kuntilanak dan mendiami pohon tersebut.

Beberapa malam kemudian, Rina nekat keluar menuju pohon itu dengan membawa lilin dan kemenyan. Ia ingin membuktikan bahwa tidak ada yang perlu ditakuti.

“Kalau memang kamu ada, tunjukkan dirimu!” tantangnya.

Angin berhenti. Suasana mendadak hening. Daun-daun tak lagi bergoyang. Dari balik pohon, muncul suara tawa melengking.

“Hihihihihihihi...”

Rina gemetar. Lilin di tangannya padam tertiup angin. Ia berusaha mundur, namun langkah kakinya berat seolah ada yang menahan.

Sosok putih itu muncul dari balik pohon. Wajahnya pucat, mata merah menyala, dan mulutnya menyeringai dengan gigi-gigi tajam. Tangannya menggapai ke arah Rina.

“Kau... menggangguku...”

Rina pingsan di tempat.

Pagi harinya, tubuh Rina ditemukan di bawah pohon oleh ayahnya. Tubuhnya kaku, wajahnya pucat, dan matanya terbuka lebar seakan melihat sesuatu yang sangat menakutkan.

“Rina! Astaga, anakku!” Pak Slamet memeluk tubuh anaknya. “Cepat panggil dukun desa!”

Dukun bernama Mbah Suro datang membawa sesajen dan membaca mantra-mantra. Ia mengatakan bahwa arwah wanita itu merasa terganggu karena tempatnya diusik.

“Arwahnya marah. Tapi dia tidak akan pergi sebelum dipuaskan. Kita harus lakukan ruwatan malam Jumat Kliwon,” ujar Mbah Suro.

Seminggu kemudian, ritual dilakukan. Warga berkumpul di sekitar pohon. Kemenyan dibakar, mantra dibacakan, dan sesajen diletakkan di akar pohon.

Ketika Mbah Suro menyebut nama arwah itu—Sari—tiba-tiba terdengar tangisan dari atas pohon.

“Huaaa... aku sakit... aku ingin anakku...”

Suara itu menggema hingga membuat bulu kuduk semua orang berdiri. Pohon bergoyang keras meski angin tak bertiup. Daun-daun berjatuhan seperti hujan.

Api dari obor mendadak padam satu per satu. Hanya suara tangisan yang tersisa di kegelapan malam.

Ritual selesai menjelang subuh. Setelah itu, tak ada lagi suara tangisan dari pohon tersebut. Namun Rina jatuh sakit dan tidak pernah bicara sepatah kata pun sejak malam itu.

“Dia seperti kehilangan jiwanya,” kata Ibu Rina dengan mata berkaca-kaca.

Warga akhirnya sepakat untuk menebang pohon itu. Tapi setiap kali mereka mencoba, gergaji selalu patah. Alat berat mogok. Seolah pohon itu tak mau pergi.

“Pohon ini bukan sekadar pohon,” kata Mbah Suro. “Ia tumbuh dari duka, darah, dan janji yang dikhianati. Sekarang sudah menjadi rumah bagi yang tak kasat mata.”

Sejak saat itu, pohon itu dibiarkan berdiri. Dikelilingi pagar bambu, dengan papan bertuliskan: “Dilarang mendekat. Tempat angker.”

Rina masih tinggal di rumah itu, tapi ia hanya duduk menatap jendela, memandangi pohon di belakang rumah. Kadang ia tersenyum sendiri, seolah berbicara pada seseorang yang tak terlihat.

Dan kadang, jika malam sangat sunyi, suara tawa itu kembali terdengar dari arah pohon.

“Hihihihihihihihi...”

Beberapa waktu kemudian, seorang peneliti supranatural dari kota datang ke desa, bernama Yudha. Ia mendengar cerita dari warga dan memutuskan untuk menyelidikinya.

“Saya ingin melakukan penelitian. Saya tidak percaya sebelum melihat langsung,” kata Yudha pada Pak Slamet.

Di malam hari, Yudha memasang kamera dan alat pendeteksi energi di sekitar pohon. Ia juga menaruh alat perekam suara dan duduk diam menunggu.

Pukul dua dini hari, suhu mendadak turun drastis. Alat pendeteksi mulai berbunyi dan menunjuk lonjakan energi. Kamera yang diarahkan ke pohon mulai bergetar.

Dari layar, muncul sosok samar wanita mengenakan gaun putih. Ia mengambang, wajahnya pucat dengan mata menghitam dan darah mengalir dari mulutnya.

“Astaga... ini nyata...” gumam Yudha, gemetar.

Sosok itu mendekat ke kamera, lalu menghilang. Tapi rekaman itu menunjukkan sesuatu yang lebih menyeramkan—ada sosok kecil seperti anak bayi yang menangis di balik akar pohon.

Setelah itu, Yudha kembali ke kota. Ia mempublikasikan hasilnya di internet, namun banyak yang menganggapnya hanya tipuan. Tapi warga Karangjati tahu, apa yang ia tangkap adalah nyata.

Rina akhirnya dirawat di rumah sakit jiwa. Ia hanya berbicara satu kalimat berulang-ulang setiap malam:

“Dia mau anaknya... dia mau anaknya kembali...”

Pohon itu masih berdiri hingga kini. Dedaunnya tetap hijau meski musim kemarau panjang. Dan tiap malam Jumat Kliwon, suara tangisan itu kembali terdengar, seperti kisah yang tak akan pernah selesai.

Posting Komentar