Rahasia Kamar Terakhir: Kisah Horor Sebuah Kos
Rahasia Kamar Terakhir: Kisah Horor Sebuah Kos di Yogyakarta
Di sebuah sudut sepi Kota Yogyakarta, tersembunyi sebuah rumah kos tua yang sudah berdiri sejak tahun 1980-an. Kos tersebut dikenal dengan nama "Kos Bu Sri", dan sudah puluhan tahun menjadi tempat tinggal mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia. Namun, tak banyak yang tahu bahwa kamar terakhir di ujung lorong lantai dua menyimpan sebuah rahasia gelap yang membuat bulu kuduk merinding.
Ara, seorang mahasiswi semester tiga asal Bandung, memutuskan untuk pindah ke kos Bu Sri karena lokasinya yang dekat dengan kampus dan harga sewanya yang terjangkau. Saat pertama kali tiba, ia disambut hangat oleh Bu Sri, pemilik kos yang sudah lanjut usia namun masih terlihat bugar.
"Nak Ara, kamu dapat kamar nomor 10 ya, yang paling ujung," ujar Bu Sri sambil menyerahkan kunci.
Ara sempat terdiam. Ia mendengar desas-desus dari teman-temannya bahwa kamar nomor 10 sudah lama kosong. Ada yang bilang kamar itu angker, tapi ia tak percaya hal-hal mistis.
"Bu, kamar itu kosong sudah lama ya?" tanya Ara ragu.
Bu Sri hanya tersenyum tipis. "Iya, tapi sekarang sudah waktunya diisi lagi. Kamu anak yang kuat, ya?"
Meski hatinya sempat ragu, Ara mencoba mengabaikannya. Ia mengangkat barang-barangnya dan mulai menata kamar barunya yang memang terasa lebih dingin dari kamar lainnya.
Malam pertama di kamar 10 terasa biasa saja, meski suara ketukan kecil di jendela sempat membangunkannya. Ia pikir itu hanya angin. Namun, malam-malam berikutnya mulai berubah menjadi pengalaman mencekam.
Setiap pukul 2 pagi, Ara selalu terbangun karena suara seseorang menangis dari balik lemari. Suaranya lirih, seperti perempuan muda yang sedang putus asa.
"Hiks... tolong aku... jangan kunci aku di sini..."
Awalnya Ara mengira itu hanya mimpi, tapi saat ia membuka lemari, ia menemukan sebuah tulisan di dinding bagian dalam: "AKU MASIH DI SINI".
Merasa tidak tenang, Ara mulai mencari tahu tentang kamar nomor 10. Ia bertanya ke penghuni lama kos, termasuk Mbak Lina, mahasiswi tingkat akhir yang tinggal di kamar 3.
"Ara, seriusan kamu tinggal di kamar 10? Waduh... kamu nggak tahu ceritanya ya?"
Ara menggeleng. Mbak Lina pun mulai bercerita.
"Dulu banget, ada mahasiswi namanya Nisa. Dia tinggal di kamar itu. Cantik, pintar, tapi pendiam banget. Suatu malam dia menghilang. Nggak ada yang tahu ke mana dia. Polisi sampai datang, tapi hasilnya nihil."
"Katanya sih... dia dikunci hidup-hidup di lemari itu... sama seseorang..."
Ara merinding. Kisah itu membuatnya mulai menghubungkan semua kejadian aneh yang ia alami.
Malam berikutnya, suara tangisan kembali terdengar. Tapi kali ini, suara itu disertai dengan ketukan keras dari dalam lemari.
"BUKAAAA... AKUUU..."
Ara berlari keluar kamar dan mengetuk kamar Bu Sri dengan panik. Bu Sri membukakan pintu sambil menghela napas berat.
"Sudah waktunya kamu tahu," kata Bu Sri sambil mengajaknya masuk.
Di dalam ruang tamu, Bu Sri membuka sebuah album tua berdebu. Di sana terdapat foto-foto lama para penghuni kos, termasuk Nisa.
