Lampu yang Berkedip: Kisah Mengerikan
Lampu yang Berkedip: Kisah Mengerikan di Desa Ngijo
Malam itu hujan turun deras membasahi tanah Desa Ngijo, sebuah desa kecil di pinggiran Kabupaten Malang. Udara dingin menembus celah-celah rumah kayu milik keluarga Bu Sri, seorang janda paruh baya yang tinggal bersama anak semata wayangnya, Rani. Di tengah sunyi malam, satu hal yang selalu membuat bulu kuduk meremang adalah lampu gantung tua di ruang tamu yang kerap berkedip-kedip tanpa sebab.
"Bu, kenapa sih lampu itu selalu berkedip tiap malam Jumat?" tanya Rani sembari menatap lampu yang kembali bergetar perlahan seperti tertiup angin padahal semua jendela tertutup rapat.
Bu Sri menarik napas panjang. Matanya menatap lampu tua itu dengan penuh beban, seolah menyimpan rahasia besar. "Lampu itu sudah ada sejak zaman embahmu, Nak. Dulu, lampu itu adalah satu-satunya sumber cahaya saat listrik belum masuk desa ini. Tapi sejak kejadian itu..."
"Apa kejadian itu, Bu?" Rani mencondongkan tubuh, penasaran.
Bu Sri terdiam. Hujan makin deras, dan kilat sesekali menerangi langit. Dengan suara rendah, ia mulai bercerita.
"Dulu, ada seorang dukun bernama Pak Rono yang tinggal tak jauh dari sini. Ia terkenal bisa menyembuhkan penyakit dan memanggil roh. Tapi kesombongannya membuat ia bermain-main dengan hal-hal yang tak seharusnya disentuh. Suatu malam, saat bulan purnama, ia mencoba ritual pemanggilan arwah menggunakan lampu itu sebagai media. Tapi arwah yang datang bukanlah arwah biasa."
"Terus?" Rani menelan ludah. Lampu kembali berkedip, kali ini lebih cepat.
"Arwah itu marah, menghantui siapa pun yang melihat cahayanya. Malam itu, Pak Rono ditemukan tewas tergantung di bawah lampu, matanya membelalak seperti melihat sesuatu yang mengerikan. Sejak saat itu, lampu itu dikutuk, dan kami tak pernah berani mematikannya, takut arwah itu kembali."
Rani bergidik. "Tapi kenapa Ibu menyimpan lampu itu sampai sekarang?"
"Karena lampu itu terikat dengan janji. Kalau dimatikan, arwahnya akan bebas. Dulu embahmu berjanji menjaga agar lampu itu selalu menyala. Dan janji itu turun ke Ibu... dan sekarang ke kamu, Nak."
Rani tidak bisa tidur malam itu. Suara tetes air dari genting yang bocor terdengar seperti bisikan, dan tiap kedipan lampu membuat bayangan di dinding bergerak seperti sosok yang mengintai.
Keesokan harinya, Rani bercerita pada sahabatnya, Fira. "Aku nggak kuat, Fir. Lampu itu bikin aku nggak bisa tidur. Aku merasa seperti ada yang mengawasi."
Fira yang dikenal berani dan agak skeptis menertawakannya. "Rani, kamu terlalu banyak nonton film horor. Itu cuma lampu tua, mungkin kabelnya sudah usang."
"Aku pengen ganti lampunya," ucap Rani lirih.
"Kalau kamu takut, kenapa nggak kamu matikan saja?" saran Fira sembari tersenyum sinis.
Rani terdiam. Sore harinya, saat ibunya pergi ke pasar, Rani nekat memanjat kursi dan menjangkau saklar. Tangannya gemetar. Jantungnya berdebar keras.
Klik.
Lampu padam. Untuk sesaat, semuanya hening. Tapi beberapa detik kemudian, angin kencang bertiup dari arah jendela. Padahal tertutup rapat. Piring di rak bergetar. Televisi menyala sendiri, menampilkan layar statis dengan suara gaduh.
