Misteri Sundel Bolong: Dendam yang Abadi

Table of Contents
Misteri Sundel Bolong, Dendam yang Abadi - Cerpen Horor Mania

Misteri Sundel Bolong: Dendam yang Abadi

Di sebuah desa kecil bernama Wonosari, yang terletak di kaki Gunung Merapi, ada sebuah legenda lama yang tak pernah benar-benar hilang dari ingatan warga. Konon, di balik heningnya malam dan rimbunnya hutan bambu, hidup sosok wanita berambut panjang, bergaun putih, dan memiliki lubang besar di punggungnya. Orang-orang menyebutnya: Sundel Bolong.

Namaku Arman. Aku adalah jurnalis lepas yang tertarik menggali kisah-kisah mistis nusantara. Saat mendapat kabar dari seorang teman tentang kejadian ganjil di desa Wonosari, aku pun memutuskan untuk pergi ke sana. Bersamaku ikut serta Siska, rekan jurnalis yang juga punya ketertarikan terhadap cerita-cerita supranatural.

“Arman, kamu yakin kita harus nginap di desa ini? Katanya banyak yang kesurupan kalau terlalu malam,” ucap Siska saat kami tiba di penginapan kecil milik Pak Darto, satu-satunya rumah yang mau menampung tamu asing.

“Justru itu yang mau kita cari tahu. Desa ini belum pernah diekspos media. Kalau cerita Sundel Bolong di sini benar, ini bisa jadi bahan liputan yang luar biasa,” jawabku sambil meletakkan ransel.

Malam pertama berjalan tenang. Tapi ketika jam menunjukkan pukul 1 dini hari, terdengar suara tangisan lirih dari arah hutan belakang rumah. Tangisan seorang wanita, panjang dan pilu. Aku dan Siska saling pandang.

“Kamu dengar itu?” bisiknya.

Aku mengangguk. “Ayo kita lihat. Bawa senter.”

Kami berjalan menyusuri jalan tanah yang gelap. Suara tangisan itu semakin jelas, seperti memanggil dari balik pohon bambu. Angin malam berhembus dingin, dan bau melati mulai tercium samar.

Lalu, di bawah cahaya remang bulan, kami melihatnya. Seorang wanita berdiri membelakangi kami. Rambutnya panjang terurai, gaunnya putih lusuh dan kotor, menggantung sampai tanah.

“Bu... Ibu baik-baik saja?” tanya Siska dengan suara gemetar.

Wanita itu tak menjawab. Tapi perlahan, dia mulai berbalik—tidak dengan kakinya, tapi tubuhnya memutar dengan suara tulang berderak, hingga wajahnya menghadap kami sementara punggungnya tetap di tempat. Di sana, lubang menganga memperlihatkan organ-organ dalam yang membusuk. Belatung merayap dari sisi luka.

Siska menjerit dan menjatuhkan senter. Aku menariknya untuk lari, tapi sosok itu melayang mengejar kami. Udara menjadi berat, dan suara tawa melengking mengiringi setiap langkah kami.

Kami berhasil kembali ke rumah Pak Darto. Pintu segera dikunci. Wajah Pak Darto pucat.

“Kalian sudah melihatnya...” gumamnya.

“Pak, apa itu benar... Sundel Bolong?” tanyaku terbata.

Pak Darto duduk dan menunduk. “Namanya Ratmi. Dulu dia adalah gadis tercantik di desa ini. Tapi ia diperkosa dan dibunuh oleh pemuda bangsawan. Supaya aib keluarga tidak terbongkar, jenazahnya dikubur sembarangan di bawah pohon beringin. Tapi... dia mati dalam keadaan mengandung.”

Siska menutup mulutnya. “Astaga...”

“Sejak itu, setiap malam Jumat Kliwon, dia menampakkan diri. Tangisannya adalah tangisan anak yang tak sempat lahir. Ia mencari balas dendam, pada siapa pun yang menyerupai para pelakunya.”

Malam itu kami tidak bisa tidur. Tangisan itu terus terdengar. Bahkan suara kuku mencakar-cakar atap terdengar jelas. Sekitar pukul tiga dini hari, kami mencium bau anyir yang kuat. Ketika menoleh ke jendela, sesosok wajah pucat dengan mata kosong dan darah menetes dari mulutnya menatap kami dari luar.

Esok paginya, kami berdua memutuskan untuk mencari tahu lebih dalam. Kami mendatangi rumah kepala desa, Pak Lurah Seno, yang konon masih memiliki dokumen lama soal kejadian itu.

