Teror di Lift: Perjalanan Menuju Neraka

Table of Contents
Teror di Lift, Perjalanan Menuju Neraka - Cerpen Horor Mania

Teror di Lift, Perjalanan Menuju Neraka

Gedung tua berlantai sepuluh itu masih berdiri kokoh di tengah kota Bandung, meski sudah tidak seramai dulu. Orang-orang menyebutnya “Gedung Merah” karena cat dindingnya yang sudah memudar dan berlumut, memberi kesan menyeramkan, terutama saat malam hari.

Rina, seorang karyawan baru di perusahaan desain interior, harus lembur untuk menyelesaikan proyek presentasi. Saat jarum jam menunjuk angka 10 malam, kantor sudah kosong. Hanya suara ketikan keyboard dan hembusan angin dari ventilasi yang menemani.

“Aduh, udah jam sepuluh aja…” gumam Rina sambil menyimpan file terakhirnya. Ia meraih tas dan segera berjalan ke arah lift.

Lift di gedung itu terkenal lambat dan suka macet, tapi malam itu, lift justru terbuka dengan cepat, seolah-olah sudah menunggu.

Rina melangkah masuk dan menekan tombol “G” untuk lantai dasar. Lampu dalam lift berkedip sesaat, kemudian pintu tertutup dengan suara decit logam yang membuat bulu kuduk merinding.

Detik berikutnya, lift mulai bergerak… ke atas.

“Hah? Kok naik?” Rina menekan tombol “G” lagi, tapi tidak merespon. Tombol-tombol di panel justru mulai menyala satu per satu—dari 2 hingga 10.

“Apa-apaan ini?”

Lift berhenti di lantai 7. Pintu terbuka perlahan, menampilkan lorong gelap yang kosong. Tapi Rina melihat sesuatu berdiri di ujung lorong. Seorang wanita berambut panjang, mengenakan gaun putih kotor, dengan wajah tertunduk.

“Permisi?” panggil Rina ragu.

Wanita itu melangkah perlahan masuk ke lift tanpa suara. Rina mundur sedikit, mencoba menahan napas. Bau busuk menyengat tiba-tiba mengisi ruangan kecil itu.

“Mbak… turun ke bawah juga?” tanya Rina pelan, berusaha ramah.

Wanita itu tidak menjawab. Tapi saat pintu tertutup dan lift kembali bergerak, ia berbisik pelan, “Kamu nggak akan pulang malam ini.”

Rina terpaku. Ia melirik pelan, dan melihat wajah wanita itu mulai menoleh… pelan-pelan… sampai wajahnya terlihat sepenuhnya—membusuk, dengan mata hitam legam meneteskan darah.

Rina menjerit, mencoba menekan tombol darurat, tapi semua tombol mati. Lampu padam seketika, dan hanya suara napas berat yang terdengar dalam kegelapan.

“Apa ini mimpi? Ya Tuhan… tolong aku…”

Lift tiba-tiba jatuh cepat, membuat perut Rina terangkat. Ia menjerit, merasakan tubuhnya melayang sejenak sebelum lift berhenti keras di satu titik gelap. Angka di panel menunjukkan simbol aneh: ∞

Pintu lift terbuka… tapi bukan ke lobi.

Yang terlihat adalah koridor batu sempit dengan dinding berdarah dan tangisan kesakitan menggema. Udara panas menyambut seperti neraka itu sendiri.

“Kamu harus berjalan,” suara wanita tadi terdengar berbeda. Lebih berat, seperti suara dari dalam tanah.

Dengan tubuh gemetar, Rina melangkah keluar. Kakinya terasa berat. Di sepanjang lorong, ia melihat orang-orang merangkak, menangis, beberapa terbakar, lainnya berwajah kosong.

“Apa ini? Neraka?” Rina berbisik sambil berlinang air mata.

“Ini jalan ke sana,” wanita itu tersenyum miring. “Kamu sudah dipanggil.”

“Aku belum mati!” Rina menjerit.

“Tapi kamu lupa… tiga tahun lalu, kamu tabrak lari seorang anak kecil. Dia mati di tempat. Ingat?”

Wajah Rina memucat. Ingatan itu menghantamnya seperti petir. Kecelakaan yang ia tutupi, tanpa pernah mengaku.

“Itu bukan salahku… aku takut…”

“Takut atau tidak, dosamu menuntut balasan.”

Seketika tubuh Rina ditarik oleh tangan-tangan yang muncul dari tanah berdarah. Ia berteriak, mencoba melawan, tapi tidak bisa. Kulitnya mulai terkelupas, suara tulangnya patah terdengar mengerikan.

“Tolong… ampun… tolong aku!!”

Suara alarm lift berbunyi nyaring. Rina tersentak. Ia terbangun di dalam lift, tergeletak di lantai, tubuh berkeringat dan napas terengah-engah.

