Misteri di Balik Kerajaan Kuno
Misteri di Balik Kerajaan Kuno
Di tengah rimbunnya hutan di pedalaman Jawa, terdapat sebuah kerajaan kuno yang konon telah lama ditinggalkan. Penduduk sekitar menyebutnya sebagai "Kerajaan Lingsir"—sebuah tempat yang dipercaya menyimpan kutukan. Hanya sedikit yang berani mendekati, apalagi setelah hilangnya beberapa orang yang mencoba menguak rahasianya.
Suatu malam, Budi, seorang jurnalis muda, memutuskan untuk menelusuri kerajaan tersebut demi mendapatkan cerita eksklusif. Ditemani oleh sahabatnya, Rina, dan seorang pemandu lokal bernama Pak Surya, mereka berangkat saat senja menjelang.
"Pak, benar kata orang-orang? Ada makhluk gaib yang menjaga tempat ini?" tanya Rina, sedikit ragu. "Percaya atau tidak, banyak yang sudah mencoba masuk dan tidak kembali," jawab Pak Surya dengan nada serius.
Perjalanan mereka semakin mencekam saat memasuki gerbang batu yang dipenuhi lumut. Udara mendadak dingin, dan suara hutan seakan menghilang.
Budi mengambil senter dan mengarahkannya ke dinding istana yang mulai runtuh. "Lihat ini! Ada ukiran aneh di sini," serunya. Pak Surya mendekat, wajahnya langsung pucat. "Ini bukan sembarang ukiran. Ini adalah mantra penjaga. Kita harus segera pergi!"
Namun, sebelum mereka bisa bergerak, terdengar suara langkah berat di belakang mereka. Ketika mereka menoleh, sosok bayangan tinggi berwarna hitam berdiri tegak. Matanya merah menyala.
"Siapa yang berani mengganggu tempat ini?" suara berat menggema di seluruh ruangan.
Rina berteriak, sementara Budi mencoba tetap tenang. "Kami hanya ingin mencari tahu sejarah kerajaan ini!" katanya dengan suara gemetar.
Sosok itu bergerak mendekat, tubuhnya seperti asap yang berwujud manusia. Pak Surya segera merapalkan doa dalam bahasa Jawa kuno.
Tiba-tiba, angin berhembus kencang, dan bayangan itu menghilang. Namun, dari dalam reruntuhan, terdengar bisikan-bisikan lirih. "Pergi... sebelum terlambat..."
Tanpa berpikir panjang, mereka berlari meninggalkan tempat itu. Saat mencapai batas hutan, Pak Surya berhenti dan berbalik. "Kita selamat. Tapi jangan pernah kembali lagi."
Sejak malam itu, mereka bertiga berjanji untuk tidak membicarakan pengalaman mengerikan itu. Namun, setiap kali malam tiba, Budi masih bisa mendengar bisikan halus di telinganya... "Kau sudah melihat... sekarang kau bagian dari kami..."
Beberapa hari setelah kejadian itu, Budi mulai merasa tidak tenang. Setiap malam, dia terbangun karena mimpi buruk yang berulang—bayangan hitam itu berdiri di ujung tempat tidurnya, menatapnya tanpa berkata-kata.
Rina yang juga mengalami mimpi serupa memutuskan untuk menemui seorang dukun di desa sebelah. Bersama Budi dan Pak Surya, mereka mencari jawaban tentang apa yang sebenarnya terjadi di Kerajaan Lingsir.
"Kalian telah mengusik sesuatu yang tidak seharusnya disentuh," kata Mbah Wiryo, seorang dukun tua dengan suara berat. "Ada sesuatu di sana yang belum selesai, sesuatu yang menunggu untuk dibebaskan."
Budi menelan ludah. "Maksud Mbah? Apa ada arwah yang terperangkap di sana?"
Mbah Wiryo mengangguk pelan. "Kerajaan itu jatuh bukan karena perang, melainkan karena pengkhianatan dan kutukan. Raja terakhirnya, Prabu Lingsir, dihianati oleh penasihatnya sendiri. Dalam kematiannya, ia bersumpah tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh kerajaan itu lagi."
Rina menggigit bibirnya. "Lalu apa yang harus kami lakukan? Kami tidak berniat mengusik apa pun."
"Kalian harus kembali dan melakukan ritual pembersihan. Jika tidak, arwah itu akan terus menghantui kalian."
Dengan perasaan campur aduk, mereka kembali ke kerajaan kuno itu. Malam itu, di bawah rembulan yang samar, mereka berdiri di depan gerbang batu yang sudah mereka lalui sebelumnya. Pak Surya membawa dupa dan bunga sebagai sesajen.
"Tolong ampuni kami, kami tidak berniat mengusik tempat ini," kata Budi dengan suara bergetar.
Udara di sekitar mereka tiba-tiba menjadi lebih berat. Dari balik reruntuhan, bayangan hitam itu muncul kembali. Kali ini, ia tidak bergerak agresif. Ia hanya berdiri, menatap mereka dengan tatapan kosong.
Mbah Wiryo menggumamkan mantra, dan tiba-tiba angin kencang berhembus. Dari dalam bayangan itu, terdengar suara yang tidak manusiawi. "Akhirnya... kebebasan..."
Bayangan itu perlahan memudar, dan suasana kembali normal. Tidak ada suara jeritan, tidak ada angin dingin menusuk. Hanya kesunyian.
Setelah kejadian itu, mimpi buruk Budi dan Rina berhenti. Mereka meninggalkan kerajaan itu dengan perasaan lega, meski masih dihantui pertanyaan—apakah benar semuanya telah berakhir?
Namun, beberapa bulan kemudian, seorang penjelajah lain menghilang di sekitar reruntuhan kerajaan. Dan bisikan di malam hari pun mulai terdengar lagi...
Posting Komentar