“Maaf, saya tidak bisa buka luka lama. Ini demi ketenangan warga,” ucapnya keras.

Namun sebelum kami pergi, seorang wanita tua yang tinggal di belakang rumah Pak Lurah memanggil kami diam-diam.

“Kalau kalian sungguh ingin tahu, pergilah ke pemakaman lama dekat sumur tua. Di sana Ratmi dikubur. Tapi jangan datang waktu magrib... dia paling marah saat senja menjelang.”

Kami mengikuti petunjuknya. Menjelang sore, kami tiba di pemakaman tua. Tanahnya lembap dan becek. Banyak nisan sudah miring dan berlumut. Di ujung pemakaman, terdapat gundukan tanah kecil tanpa batu nisan. Hanya seikat bunga melati kering dan bekas dupa.

Siska menaruh bunga segar yang kami bawa dan menunduk. “Kami hanya ingin tahu kisahmu, bukan mengusik. Maafkan kalau kami lancang.”

Langit mulai berubah jingga. Angin bertiup kencang, dan dari balik semak, kami mendengar suara isak tangis. Ratmi muncul, dengan wajah penuh luka dan mata berkaca-kaca.

“Aku tidak ingin kalian takut... tapi aku ingin suaraku didengar...” ucapnya pelan.

Kami terpaku. Ratmi tidak langsung menyerang. Ia hanya berdiri, kemudian menunjukkan lubang di punggungnya.

“Aku ingin anakku lahir... aku ingin dia tidak dikutuk seperti ibunya...”

Tiba-tiba tubuhnya berguncang. Jeritan melengking keluar dari mulutnya. Lalu ia menghilang dalam kabut. Kami kembali ke penginapan dengan langkah berat.

Sejak malam itu, tak ada lagi suara tangisan. Pak Darto mengatakan kami telah memberikan Ratmi kedamaian kecil dengan mengingatnya sebagai manusia, bukan sekadar hantu.

Beberapa hari kemudian, aku dan Siska kembali ke Jakarta. Namun, gangguan tak langsung berhenti. Siska mulai mengalami mimpi buruk. Dalam tidurnya, ia mengaku melihat Ratmi berdiri di sudut kamar, memeluk perutnya yang hamil besar sambil menangis.

“Aku tidak bisa pergi... mereka masih ada...” begitu bisik Ratmi dalam mimpi Siska.

Aku pun mengalami kejadian ganjil. Laptopku sering hidup sendiri. Ketika kubuka file tulisanku, ada tambahan paragraf yang tidak pernah kutulis:

“Namaku Ratmi. Aku bukan hantu. Aku adalah bukti bahwa kejahatan bisa dikubur, tapi tidak pernah hilang...”

Kami pun kembali ke Wonosari satu bulan kemudian. Kali ini, tidak untuk liputan, tapi untuk menyelesaikan sesuatu. Kami menyusuri arsip desa, mencari nama-nama lama. Dari data kelahiran dan kematian, kami menemukan nama lelaki bernama Wiratma—putra kepala desa tahun 1950-an. Ia tiba-tiba pindah ke luar negeri setelah peristiwa Ratmi.

Dengan bantuan warga, kami menemukan rumah tua milik keluarga Wiratma yang telah lama kosong. Di sana, kami menggali sedikit demi sedikit, dan akhirnya menemukan kotak kayu tua berisi surat—pengakuan berdosa seorang ibu yang memohon ampun atas perbuatan putranya terhadap Ratmi.

Surat itu kami bakar di makam Ratmi sambil membaca doa. Malam itu, langit Wonosari diguyur hujan deras. Petir menyambar berkali-kali, dan kami sempat mendengar tangisan terakhir... yang kemudian hilang ditelan hujan.

Setelah malam itu, desa Wonosari tak lagi dihantui. Pohon-pohon bambu mulai rimbun dengan damai. Dan kami—aku dan Siska—kembali ke Jakarta dengan kisah yang tak hanya menegangkan, tapi menyentuh.

Sundel Bolong bukan sekadar mitos. Ia adalah simbol dari luka yang tak pernah disembuhkan, dendam yang tak sempat ditenangkan, dan kebenaran yang harus ditemukan, walau sudah terlambat. Mungkin, ada banyak Ratmi di luar sana—menunggu keadilan yang tak pernah datang.

Posting Komentar