Dari balik kaca jendela, Rani melihat sesosok bayangan hitam berdiri di bawah pohon mangga. Tubuhnya tinggi, matanya merah menyala. Saat Rani menatapnya, sosok itu tersenyum... senyum mengerikan dengan gigi-gigi panjang seperti binatang buas.
Tiba-tiba terdengar suara berat dari dalam rumah, "Janji telah dilanggar..."
Rani berteriak histeris dan langsung menyalakan kembali lampu itu. Seketika, semuanya tenang kembali. Tapi setelah itu, Rani demam tinggi selama tiga hari, dan setiap malam ia mengigau, menyebut nama "Pak Rono" berulang-ulang.
Bu Sri menangis saat melihat kondisi anaknya. "Maafkan Ibu, Nak. Ibu seharusnya tidak membiarkanmu tahu soal itu..."
Setelah Rani sembuh, mereka sepakat untuk membiarkan lampu itu tetap menyala. Namun sejak kejadian itu, kedipan lampu menjadi lebih sering, dan kadang terdengar suara tangisan di malam hari.
Fira yang awalnya tidak percaya akhirnya ikut merasakan teror. Saat ia menginap di rumah Rani, tengah malam ia mendengar langkah kaki di dapur. Saat diselidiki, tidak ada siapa-siapa, tapi bekas telapak kaki basah terlihat di lantai. Padahal hujan tidak turun malam itu.
"Mungkin... mungkin ini semua memang bukan legenda kosong," ujar Fira dengan wajah pucat.
Hari-hari berlalu, namun cerita tentang lampu yang berkedip makin tersebar. Warga desa mulai menghindari rumah Bu Sri. Anak-anak takut lewat depan rumahnya. Mereka bilang, setiap lampu di rumah itu berkedip, akan ada satu mimpi buruk yang datang ke rumah-rumah sekitar.
Suatu malam Jumat, Rani terbangun karena mendengar suara tangis di luar kamar. Ia membuka pintu dan melihat lampu ruang tamu berkedip hebat, hampir seperti hendak padam. Dan di bawahnya, berdiri sosok Pak Rono, dengan mata kosong dan senyum dingin.
Sosok itu menunjuk ke arah Rani dan berbisik, "Janji harus ditepati... atau semua akan menjadi miliknya."
Sejak malam itu, lampu tua di rumah Bu Sri tak pernah berhenti berkedip. Tak peduli siang atau malam. Dan siapa pun yang mencoba mematikannya... tak pernah terlihat kembali.
Desa Ngijo kini punya satu aturan tak tertulis—jangan pernah menyentuh lampu di rumah Bu Sri, dan jangan pernah menantang kisah yang disimpannya. Karena dalam kedipan cahaya itu, ada mata yang mengintai... menunggu saat yang tepat untuk bebas.
Namun tak semua orang percaya pada kisah itu. Beberapa mahasiswa dari kota datang melakukan penelitian. Mereka membawa alat-alat rekam, kamera inframerah, dan nekat menginap di rumah Bu Sri dengan izin khusus.
"Apa kalian yakin ini cuma mitos?" tanya Bu Sri dengan sorot mata tajam.
"Kami hanya ingin membuktikan secara ilmiah, Bu," jawab salah satu mahasiswa, Dika.
Malam itu mereka menyiapkan kamera menghadap langsung ke lampu tua. Tepat pukul 00.00, lampu berkedip tak terkendali. Kamera merekam sosok hitam yang perlahan muncul dari balik dinding, mengarah ke kamera, lalu...
Gambar menjadi gelap. Semua alat mati. Dika ditemukan pagi harinya duduk di pojokan dengan mata kosong, tak bisa bicara hingga kini. Tiga lainnya hilang tanpa jejak.
Kamera yang ditemukan hanya menampilkan satu kalimat di layar LCD-nya—"Janji tak boleh dilanggar."
Sejak saat itu, rumah Bu Sri tak lagi didatangi siapa pun. Lampu itu kini dibiarkan menyala terus, bahkan saat tak ada orang di dalam rumah. Sebagian warga percaya, Rani dan Bu Sri sudah bukan manusia biasa lagi. Mereka hanyalah penjaga... antara dunia yang terlihat dan dunia yang tak kasatmata.
Posting Komentar