Teror di Benteng Pendem, Cilacap

Table of Contents
Teror di Benteng Pendem, Cilacap -  Cerpen Horor Mania

Teror di Benteng Pendem: Cilacap

Sore itu, langit Cilacap mulai memerah. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin dan debu sejarah dari bangunan tua yang berdiri megah: Benteng Pendem. Dibangun oleh Belanda pada abad ke-19, benteng itu menjadi saksi bisu perang dan penderitaan. Kini, ia menjadi objek wisata, tapi tak semua yang datang mencari kesenangan.

“Nad, kamu yakin mau ke sana sore-sore begini?” tanya Riko, sambil mengatur kamera DSLR-nya.

Nadia tersenyum kecil. “Justru karena sore, auranya lebih berasa. Lagipula, kita kan mau bikin konten horor buat YouTube.”

Bersama dua teman lainnya, Tio dan Sari, mereka adalah tim kecil channel "Jejak Tak Terlihat" yang gemar menjelajahi tempat-tempat angker di Indonesia. Benteng Pendem menjadi target berikutnya.

Saat mereka tiba di gerbang utama, suasana sudah mulai sepi. Hanya satu-dua pengunjung yang hendak pulang. Petugas tiket memperingatkan mereka agar tidak terlalu lama di dalam.

“Hati-hati ya, jangan pisah-pisah. Kalau sudah gelap, keluar saja. Tempat ini... kadang tidak ramah saat malam,” kata pria tua penjaga pintu masuk sambil menatap mereka dengan sorot mata aneh.

Tio tertawa kecil. “Dikira kita anak kemarin sore kali ya. Udah biasa masuk tempat angker, Pak.”

Namun, perasaan itu berubah ketika mereka mulai menyusuri lorong bawah tanah benteng. Dinding lembap, suara gemeretak dari atas, dan suhu yang menurun drastis membuat mereka saling pandang.

“Gue nggak nyaman, Nad,” bisik Sari. “Kayak... diawasin.”

Nadia mengangguk pelan. “Iya. Ayo kita mulai syuting, biar nggak lama-lama.”

Mereka mulai merekam. Nadia memandu narasi, menjelaskan sejarah benteng, dari fungsi militernya hingga kisah eksekusi para tahanan pribumi yang memberontak. Di balik lensa kamera, Riko merasa seperti ada bayangan melintas cepat.

“Eh, tadi ada yang lewat ya?” bisiknya ke Tio.

“Di mana?” Tio menoleh cepat. “Gue gak lihat apa-apa.”

Sari tiba-tiba terdiam. Pandangannya terpaku ke sudut lorong yang gelap. “Lihat itu... ada orang.”

Mereka semua menoleh. Di sana, samar-samar, terlihat siluet seorang pria berpakaian compang-camping, berdiri membelakangi mereka. Saat lampu senter diarahkan, sosok itu lenyap.

“Udah mulai nih…” gumam Nadia. Tapi suara gemetar menandakan keberanian itu mulai runtuh.

Mereka melanjutkan ke bagian ruang tahanan, ruangan sempit berderet dengan jeruji tua yang berkarat. Tiba-tiba Riko merasa dadanya sesak.

“Aku keluar sebentar,” katanya.

Namun saat ia membuka pintu keluar lorong, bukan halaman benteng yang terlihat. Justru lorong lain yang lebih gelap dan panjang.

“Ini bukan jalan tadi…” Riko panik.

Tiba-tiba terdengar jeritan dari dalam. Tio berlari ke arah suara itu, dan menemukan Sari terduduk di lantai, wajahnya pucat.

“Dia… dia bisik sesuatu ke aku…” isak Sari. “Dia bilang… jangan ganggu aku…”

“Siapa?” tanya Nadia sambil menggenggam tangan Sari.

Sari menatap mereka dengan mata berkaca-kaca. “Perempuan. Bajunya putih, matanya merah… Dia berdiri tepat di belakang kamu, Nad…”

Jantung Nadia nyaris berhenti. Ia menoleh cepat, tapi tak ada siapa-siapa.

Mereka memutuskan keluar dari benteng. Tapi jalan yang mereka lalui terasa berbeda. Dindingnya basah, dan cahaya matahari senja tak lagi tampak. Suara langkah mereka menggema panjang.