Angka di panel menunjukkan “G”. Pintu lift terbuka ke arah lobi, tempat satpam gedung menatap bingung.

“Mbak? Dari tadi nggak keluar-keluar. Mbak nggak apa-apa?”

Rina berdiri dengan susah payah. Ia memandang sekitar. Tidak ada wanita, tidak ada darah, tidak ada neraka. Hanya lobi yang sepi.

Namun saat ia menoleh ke panel lift sebelum keluar, ia melihat simbol ∞ berkedip sekali sebelum kembali ke angka biasa.

Sejak malam itu, Rina tidak pernah naik lift lagi. Bahkan ia mengundurkan diri dari pekerjaannya. Setiap malam ia terbangun dengan mimpi buruk—koridor berdarah, wanita berwajah busuk, dan suara-suara dari neraka yang memanggil namanya.

Beberapa minggu kemudian, Rina mencoba mengabaikan semuanya. Ia yakin bahwa semua itu adalah halusinasi karena tekanan kerja dan rasa bersalah. Tapi ketenangan itu tidak bertahan lama. Suara lift terbuka dan tertutup mulai terdengar dari dalam rumah kontrakannya. Padahal, rumah itu hanya satu lantai.

Pada suatu malam, ia terbangun dan melihat pintu kamar sedikit terbuka. Dari celah itu, terlihat sesosok wanita bergaun putih berdiri membelakanginya. Tubuh Rina kaku. Ia tidak bisa bergerak, tidak bisa berteriak.

Keesokan harinya, ia menceritakan semua kepada Dita. “Gue yakin dia ngikutin gue, Ta. Gue ngerasa kayak... nggak hidup sepenuhnya.”

“Rin, lo harus cari bantuan. Kalau bukan paranormal, ya ustaz atau pastor. Apa pun itu, lo harus bersihin diri.”

Rina akhirnya menemui seorang ustaz tua bernama Haji Mansur, yang dikenal sering membantu orang kerasukan atau diganggu makhluk halus. Saat Rina baru mulai bercerita, wajah ustaz itu langsung berubah serius.

“Nak, kau telah membuka pintu yang tidak boleh dibuka. Neraka itu memang tempat akhir bagi pendosa. Tapi jika kau telah menyentuh batasnya, maka setan akan terus mencarimu, menyeretmu kembali.”

“Lalu apa yang harus saya lakukan, Pak Haji?”

“Kau harus menebus dosamu. Bukan hanya minta maaf kepada Tuhan, tapi juga kepada roh anak yang kau tabrak. Temukan keluarganya. Minta maaflah. Doakan dia.”

Perasaan bersalah Rina memuncak. Ia memutuskan kembali ke tempat kejadian kecelakaan di Cimahi. Dengan bantuan catatan lama, ia menemukan rumah orang tua korban—seorang anak bernama Aldi, yang baru berusia 9 tahun saat meninggal.

Awalnya, ibu Aldi tidak ingin membuka pintu. Tapi setelah Rina bersimpuh di depan rumah sambil menangis, ibu itu akhirnya keluar.

“Saya… saya pelakunya, Bu. Saya takut waktu itu. Saya pengecut… Tapi tolong… izinkan saya minta maaf.”

Ibu Aldi menangis. Lama mereka berbincang. Setelah itu, Rina turut mendoakan anak itu di makamnya. Hati Rina terasa sedikit lebih ringan.

Namun malam harinya, mimpi itu datang lagi. Tapi kali ini berbeda. Rina berada di dalam lift, dan sosok wanita itu menatapnya… namun tidak lagi marah. Ia menunjuk ke atas, ke angka “1”. Lift naik perlahan, dan pintu terbuka ke dalam cahaya terang.

Rina terbangun dengan air mata. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, ia merasa damai.

Meski demikian, ia tahu bahwa dosa tidak bisa dihapus begitu saja. Ia mulai rutin berdoa, berbuat baik, dan menghindari semua tempat yang membuatnya teringat akan malam neraka itu.

Gedung Merah kini telah ditutup oleh pemerintah karena banyak laporan gangguan dan kasus karyawan yang hilang misterius. Lift di sana rusak total dan tidak bisa diperbaiki. Teknisi pun menolak bekerja di sana setelah satu orang ditemukan pingsan di dalam lift dengan mata terbuka, berbisik, “∞… ∞… ∞…”

Dan hingga kini, cerita tentang lift menuju neraka itu masih beredar di kalangan warga Bandung. Sebuah peringatan... bahwa kadang, dosa yang tidak ditebus akan membawa kita ke tempat yang lebih gelap dari kematian itu sendiri.

Apakah kamu siap jika lift itu terbuka untukmu malam ini?

Posting Komentar