Sosok di Ujung Lorong: Kisah Penampakan
Sosok di Ujung Lorong: Kisah Penampakan
Malam itu hujan turun dengan deras. Petir menyambar sesekali, menerangi langit Jakarta yang kelabu. Di tengah gelap dan sunyi, terdengar suara langkah kaki tergesa memasuki asrama mahasiswa tua di daerah Menteng. Namanya Asrama Wijaya, bangunan peninggalan zaman Belanda yang kini dijadikan tempat tinggal bagi mahasiswa dari berbagai daerah.
“Cepetan, Rin! Udah hampir jam dua belas!” seru Lani sambil menarik tangan sahabatnya, Rina, yang tampak masih sibuk dengan ponselnya.
“Iya, iya, bentar. Aku lagi cek pesan dosen dulu,” jawab Rina dengan suara pelan.
Asrama itu terdiri dari dua lantai. Lorong panjang yang gelap menjadi penghubung antar kamar. Lampu-lampunya sering redup dan berkedip seperti hampir padam. Tapi malam itu, suasananya terasa lebih mencekam dari biasanya.
Lani membuka pintu kamar mereka, kamar 205, lalu melirik ke ujung lorong. Ia mengernyit.
“Aneh, siapa yang berdiri di ujung lorong?” bisiknya.
Rina ikut menoleh. Di ujung lorong, tampak samar sosok tinggi dengan rambut panjang menutupi wajah. Berdiri diam, membelakangi cahaya.
“Itu... siapa?” Rina bergidik.
Lani cepat-cepat menutup pintu dan menguncinya. “Udahlah, mungkin penghuni kamar belakang,” katanya, walau nada suaranya tak meyakinkan.
Malam itu, mereka tidur dengan lampu menyala. Tapi entah kenapa, suasana terasa dingin dan penuh tekanan. Lani bermimpi buruk — tentang seorang perempuan berpakaian putih, berdiri di ujung lorong dan terus memanggil namanya dengan suara serak.
“Lan… Lani… ikut aku…”
Ia terbangun dengan peluh dingin. Saat melirik ke arah jam, sudah pukul tiga dini hari. Rina masih tertidur, tapi dari luar kamar terdengar suara langkah kaki menyeret.
Langkah itu berat… dan lambat. “Srrrtt… srrrtt…”
Lani menahan napas. Ia merapatkan selimut dan memejamkan mata, berharap suara itu hanyalah angin atau khayalannya.
Keesokan paginya, Lani dan Rina sarapan di kantin kecil asrama. Mereka mencoba bersikap biasa, tapi pikiran mereka masih tertinggal di malam sebelumnya.
“Kita tanya aja, deh, sama penghuni kamar belakang,” kata Rina. “Siapa tahu mereka yang berdiri semalam.”
Namun, saat mereka bertanya ke pengelola asrama, jawaban yang mereka dapat sungguh mengejutkan.
“Kamar paling ujung? Kamar 210? Sudah kosong sejak dua bulan lalu,” kata Bu Erni, penjaga asrama. “Dulu penghuninya mahasiswa bernama Sari. Tapi dia bunuh diri di kamar mandi…”
Lani dan Rina saling pandang. “Bunuh diri?” tanya Rina pelan.
“Iya. Katanya dia stres karena tugas kuliah dan masalah pribadi. Setelah kejadian itu, sering ada yang lihat penampakan perempuan berdiri di lorong. Kadang menangis, kadang hanya diam,” jelas Bu Erni sambil menyeduh kopi.
Hari-hari berikutnya berubah mencekam. Lampu lorong sering mati sendiri. Suara tangisan terdengar tiap malam. Bahkan ada mahasiswa lain yang mengaku melihat sosok perempuan duduk di tangga sambil menyisir rambutnya.
Puncaknya terjadi seminggu kemudian. Malam itu, Rina sedang sendiri di kamar. Lani harus pulang kampung karena keluarganya sakit. Rina mencoba mengalihkan ketakutan dengan menonton film, tapi listrik tiba-tiba padam.
