Rumah yang Terbakar: Kisah Kebakaran Misterius
Rumah yang Terbakar: Kisah Kebakaran Misterius
Di sebuah desa terpencil di kaki Gunung Lawu, terdapat sebuah rumah tua yang hangus terbakar puluhan tahun lalu. Warga setempat menyebutnya “Rumah Widuri”. Konon, rumah itu terbakar tanpa sebab jelas, menewaskan satu keluarga yang tinggal di dalamnya. Kebakaran itu begitu hebat, namun tidak ada saksi mata yang dapat menjelaskan apa yang terjadi. Api tiba-tiba menyala dan membakar seluruh bangunan hanya dalam hitungan jam. Tidak ada yang bisa menyelamatkan keluarga tersebut.
Bertahun-tahun berlalu, puing-puing rumah itu tetap tak disentuh. Orang-orang percaya bahwa rumah itu dikutuk. Setiap yang mencoba membangun kembali atau sekadar masuk ke sana akan mengalami hal-hal aneh. Banyak yang berusaha mencari tahu misteri kebakaran tersebut, namun tidak ada yang berhasil. Beberapa warga bahkan melarang anak-anak mereka untuk bermain di dekat rumah itu, karena percaya jika mereka terlalu dekat, mereka akan mengalami nasib buruk yang sama.
Andi, mahasiswa jurusan arsitektur dari Surakarta, datang ke desa itu bersama tiga temannya—Rika, Danu, dan Tyo—untuk mengerjakan proyek skripsi tentang arsitektur kolonial. Mereka mendengar desas-desus tentang Rumah Widuri dan tertarik untuk mendokumentasikannya. Mereka ingin mempelajari arsitektur rumah tersebut dan melihat bagaimana kebakaran itu terjadi.
“Kita cuma foto-foto dari luar kok, nggak bakal ganggu apa-apa,” kata Danu, mencoba meyakinkan Rika yang sejak awal sudah tidak nyaman.
“Aku nggak enak, Dan. Warga aja nggak berani ke situ,” ujar Rika lirih. “Apa sih yang bikin mereka begitu takut?”
“Mungkin cuma cerita-cerita doang, Rik. Tapi kita kan cuma ingin dokumentasi. Nggak bakal lama kok, cuma beberapa jam,” timpal Andi sambil mengangkat tas kecil berisi perlengkapan ritual sederhana yang disarankan Pak Lurah. “Lagipula, kita harus minta izin sama penghuni rumah itu, kan?”
Mereka tiba di lokasi saat sore menjelang malam. Matahari tenggelam di balik bukit, dan angin dingin mulai menyelimuti. Rumah Widuri berdiri sunyi, dindingnya hangus dan berlubang, dengan pohon beringin tua menjulang di sampingnya. Pemandangan itu terasa seperti keluar dari film horor, dengan suasana yang sepi dan mencekam.
“Tempatnya… aneh banget,” gumam Tyo sambil mengambil gambar. “Kayak masih ada yang tinggal di dalam.”
“Iya, benar. Ada aura yang nggak enak,” kata Rika, dengan raut wajah cemas. “Aku nggak yakin kalau kita harus masuk.”
“Nggak apa-apa, Rik. Kita cuma ambil foto dari luar. Cuma sedikit dokumentasi, kok. Kalau kita nggak masuk, gimana kita bisa tahu sejarah rumah ini?” jawab Andi, mencoba menenangkan Rika. “Lagipula, kalau nggak ada yang pernah berani masuk, kita yang pertama kali kan jadi penemu yang berani.”
Mereka mulai mendokumentasikan rumah itu. Rika tetap di luar pagar, menyalakan dupa dan berdoa, sesuai dengan saran Pak Lurah agar mereka tidak mengganggu roh yang ada di sana. Sementara Andi, Danu, dan Tyo masuk ke dalam rumah, menginjak lantai kayu yang berderit di setiap langkah mereka. Udara di dalam terasa lembap dan sedikit bau busuk menyengat. Setiap sudut rumah itu terlihat gelap, dengan jejak-jejak kebakaran yang masih tampak jelas.
Di dalam, bau hangus dan tanah basah menyeruak. Dindingnya masih penuh jelaga, tapi di salah satu ruangan, ada lukisan wanita tua yang tidak terbakar sedikit pun. Lukisan itu menggambarkan seorang wanita dengan mata yang tampak tajam, menatap tajam seolah bisa melihat siapa saja yang melihatnya.
“Eh, liat deh. Lukisan ini utuh banget. Padahal yang lain gosong semua,” ujar Danu sambil menunjuk lukisan tersebut. Ia semakin penasaran dengan keberadaan lukisan itu, yang seperti tidak terpengaruh oleh kebakaran yang terjadi.