"Nisa itu... anak saya," ujar Bu Sri lirih. "Ia mengidap gangguan kejiwaan. Suatu malam, ia mengamuk dan melukai temannya. Saya... saya mengurungnya di kamar itu. Saya tak tahu kalau ia... mati di sana."
Ara tak bisa berkata-kata. Ia merasa antara iba dan takut.
"Rohnya tidak tenang, Bu," kata Ara. "Saya harus bantu dia."
Malam itu, Ara memutuskan untuk melakukan sesuatu yang nekat. Ia menyalakan lilin dan duduk bersila di depan lemari sambil membaca doa. Ia berbicara langsung ke roh Nisa.
"Nisa, aku tahu kamu masih di sini. Aku tidak ingin kamu tersiksa. Aku akan bantu kamu pergi."
Suara isakan kembali terdengar, tapi kali ini disertai dengan suara pintu lemari yang terbuka perlahan sendiri. Dari dalamnya muncul bayangan samar seorang perempuan dengan mata penuh kesedihan.
"Terima kasih..." bisiknya sebelum menghilang bersama hembusan angin dingin.
Setelah malam itu, kamar nomor 10 menjadi tenang. Tidak ada lagi suara tangisan, tidak ada lagi ketukan. Ara tetap tinggal di kamar itu hingga lulus, dan ia menjadi saksi bahwa tidak semua kisah horor berakhir dengan teror—kadang, hanya butuh seseorang yang mau mendengarkan dan membantu jiwa yang terjebak untuk menemukan jalan pulang.
Kos Bu Sri tetap berdiri hingga kini, dan kamar nomor 10 kini dikenal sebagai "kamar yang sudah disucikan." Meski begitu, tak semua orang berani menginap di sana. Konon, kadang terdengar suara lembut dari dalam lemari, seperti seseorang yang sedang mengucapkan terima kasih...
Setelah kejadian malam itu, suasana di kos Bu Sri berubah. Bukan hanya kamar nomor 10 yang menjadi lebih tenang, tapi seluruh penghuni kos juga merasakan ada hawa berbeda—lebih damai. Namun rasa penasaran Ara belum sepenuhnya hilang. Ia merasa roh Nisa belum sepenuhnya bebas. Ada sesuatu yang masih mengikatnya di dunia ini.
Beberapa hari kemudian, Ara memutuskan untuk kembali berbicara dengan Bu Sri. Kali ini ia ingin tahu seluruh kisah di balik kematian Nisa. Ia merasa roh Nisa butuh keadilan, bukan sekadar ketenangan.
"Bu... boleh saya tahu sebenarnya apa yang terjadi malam itu? Apakah hanya Bu Sri yang tahu kejadian sesungguhnya?"
Bu Sri menatap jendela kosong beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, "Saya... tidak sendirian. Waktu itu ada seseorang yang bantu saya. Teman dekat Nisa. Namanya Ayu."
Ara meneguk ludah. "Ayu? Apa dia masih hidup?"
"Entahlah. Setelah kejadian itu, dia pindah mendadak. Tidak pernah kembali," jawab Bu Sri pelan.
Keesokan harinya, Ara menghubungi teman kampusnya yang suka mencari data lama—Rio. Ia meminta tolong untuk mencari informasi tentang Ayu dan kasus hilangnya Nisa di tahun 1998.
Beberapa hari kemudian, Rio datang membawa berkas cetak dari artikel koran lokal tahun 1998.
"Ara, ini dia. Aku nemu artikel soal kasus kos Bu Sri. Tapi anehnya, nggak ada satu pun berita yang menyebut soal kematian. Cuma ‘hilangnya’ mahasiswi bernama Nisa. Tapi di sini disebutkan ada saksi mata terakhir yang lihat Nisa... namanya Ayu Hartanti."
Ara membaca dengan cermat. Ia merasa ada sesuatu yang janggal. Kenapa berita tidak pernah mencatat kematian Nisa? Apakah tubuhnya memang tidak ditemukan? Tapi bagaimana mungkin, jika roh Nisa sendiri menampakkan diri dari dalam lemari itu?
