Rumah Tua yang Berantakan: Kisah Horor
Rumah Tua yang Berantakan: Kisah Horor di Pinggiran Bandung
Di pinggiran kota Bandung, tepatnya di daerah Lembang yang berkabut, berdirilah sebuah rumah tua yang sudah lama tak berpenghuni. Atapnya sebagian roboh, cat temboknya mengelupas, dan tanaman liar menjalar ke seluruh halaman. Warga sekitar menyebutnya “Rumah Jati Tua”. Mereka percaya bahwa rumah itu berhantu.
Namaku Raka. Aku adalah seorang mahasiswa arsitektur yang tengah mencari lokasi untuk tugas akhir mengenai bangunan tua bersejarah. Bersama tiga temanku—Fahri, Tika, dan Novi—kami memutuskan untuk mengeksplorasi rumah tersebut demi mendapatkan referensi langsung.
“Lu yakin tempat ini aman, Rak?” tanya Fahri dengan nada ragu saat kami berdiri di depan gerbang berkarat.
“Gak ada larangan masuk kok. Lagipula, ini buat tugas akhir. Kita cuma ambil gambar dan catat struktur bangunannya,” jawabku, mencoba menenangkan mereka, meskipun jantungku sendiri berdetak cepat.
Tika, yang biasanya paling berani, bahkan tampak gelisah. “Aku dengar dari warga, rumah ini pernah dihuni keluarga Belanda yang mati terbakar. Tapi jasadnya nggak pernah ditemukan,” bisiknya pelan.
Kami melangkah masuk ke halaman. Rerumputan tinggi menyembunyikan bebatuan dan pecahan kaca. Angin meniup dedaunan kering, menimbulkan suara gemerisik yang mencurigakan. Kami saling pandang, tapi tetap melangkah maju.
Begitu memasuki ruang tamu, bau apek dan lembap langsung menyerang hidung. Dinding penuh coretan, dan sebuah cermin besar retak tergantung di salah satu sudut.
“Ruangannya masih lumayan utuh,” gumamku sambil mencatat denah di buku sketsa. Tiba-tiba, Novi memekik.
“Ada yang jalan di lantai atas!” teriaknya sambil menunjuk ke langit-langit yang berderit.
Kami semua terdiam. Suara langkah itu terdengar jelas—berat, lambat, seperti seseorang yang sedang menyeret kakinya.
“Bisa jadi tikus atau kucing liar,” ucap Fahri, walaupun ekspresinya menunjukkan keraguan.
Kami naik ke lantai dua dengan hati-hati. Tangga kayu itu berderit setiap kali diinjak. Begitu sampai di atas, suasana terasa lebih dingin. Di ujung lorong gelap, sebuah pintu kamar terbuka perlahan... tanpa ada angin.
“Siapa di sana?” teriakku sambil menyorotkan senter. Tak ada jawaban, hanya keheningan mencekam.
Kami mendekat. Bau gosong menyeruak dari dalam kamar itu. Begitu pintu dibuka sepenuhnya, kami melihat sebuah tempat tidur tua hangus terbakar. Di dinding, ada lukisan keluarga Belanda—seorang pria, wanita, dan dua anak kecil—semuanya tampak menatap lurus ke arah kami.
“Aku nggak suka tempat ini,” bisik Tika, menggenggam tangan Novi yang gemetar.
Tiba-tiba, suara anak kecil tertawa terdengar dari belakang kami. Kami menoleh serempak—tak ada siapa-siapa. Lalu suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat.
“Rak... kita keluar aja yuk...” pinta Novi, suaranya nyaris menangis.
Saat kami berbalik, pintu kamar tertutup sendiri dengan keras! Kami semua tersentak. Senterku berkedip-kedip, lalu padam. Dalam kegelapan, suara langkah dan bisikan terdengar dari segala arah.
“Ada yang nggak beres!” teriak Fahri sambil menendang pintu. Tapi pintu itu tak bergeming, seolah terkunci dari luar.