“Siapa ya dia? Pemilik rumah?” tanya Tyo sambil memotret. Namun saat lampu flash menyala, lukisan itu tampak berubah—senyum wanita tua itu menghilang, tergantikan oleh ekspresi marah dan mata yang menatap langsung ke kamera.
“Tyo, cepet keluar. Gue ngerasa aneh, deh,” ucap Andi dengan suara gemetar. “Suasananya beda, kayak... ada yang ngikutin.”
Tiba-tiba, terdengar suara tangisan dari lantai dua. Padahal, seluruh lantai atas sudah runtuh akibat kebakaran. Suara itu terdengar semakin jelas, seperti ada seseorang yang menangis kesakitan di dalam rumah itu.
“Dengar nggak? Itu suara cewek nangis?” bisik Danu, wajahnya pucat. “Kayaknya ada yang nggak beres.”
“Udah, kita keluar aja. Ayo!” Andi menyuruh mereka keluar dengan cepat. Mereka berlari ke pintu keluar, berusaha menghindari apa pun yang ada di dalam rumah itu.
Mereka berlari keluar, hanya untuk menemukan Rika berdiri mematung dengan wajah kosong di depan rumah. Matanya melotot, dan mulutnya bergerak-gerak seperti berdoa tanpa suara. Rika tampak seperti bukan dirinya, seolah ada sesuatu yang menguasai tubuhnya.
“Rika! Hei, sadar!” Tyo mengguncang tubuhnya, mencoba membuat Rika kembali sadar. Namun, Rika hanya berdiri diam tanpa memberikan reaksi apa pun.
Rika tiba-tiba menatap mereka dan berkata dengan suara berat, “Kenapa kalian masuk tanpa izin?” suaranya terdengar tidak seperti biasanya.
“Rik... itu bukan kamu, ya?” bisik Andi dengan cemas. Rika, yang biasanya ramah dan ceria, kini tampak seperti sosok yang berbeda. Matanya kosong dan suaranya berat, seperti ada yang menguasai dirinya.
“Mereka belum pergi. Api belum cukup. Mereka belum hangus sepenuhnya…” suara itu bukan suara Rika.
Tiba-tiba, dupa yang dinyalakan Rika padam ditiup angin kencang. Langit gelap seketika, dan rumah tua itu memancarkan cahaya kemerahan dari dalam, seperti terbakar kembali. Api menjilat-jilat jendela tanpa menyentuh kayu. Tapi yang terdengar adalah jeritan-jeritan… seperti ada yang terbakar hidup-hidup.
Mereka semua lari terbirit-birit ke rumah Pak Lurah. Rika pingsan dalam pelukan Danu. Malam itu, mereka semua tidur di rumah Pak Lurah, ditemani doa dan bacaan ayat-ayat suci oleh seorang kiai kampung. “Kalian beruntung masih bisa pulang,” kata Pak Lurah esok paginya. “Banyak yang nggak bisa keluar dari sana setelah masuk.”
Rika akhirnya sadar, tapi ia tidak ingat apa-apa tentang kejadian malam sebelumnya. Namun sejak itu, ia sering bermimpi tentang seorang wanita tua yang berdiri di depan rumah terbakar sambil memanggil namanya. Dalam mimpi itu, Rika merasa seperti dia dipanggil untuk kembali, untuk menghadapinya.
Andi memutuskan untuk membatalkan proyek skripsinya tentang Rumah Widuri. Ia dan teman-temannya sepakat tidak akan pernah kembali ke sana. Mereka tidak ingin mempertaruhkan nyawa mereka lagi hanya untuk sebuah proyek. Namun beberapa minggu kemudian, Andi menerima sebuah foto misterius di emailnya. Foto itu memperlihatkan mereka berempat berdiri di depan Rumah Widuri… tapi dengan satu sosok tambahan: seorang wanita tua di belakang mereka, tersenyum lebar dengan mata menyala merah.
Andi mencoba melacak IP pengirim, tapi hasilnya nihil. Ia pun menghapus foto itu dan mengganti alamat email. Tapi malam itu, ia bermimpi rumah itu kembali terbakar, dan dari balik kobaran api, wanita tua itu berjalan keluar, mendekatinya dengan tatapan kosong. Suara wanita itu terdengar, “Belum selesai, Nak… belum selesai…”
Rumah Widuri tetap berdiri hingga kini. Tak pernah direnovasi, tak pernah dimasuki lagi. Namun setiap malam Jumat Kliwon, warga sekitar masih melihat cahaya merah menyala dari dalam rumah… dan bayangan wanita tua berdiri di jendela, menatap setiap orang yang berani mendekat.
Beberapa percaya itu adalah roh pemilik rumah yang tewas dalam kebakaran misterius. Tapi yang lain bilang, itu bukan arwah… tapi entitas yang lebih tua dan lebih gelap. Ia menunggu… rumah itu adalah pintunya.
Posting Komentar