Ia menyalakan senter dari ponselnya, lalu mencoba keluar mencari petugas. Tapi saat membuka pintu, lorong gelap itu tampak lebih panjang dari biasanya. Di ujungnya, terlihat jelas sosok perempuan berdiri mematung.
Rambutnya panjang menutupi wajah. Gaunnya lusuh dan kotor. Tubuhnya diam, namun aura dingin menyelimuti seluruh lorong.
“Permisi…” suara Rina bergetar.
Sosok itu tidak menjawab. Hanya berdiri. Tapi perlahan, ia mulai bergerak… mendekat.
Langkahnya lambat, menyeret. Mata Rina membelalak. Ia mundur, tapi kakinya gemetar hebat. Sosok itu terus mendekat, lalu berhenti tepat di depan kamar 205.
Rina menahan napas. Sosok itu menoleh perlahan… dan wajahnya terlihat. Pucat, penuh luka, dan matanya hitam kosong.
“Lan… i…” bisiknya.
Rina pingsan di tempat.
Ia ditemukan keesokan paginya oleh Bu Erni, terbaring di depan kamar dengan wajah ketakutan. Sejak itu, Rina dirawat di rumah sakit dan enggan kembali ke asrama.
Lani, yang baru kembali dari kampung, terkejut mendengar semuanya. Ia merasa bersalah karena meninggalkan Rina. Ia pun memutuskan mencari tahu lebih jauh soal sosok itu.
Dengan bantuan seorang teman jurusan antropologi, ia menemukan fakta bahwa Asrama Wijaya dulunya adalah rumah peristirahatan pejabat kolonial Belanda. Banyak cerita tentang pembunuhan, penyiksaan, bahkan wanita pribumi yang dijadikan budak dan diperlakukan tak manusiawi.
Salah satunya adalah perempuan bernama Sri, yang konon dibunuh secara brutal karena menolak menjadi selir. Ia dibunuh dan jenazahnya dibuang di ujung lorong yang kini menjadi kamar 210.
“Apa mungkin itu dia?” gumam Lani.
Ia pun melakukan ritual sederhana bersama tetua lokal, membakar dupa dan menabur bunga di lorong. Malam itu, ia bermimpi bertemu perempuan berpakaian putih.
“Aku bukan Sari… aku Sri… aku hanya ingin tenang…” katanya pelan.
Sejak malam itu, penampakan sosok di ujung lorong perlahan menghilang. Tangisan tak terdengar lagi. Lorong asrama menjadi terang kembali. Tapi kisah itu tetap hidup, menjadi legenda di kalangan mahasiswa baru.
Suatu malam, beberapa bulan setelah kejadian itu, asrama menerima penghuni baru bernama Tari. Ia menempati kamar 207, tak jauh dari kamar 210 yang tetap dibiarkan kosong. Tari, yang tidak tahu menahu tentang kisah lama, sering begadang hingga larut. Dan pada suatu malam saat sedang ke kamar mandi, ia melihat seorang perempuan berdiri di ujung lorong.
Sama seperti yang dialami Lani dan Rina, sosok itu hanya berdiri diam. Tapi bedanya, Tari memberanikan diri bertanya.
“Mbak, cari siapa?” tanyanya.
Perempuan itu menoleh… dan tersenyum. Senyum dingin yang membuat darah Tari seolah berhenti mengalir. Saat Tari memutar badan dan berlari kembali ke kamarnya, ia mendengar bisikan di belakangnya.
“Aku belum selesai…”
Tari mengadu pada pengurus, tapi tak ada yang bisa dilakukan. Hingga hari ini, kamar 210 masih tertutup rapat. Tidak ada yang berani menempatinya. Dan lorong panjang itu, setiap malam, selalu menyimpan cerita baru.
Jika kamu kebetulan tinggal di sebuah asrama tua dan melihat sosok di ujung lorong—jangan sapa, jangan dekati, dan yang paling penting: jangan jawab jika dia memanggil namamu. Karena jika kau jawab, mungkin kau akan menjadi bagian dari lorong itu selamanya.
Posting Komentar