Misteri di Kampung Gaib: Kisah Tersembunyi

Table of Contents
Misteri di Kampung Gaib, Kisah Tersembunyi - Cerpen Horor Mania

Misteri di Kampung Gaib: Kisah Tersembunyi

Pada suatu malam yang pekat, di wilayah pedalaman Kalimantan Timur, tersembunyi sebuah kampung yang tidak tercatat dalam peta manapun. Warga sekitar menyebutnya "Kampung Gaib". Tidak ada yang tahu pasti di mana letaknya, tapi cerita tentangnya telah turun-temurun menyebar seperti bisikan angin di tengah hutan belantara.

Aldo, seorang mahasiswa antropologi dari Jakarta, datang ke daerah itu untuk penelitian tentang budaya dan kepercayaan masyarakat Dayak. Ia tertarik dengan cerita mistis yang didengarnya dari warga setempat.

"Pak, apakah benar ada kampung yang tidak bisa ditemukan kecuali dengan izin tertentu?" tanya Aldo kepada Pak Hasan, seorang kepala adat setempat.

Pak Hasan memandangnya dengan sorot mata tajam. "Kampung itu bukan untuk sembarang orang, Nak. Hanya yang dipanggil yang bisa masuk. Kalau kau nekat, bisa-bisa kau tidak kembali."

Aldo tersenyum kecut. "Saya ingin mencari tahu, Pak. Ini demi penelitian."

Pak Hasan menarik napas dalam. "Kalau memang kau bersikeras, malam Jumat ini pergilah ke simpang tiga hutan tua. Duduk diam dan jangan bicara apa-apa. Kalau kau beruntung, kau akan 'ditemui'. Tapi ingat, apapun yang terjadi, jangan melanggar aturan mereka."

Hari yang dijanjikan pun tiba. Aldo mengikuti arahan, membawa kamera, catatan, dan sebuah kalung manik pemberian Pak Hasan. Tepat tengah malam, kabut mulai turun dan udara menjadi sangat dingin. Tiba-tiba terdengar suara gamelan dari kejauhan. Perlahan-lahan, di balik kabut, muncul siluet rumah-rumah kayu beratap ijuk.

Aldo terkejut. Kampung itu benar-benar ada.

Seorang wanita tua keluar dari salah satu rumah. Matanya putih tanpa bola mata. "Kau tamu yang ditunggu," katanya dengan suara parau.

"Saya… saya Aldo. Dari Jakarta. Saya ingin belajar tentang budaya kampung ini."

Wanita itu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk dan memberi isyarat agar Aldo mengikutinya. Mereka melewati jalan setapak sempit, diapit pohon-pohon tinggi dengan suara-suara aneh di antara dedaunan. Beberapa bayangan melintas cepat, namun ketika Aldo menoleh, tidak ada apa-apa.

Sesampainya di tengah kampung, Aldo disambut oleh beberapa warga dengan pakaian adat kuno. Mereka tidak bicara, hanya menatap dengan ekspresi datar. Ritual pun dimulai. Aldo duduk di tengah lingkaran api, sementara penduduk menari mengelilinginya sambil menyanyikan lagu dalam bahasa yang tidak ia kenal.

Di tengah-tengah tarian, seekor ular besar muncul dari bawah tanah dan melilitkan dirinya ke tiang tengah. Warga langsung bersujud. Aldo terpaku, tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

"Itu penjaga kampung," bisik suara wanita tua yang muncul kembali di sampingnya. "Namanya Kalang Geni. Ia hanya muncul jika ada yang berniat buruk."

"Saya tidak bermaksud jahat. Saya hanya ingin belajar," kata Aldo gemetar.

Wanita itu mengangguk. "Maka jangan melanggar. Jangan mengambil apapun dari sini. Bahkan daun pun jangan."

Malam pun berlalu. Aldo menginap di salah satu rumah warga. Semuanya terasa seperti mimpi. Saat ia bangun keesokan harinya, kampung itu sudah sepi. Tidak ada seorang pun. Bahkan rumah-rumah tampak reyot dan seperti sudah puluhan tahun ditinggalkan.

Aldo panik. Ia mencoba mencari jalan keluar, tapi hutan tampak asing. GPS di ponselnya tidak berfungsi. Ia hanya bisa mengikuti suara air dan berharap menemukan sungai.