Lalu, di sudut kamar, muncul sesosok bayangan... tinggi, kurus, dan seluruh tubuhnya terbakar. Matanya merah menyala, dan dari mulutnya keluar suara serak.
“Keluargaku... terbakar... kalian melihatnya?”
Kami membeku. Makhluk itu melangkah maju, dan setiap langkahnya membuat lantai berderit keras. Tika berdoa dalam hati, Novi menutup matanya, dan Fahri menggenggam pisau lipat yang ia bawa.
Dengan panik, aku mencari jalan keluar dan melihat sebuah jendela setengah terbuka. “Lewat sini!” teriakku. Kami memanjat keluar satu per satu, lalu terjun ke semak-semak di bawahnya.
Kami lari tanpa menoleh ke belakang. Suara tawa dan teriakan mengikut kami hingga ke jalan utama. Baru setelah sampai di warung dekat jalan raya, kami berhenti dan mencoba bernapas normal.
Wajah kami pucat. Badan gemetar. Tapi kami selamat. Sejak saat itu, tak ada satu pun dari kami yang berani kembali ke rumah tua itu.
Menurut cerita warga, rumah itu memang pernah terbakar puluhan tahun lalu. Seluruh keluarga penghuninya meninggal, namun jasad mereka tak pernah ditemukan. Banyak yang percaya arwah mereka masih bergentayangan, mencari keadilan atas kematian yang tragis.
Beberapa hari setelah kejadian itu, kami mulai mengalami hal-hal aneh. Setiap malam, aku mendengar ketukan pelan di jendela kamarku. Ketika aku membuka tirai, tak ada siapa pun. Namun esok paginya, aku menemukan bekas tangan hitam di kaca.
Fahri mulai bermimpi buruk. Ia mengaku sering bermimpi tentang kamar yang kami masuki, tapi dalam mimpi itu, ia terkunci dan tubuhnya mulai terbakar. Di mimpi yang sama, sosok anak kecil menangis di sudut kamar, memanggil nama Fahri berulang kali.
Tika mendadak jatuh sakit. Demam tinggi tanpa sebab. Ibunya bilang Tika sering berbicara sendiri dalam tidur, menyebut-nyebut "Nona Belanda" dan "api di langit-langit". Tubuhnya panas seperti terbakar dari dalam.
Kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah itu, bukan untuk masuk, tapi untuk menemui seorang dukun tua yang tinggal tak jauh dari sana. Namanya Mbah Minto. Ia sudah puluhan tahun dikenal sebagai penjaga gaib daerah itu.
“Anak-anak muda, kalian sudah mengusik yang lama tertidur,” ucap Mbah Minto sambil menghisap rokok klobotnya.
“Kalian masuk tanpa permisi, menyentuh benda peninggalan mereka, dan melihat apa yang tak seharusnya dilihat. Arwah keluarga itu tak tenang. Mereka terbakar dalam kemarahan.”
Kami memohon bantuan. Mbah Minto akhirnya melakukan ritual kecil. Ia memberi kami jimat, dan berpesan agar tidak lagi kembali, serta menyalakan lilin setiap malam selama tujuh hari sambil membaca doa khusus.
Setelah ritual itu, gangguan perlahan menghilang. Tika sembuh, mimpi buruk Fahri berhenti, dan aku tak lagi mendengar ketukan aneh.
Kini, kami tak pernah lagi membicarakan rumah itu. Setiap kali ada yang menyinggung soal bangunan tua atau tempat angker, kami hanya saling pandang dan diam.
Namun, setiap kali aku melewati Lembang, aku selalu menunduk saat melihat kabut menggulung dan rumah tua itu berdiri sendirian di kejauhan. Aku tahu... sesuatu masih tinggal di sana, menunggu siapa pun yang cukup nekat untuk masuk tanpa izin.
Kisah ini bukan sekadar cerita tugas akhir. Ini adalah peringatan. Jika kamu melihat rumah tua yang berantakan dan merasa tertarik untuk masuk, ingatlah—tidak semua pintu harus dibuka. Tidak semua suara harus ditanggapi. Dan tidak semua arwah ingin ditemukan.
Posting Komentar