Rahasia Tersembunyi di Balik Wajah Cantik

Table of Contents
Rahasia Tersembunyi di Balik Wajah Cantik - Cerpen Horor Mania

Rahasia Tersembunyi di Balik Wajah Cantik

Namaku Yuda. Aku seorang fotografer freelance yang sering mengambil proyek pernikahan dan prewedding di sekitar Bandung. Suatu hari, aku menerima pesan dari seorang klien bernama Laras. Ia ingin difoto untuk portofolio pribadi. Katanya, ia ingin menjajal dunia modeling. Tentu saja, aku setuju. Permintaan seperti itu bukan hal baru.

Laras mengirimkan beberapa foto dirinya. Cantik. Sangat cantik. Matanya tajam, kulitnya bening seputih porselen, dan senyumannya memikat. Tapi ada sesuatu di balik matanya yang terasa… kosong. Meski indah, aku merasa seperti sedang menatap lukisan yang terlalu sempurna.

“Mas Yuda, kita bisa foto di villa milik orang tua saya di Lembang? Lebih tenang,” tulisnya lewat WhatsApp.

Aku mengiyakan. Lokasinya terpencil tapi suasananya memang cocok untuk foto dramatis. Saat hari pemotretan tiba, aku datang lebih awal. Villa itu tampak tua namun megah, bangunannya bergaya kolonial dengan cat putih yang mulai mengelupas. Di halaman belakang, ada pohon cemara tua yang menjulang tinggi, menambah kesan angker tempat itu.

Laras menyambutku di pintu. Ia mengenakan gaun putih panjang dan melangkah pelan seperti melayang. Wajahnya tetap cantik seperti di foto, tapi ada lingkaran hitam samar di bawah matanya, seperti seseorang yang jarang tidur.

“Maaf ya, saya sedikit kurang sehat. Tapi saya ingin sesi ini tetap jalan,” katanya lirih.

Kami mulai sesi foto. Aku mengarahkan posenya, mengambil sudut cahaya terbaik. Tapi makin lama, suasana jadi makin janggal. Setiap kali aku memotret, kamera seakan tertarik untuk menangkap sesuatu di latar belakang. Bayangan. Siluet samar. Bahkan suara jepretan kameraku terdengar seperti teredam.

“Mas, kenapa berhenti?” tanya Laras, wajahnya datar.

“Eh, enggak. Cuma… ada yang aneh di kameraku.”

Ia hanya tersenyum tipis. “Kalau Mas takut, saya bisa bantu tenangin.”

Suaranya terlalu lembut, hampir seperti bisikan. Aku mencoba kembali fokus. Tapi saat melihat hasil foto, jantungku berdegup kencang. Di salah satu gambar, wajah Laras tampak retak. Seperti topeng porselen yang pecah sedikit di pipinya. Di balik retakan itu, tampak daging hitam legam, seperti terbakar.

Aku mengucek mata. "Mungkin efek cahaya," pikirku.

Namun ketika kuangkat kamera lagi, Laras berdiri sangat dekat denganku. Terlalu dekat.

“Mas,” bisiknya, “kalau saya bilang wajah ini bukan milik saya, Mas masih mau lanjut foto saya?”

Aku terdiam. Napasku tertahan. “Maksudnya…?”

Ia memalingkan wajahnya sejenak. Lalu perlahan, tangannya mengelus pipinya sendiri… dan kulit itu mulai terkelupas. Seperti masker yang dicabut dari wajah, memperlihatkan daging busuk penuh belatung di bawahnya. Matanya kini berlubang dan hitam pekat. Bau anyir darah langsung memenuhi ruangan.

Aku jatuh terduduk. “Apa-apaan ini?!”

“Saya dulu cantik. Tapi kecantikan saya bukan dari lahir. Saya membelinya,” katanya, suaranya bergema seperti dari sumur dalam.

Ia melangkah mendekat. Tubuhnya kini membusuk, gaun putihnya berubah menjadi jubah lusuh berlumur tanah dan darah.

“Saya pernah datang ke seorang dukun di Garut. Saya ingin cantik, sempurna, dipuja semua orang. Dukun itu memberi saya wajah baru… tapi dengan syarat: tiap malam Jumat Kliwon, saya harus menggantinya dengan wajah baru. Saya butuh wajah manusia… hidup.”