Setelah beberapa jam berjalan, ia akhirnya menemukan jalan setapak kembali ke desa Pak Hasan. Saat ia muncul, warga terkejut.

"Aldo? Astaga! Kami kira kau sudah hilang!" teriak Pak Hasan.

"Saya... saya berhasil masuk kampung itu, Pak. Tapi mereka semua menghilang pagi tadi."

Pak Hasan menatapnya dalam. "Kau masuk ke Kampung Gaib... dan kembali. Kau orang pertama yang pernah kembali."

Waktu berlalu. Aldo kembali ke Jakarta membawa catatan, tapi ia menyadari ada hal yang aneh. Di kamera dan catatannya, tidak ada satu pun bukti kampung itu. Semua foto kosong, catatan tulisannya menjadi simbol yang tidak dikenali.

Ia mulai mengalami mimpi aneh. Dalam mimpinya, ia melihat wanita tua itu berdiri di tepi tempat tidurnya, menatap tanpa mata.

"Kau sudah melanggar," bisiknya. "Kau mengambil sesuatu dari sana."

Aldo terbangun dengan keringat dingin. Ia menggeledah tasnya. Dan di sana, di sela-sela buku catatan, ada satu helai daun kering yang tak sengaja terselip. Daun dari pohon di Kampung Gaib.

Sejak saat itu, hidup Aldo tidak pernah tenang. Bayangan-bayangan hitam selalu mengikutinya. Ia sering mendengar suara gamelan di tengah malam. Tubuhnya semakin kurus, dan wajahnya pucat.

Ia kembali ke Kalimantan, berharap bisa mengembalikan daun itu. Tapi jalan ke kampung itu tidak pernah muncul lagi. Simpang tiga itu kini hanya ladang kosong.

Beberapa minggu kemudian, Pak Hasan menerima kiriman paket. Di dalamnya hanya ada selembar catatan bertuliskan, "Maaf. Aku mengganggu yang seharusnya tidak kuganggu." Bersama catatan itu, daun kering yang sama.

Aldo tidak pernah ditemukan lagi. Tapi sejak hari itu, warga sering melihat sosok pria muda berdiri di antara kabut di ladang kosong, memandangi hutan yang tak pernah terbuka lagi untuk siapa pun.

Dan gamelan itu... masih terdengar setiap malam Jumat.

Kisah ini menjadi legenda baru di daerah itu. Banyak peneliti yang mencoba menggali keberadaan Kampung Gaib, tapi tak satupun yang menemukan jejak. Bahkan warga pun enggan membicarakan lebih jauh. "Semakin kau cari, semakin kau dekat dengan mereka," kata Pak Hasan saat diwawancarai seorang jurnalis dari luar negeri.

Ada pula cerita dari nelayan yang pernah tersesat di sungai dan mengaku melihat kampung terapung di tengah kabut. Rumah-rumah kayu yang melayang di atas air, suara nyanyian sayup-sayup, dan aroma dupa yang menusuk hidung. Tapi saat ia sadar, ia sudah terbangun di pinggir sungai dengan perahu terbalik dan luka gores di lengan seperti bekas cakaran.

Semua kisah itu tak pernah bisa dibuktikan. Tapi satu hal yang pasti, kehadiran Kampung Gaib meninggalkan bekas mendalam. Tidak hanya pada Aldo, tapi juga pada siapa saja yang bersentuhan dengannya, langsung maupun tidak.

Apakah kampung itu benar-benar ada? Ataukah hanya ilusi dari alam gaib? Tidak ada yang tahu. Tapi sampai hari ini, simpang tiga hutan tua tetap dikeramatkan. Tidak ada yang berani membangun apa pun di sana. Bahkan rumput pun seakan enggan tumbuh.

Konon, pada malam Jumat Kliwon, jika kau berdiri di sana dengan hati yang bersih dan niat yang tulus, kau mungkin akan mendengar suara gamelan... dan jika beruntung atau mungkin sial, kau akan melihat kabut tipis menyelimuti jalan... dan sebuah kampung yang perlahan muncul dari antara dimensi.

Tapi ingat, jangan pernah membawa pulang apa pun.

Posting Komentar