Riko belum terlihat. Tio mencoba meneleponnya, tapi tidak ada sinyal. Bahkan kompas di HP mereka berputar-putar tak tentu arah.

“Ini gak masuk akal. Benteng ini gak sebesar ini…” desis Tio.

Lalu mereka sampai di sebuah ruangan yang tidak pernah mereka lihat di peta atau info wisata. Di dalamnya ada satu kursi kayu dengan tali tambang tergantung di atasnya. Bau amis memenuhi ruangan.

Sari gemetar. “Ini… tempat gantung diri?”

Tiba-tiba tali tambang itu berayun sendiri. Udara menjadi sangat dingin. Lalu, muncul suara perempuan:

“Kalian... datang... untuk apa?”

Suara itu bergema dari segala arah. Mereka panik. Nadia menutup mata sambil berdoa, dan saat membukanya—mereka sudah berada di halaman depan benteng, tepat di depan pintu masuk. Seolah semua lorong tadi hanya mimpi buruk.

Tak lama kemudian, Riko keluar dari sisi lain. Wajahnya pucat, bajunya basah oleh peluh.

“Gue tadi di mana ya? Gue buka pintu, tapi terus kayak masuk lorong gak berujung… Suara langkah ada di belakang gue terus. Gue pikir gue gak bakal keluar,” katanya terbata.

Petugas tua tadi hanya mengangguk pelan saat mereka menceritakan semuanya.

“Bukan kalian yang pertama. Banyak yang melihat, mendengar, bahkan tersesat. Mereka yang dulu dipenjara di sini… banyak yang masih belum tenang,” katanya lirih.

Sejak kejadian itu, mereka memutuskan untuk berhenti mengeksplor tempat angker. Video rekaman mereka disimpan, tapi tidak pernah diunggah. Anehnya, setiap kali mereka memutar ulang footage malam itu, selalu terdengar bisikan samar:

“Jangan ganggu tempat kami…”

Benteng Pendem tetap berdiri hingga hari ini. Siang hari tampak biasa, ramai dikunjungi wisatawan. Tapi saat matahari tenggelam, lorong-lorong gelapnya menyimpan cerita yang tak semua mata bisa lihat, tak semua telinga bisa dengar.

Jika suatu hari kamu berkunjung ke Benteng Pendem dan merasa angin dingin berhembus dari lorong bawah tanah, jangan hiraukan. Tapi jika kamu mendengar seseorang memanggil namamu... jangan jawab.

Malam itu, setelah video mereka tidak jadi diunggah, Riko memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Namun, saat ia sedang berjalan pulang, ia merasa ada sesuatu yang aneh. Di jalan yang biasa dilewatinya, tiba-tiba langit terlihat lebih gelap, seperti mendung tebal yang menutupi bulan. Langkahnya terdengar berat di telinga. Tiba-tiba, di ujung jalan, ia melihat sosok yang sama seperti yang mereka lihat di Benteng Pendem—seorang pria berpakaian lusuh dengan wajah yang tak jelas.

“Halo, Riko,” suara itu terdengar lembut, namun terasa sangat asing dan mencekam. Riko menoleh, dan betapa terkejutnya ia saat melihat bahwa wajah pria itu berubah, menjadi wajah wanita pucat dengan mata merah menyala.

Sosok itu hanya berdiri mematung, seperti menunggu sesuatu. Riko tidak bisa bergerak. Matanya tidak bisa lepas dari sosok itu, dan suara bisikan itu kembali terdengar:

“Jangan coba-coba kembali, Riko...”

Dengan gemetar, Riko berlari secepat mungkin. Sosok itu tetap diam di tempat, memandanginya dengan tajam. Hingga akhirnya ia berhasil pulang ke rumah. Namun, setiap malam, mimpi buruk itu kembali menghantuinya, dan sosok itu selalu hadir.

Kisah ini pun menjadi legenda di kalangan mereka yang pernah mengunjungi Benteng Pendem. Tempat itu memang penuh dengan misteri dan teror yang tak terungkapkan. Siapa yang berani mengunjungi lagi setelah mendengar cerita ini? Karena bagi sebagian orang, Benteng Pendem lebih dari sekedar tempat bersejarah—tempat itu adalah penjara abadi bagi jiwa-jiwa yang belum tenang.

Posting Komentar