Tanganku gemetar saat meraih tas kamera, mencoba mencari sesuatu untuk membela diri. Tapi Laras—atau apapun itu—sudah berdiri tepat di hadapanku.

“Sekarang, wajahmu akan jadi milikku,” desisnya sambil membuka mulut lebar-lebar.

Sebelum ia menyentuhku, sebuah lonceng tua berbunyi dari ruang tengah. Dentingannya keras dan menggelegar. Laras berhenti, wajahnya panik. “Tidak! Belum waktunya!”

Seketika, ia berlari ke belakang villa dan menghilang dalam kegelapan. Aku bergegas keluar, menyalakan motor dan meninggalkan tempat itu secepat mungkin.

Sesampainya di rumah, aku langsung memeriksa semua hasil foto. Dan anehnya… tak satu pun dari foto itu menampilkan wajah Laras. Semua foto hanya menunjukkan sosok tanpa muka, atau siluet gelap tanpa detail.

Beberapa hari kemudian, aku mencoba mencari informasi tentang Laras. Tidak ada jejak. Nomornya tidak bisa dihubungi. Saat aku kembali ke villa untuk mencari jawaban, aku hanya menemukan bangunan tua kosong yang nyaris roboh. Seorang bapak tua di warung dekat sana berkata, “Laras? Oh… kalau itu, anak orang kaya yang katanya bunuh diri 10 tahun lalu. Mayatnya enggak utuh pas ditemukan. Katanya, wajahnya hilang.”

Kini, setiap malam Jumat Kliwon, aku sering bermimpi buruk. Mimpi tentang wanita cantik yang mengelupas wajahnya satu per satu, memperlihatkan wajah-wajah lain yang tak kukenal. Dan di akhir mimpi, ia selalu berkata, “Satu wajah lagi. Aku hanya butuh satu lagi…”

Dua minggu setelah kejadian itu, aku mulai merasa dia mengikutiku. Bukan hanya dalam mimpi. Aku sering melihat bayangan wanita berambut panjang berdiri di ujung lorong rumah, hanya diam memandangi aku yang mencoba tidur. Kadang, aku mendengar suara perempuan tertawa pelan dari dalam kamar mandi. Dan yang paling membuatku kehilangan akal adalah saat aku memeriksa kaca spion motorku dan melihat wajah Laras tersenyum lebar di belakangku… padahal aku sendirian di jalan.

Aku mencoba meminta bantuan paranormal. Mereka bilang sosok itu belum selesai denganku. Karena ritual pengambilan wajahnya terganggu oleh dentingan lonceng tua, prosesnya tidak tuntas. Artinya, aku masih menjadi incaran.

Aku diberi jimat pelindung, doa-doa, bahkan dianjurkan meninggalkan dunia fotografi untuk sementara. Tapi tetap saja, dia terus muncul. Kadang di bayangan kaca, kadang di layar laptop saat aku membuka file foto lama. Wajahnya selalu berubah-ubah… seperti mencoba menyesuaikan dengan wajahku.

Suatu malam, aku mendengar ketukan pelan dari jendela kamar. Kupikir maling. Tapi saat membuka tirai, aku melihat Laras… berdiri diam, wajahnya kini hampir menyerupai wajahku. Setengah bagian wajahnya adalah aku, setengah lagi tetap wajah lamanya yang membusuk. Ia menempelkan tangan ke kaca, dan dengan suara rendah berkata, “Sudah waktunya. Wajahmu, milikku.”

Sejak itu, aku tidak pernah tidur tanpa lampu menyala. Bahkan kadang aku menempelkan cermin kecil di bawah tempat tidur dan di belakang pintu. Entah itu membantu atau tidak, tapi sejauh ini, ia belum berhasil mengambilku. Namun aku tahu, waktuku terbatas. Cepat atau lambat, dia akan kembali. Dan kali ini… mungkin aku tak akan punya kesempatan untuk lari.

Jadi kalau suatu hari kamu melihat iklan fotografer freelance yang menolak memotret wajah—itu mungkin aku. Karena aku tahu, setiap wajah adalah pintu. Dan beberapa pintu… seharusnya tidak pernah dibuka.

Posting Komentar