Malam itu, Ara kembali tidur dengan lampu menyala. Tapi tepat pukul 2 pagi, suara-suara kembali muncul—kali ini bukan tangisan, tapi bisikan samar.
"Cari... kotak... merah..."
Ara terbangun dengan jantung berdetak kencang. Ia segera menghidupkan senter dan mulai memeriksa seisi kamar. Setelah memindahkan ranjang dan membongkar alas lantainya, ia menemukan sebuah papan kayu yang bisa dibuka. Di bawahnya, ada sebuah kotak besi kecil berwarna merah, berdebu dan berkarat.
Dengan hati-hati, Ara membuka kotak itu. Di dalamnya ada sebuah buku harian, pita kaset kecil, dan foto-foto Nisa bersama Ayu. Namun yang paling mengejutkan adalah sebuah surat yang ditulis tangan:
"Jika kau menemukan ini, berarti aku tidak pernah keluar dari kamar ini. Aku dikunci. Ayu tahu segalanya. Dia yang memulai pertengkaran itu. Dia yang melaporkan aku gila kepada ibu. Tapi aku waras. Aku hanya tahu rahasia Ayu... yang mencuri uang organisasi kampus. Aku ingin membongkar, tapi dia mengancamku."
Ara menutup surat itu dengan gemetar. Kini semuanya mulai masuk akal. Ayu telah menjebak Nisa. Ia mungkin mendorong Bu Sri untuk mengurung Nisa demi menutupi kejahatannya. Rasa bersalah dan kebohongan itu kini menjadi rantai yang mengikat roh Nisa di kamar tersebut.
Hari berikutnya, Ara kembali menghadap Bu Sri dengan membawa kotak merah itu.
"Bu, saya tahu ini sulit, tapi Ibu harus tahu kebenaran. Nisa tidak gila. Dia korban." Ara memperlihatkan surat itu kepada Bu Sri.
Bu Sri membaca dengan mata berkaca-kaca. "Astaghfirullah... saya sudah berdosa besar... Saya hanya percaya kata Ayu... Saya tidak pernah buka hati saya untuk mendengar anak saya sendiri."
Bu Sri akhirnya memutuskan untuk mengadakan tahlilan kecil untuk mendoakan arwah Nisa. Ia mengundang para ustaz dan tetangga sekitar. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, kamar nomor 10 dibuka secara resmi untuk umum dalam acara pengajian malam Jumat.
Saat doa mulai dibacakan, Ara melihat bayangan samar Nisa berdiri di pojok kamar, tersenyum tenang, lalu memudar perlahan.
Sejak saat itu, tidak ada lagi kejadian mistis di kamar tersebut. Ara pun menceritakan kisah ini dalam sebuah blog pribadi yang kemudian menjadi viral di kalangan mahasiswa dan komunitas urban legend di Yogyakarta.
Namun, satu hal yang masih menjadi misteri hingga kini: keberadaan Ayu. Tidak ada jejak digital, tidak ada catatan alumni, bahkan teman-teman seangkatan Nisa pun tidak tahu ke mana Ayu pergi setelah kejadian itu. Ia seperti menghilang ditelan bumi.
Ara hanya berharap, suatu hari nanti, kebenaran sepenuhnya akan terungkap. Tapi satu hal yang ia yakini, roh Nisa kini sudah bebas.
Kamar nomor 10 kini kembali disewakan. Tapi Bu Sri selalu memberikan peringatan kepada penghuni baru, "Kalau kamu dengar suara perempuan tengah malam, jangan takut. Itu cuma Nisa... memastikan kamarnya tetap aman."
Dan malam-malam yang tenang di kos Bu Sri kini tak lagi mencekam—namun tetap menyimpan sejarah gelap yang menjadi bagian tak terpisahkan dari bangunan tua itu. Sebuah kisah horor yang nyata, terjadi di tengah kota pelajar, Yogyakarta.
Posting Komentar