Teror di Pasar Setan Gunung Lawu
Teror di Pasar Setan Gunung Lawu
Gunung Lawu, dengan ketinggian 3.265 meter di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, menyimpan banyak misteri. Salah satu yang paling menyeramkan adalah legenda tentang Pasar Setan. Tempat gaib yang konon hanya bisa ditemui oleh pendaki yang tersesat atau memiliki niat buruk saat mendaki.
Namaku Dimas, seorang pendaki dari Surabaya. Bersama tiga temanku—Rangga, Wulan, dan Tegar—kami memutuskan untuk mendaki Gunung Lawu saat libur panjang. Tujuan kami sederhana: menikmati alam dan menguji nyali setelah mendengar berbagai kisah mistis tentang tempat ini.
Kami memulai pendakian dari Cemoro Sewu. Cuaca cerah, suasana ramai, dan semangat membara. Namun sejak awal, Wulan sudah menunjukkan keraguan.
“Kalian yakin ini aman? Aku dengar banyak cerita tentang Pasar Setan. Ada orang yang hilang, bahkan ada yang kembali dengan kondisi tidak waras,” ucapnya pelan sambil menyesap air minum.
Rangga tertawa, “Ah, itu cuma cerita buat nakut-nakutin pendaki baru. Kita kan pendaki senior, masa takut?”
Aku hanya tersenyum, tapi diam-diam aku tahu cerita itu bukan isapan jempol. Bahkan ada kisah pendaki yang menemukan suara ramai seperti pasar, padahal berada jauh di atas gunung tanpa penduduk.
Hari pertama berjalan lancar. Kami bermalam di Pos 3, mendirikan tenda, dan memasak mie instan. Saat malam mulai turun, kabut pekat menyelimuti hutan. Suara binatang malam terdengar, tapi ada satu suara yang membuat bulu kuduk kami berdiri.
Suara gamelan.
Tegar bangkit dari tidurnya. “Kalian dengar nggak? Itu kayak suara... gamelan Jawa.”
Kami saling pandang. Suara itu semakin jelas. Alunan lembut namun menyeramkan. Wulan mulai menangis pelan.
“Ini bukan hal biasa. Ini pasti pasar setan itu,” bisiknya.
Aku mencoba menenangkan mereka. “Tenang. Jangan panik. Jangan ada yang keluar tenda.”
Tapi Rangga malah bertindak sebaliknya. Ia membuka tenda dan menatap ke luar. “Lho, kalian lihat itu? Banyak orang bawa obor! Ada yang jualan juga!”
Aku ikut melihat. Tapi anehnya, yang kulihat hanyalah hutan dan kabut. Tidak ada obor, tidak ada keramaian.
“Rangga, kamu lihat apa?” tanyaku.
“Pasar! Serius, ada yang jual jajanan, ada suara orang nawar harga. Aneh tapi nyata!” jawabnya dengan mata berbinar.
Wulan mencengkeram lenganku. “Itu dia! Tanda-tanda kamu udah masuk Pasar Setan! Jangan ambil apapun, jangan beli apapun!”
Namun terlambat. Rangga menghilang ke arah kabut. Kami berteriak memanggilnya, tapi tak ada jawaban.
Panik, kami bertiga berusaha mencarinya, menerobos kabut malam. Tapi yang kami temui justru hal-hal aneh. Tegar tiba-tiba berhenti dan berkata, “Dimas, lihat tuh, warung kopi! Aku mau beli rokok dulu.”
Aku menatapnya heran. Tak ada warung. Hanya semak belukar dan kabut. Aku sadar, satu per satu kami mulai 'melihat' hal-hal yang tidak nyata. Aku segera menampar pipi Tegar.
“Sadarlah! Itu bukan warung, itu bukan rokok! Itu jebakan mereka!” bentakku.
Tegar tertegun, lalu matanya mulai kembali normal. Ia bergidik, menyadari hampir terjebak dalam ilusi yang sama seperti Rangga.
Kami kembali ke tenda tanpa Rangga. Suara gamelan terus berdentang, dan sesekali terdengar suara tawar-menawar dalam bahasa Jawa kuno. Wulan mulai membaca doa dalam hati, berulang-ulang.
Pagi menjelang. Suara gamelan menghilang. Kami mencari Rangga seharian, bahkan bertemu pendaki lain dan meminta bantuan. Tapi tidak ada satu pun jejaknya. Hanya jejak kaki yang berhenti di tebing curam, seolah-olah dia menghilang begitu saja.
Kami turun gunung dalam keadaan murung. Saat sampai di basecamp, seorang kakek penjaga warung mendekati kami.
“Kalian dari atas ya? Kehilangan teman?”
Aku mengangguk. “Bagaimana Kakek tahu?”
“Pasar Setan sudah banyak makan korban. Biasanya yang ikut ‘bertransaksi’ di sana tidak akan kembali. Apakah temanmu menerima sesuatu dari pasar itu?”
Kami diam. Mungkin Rangga menerima—entah makanan, minuman, atau uang. Tapi itu cukup untuk membawanya masuk ke dunia yang tak bisa dijelaskan.
Malamnya, di penginapan, aku membuka ransel. Di dalamnya... ada satu kantong koin kuno dan selembar kertas bertuliskan aksara Jawa kuno. Wulan berteriak saat melihatnya.
“Siapa yang naruh itu?! Kita nggak bawa koin begitu!”
Aku segera membuang koin itu jauh-jauh ke luar penginapan. Tapi malam itu, aku bermimpi. Dalam mimpiku, Rangga duduk di tengah pasar yang dipenuhi tenda-tenda tua. Ia memakai pakaian Jawa kuno, dan tersenyum ke arahku.
“Aku nggak bisa pulang, Dim. Tapi di sini aku dihormati...”
Aku terbangun dengan napas memburu. Sejak saat itu, aku tahu: Pasar Setan bukan mitos. Ia nyata. Dan siapapun yang 'berbelanja' di sana, tak akan pernah benar-benar kembali.
Seminggu kemudian, gangguan makin parah. Wulan sering bicara sendiri dengan bahasa aneh, matanya kosong, tubuhnya dingin. Kami bawa ke ustaz Malik, seorang kyai sepuh.
“Ini bukan gangguan biasa. Teman kalian, yang hilang itu, masih terikat dengan kalian secara gaib,” ucap ustaz sambil memeriksa Wulan.
Kami berinisiatif kembali ke Gunung Lawu bersama ustaz, melakukan doa dan ritual pembersihan di jalur pendakian. Kami membawa pakaian Rangga dan barang-barangnya. Saat doa berlangsung, langit tiba-tiba gelap meski siang hari.
Dari balik kabut, terdengar suara langkah kaki. Samar, siluet tubuh Rangga muncul. Tapi wajahnya datar, matanya hitam tanpa ekspresi.
“Rangga... pulanglah...” seruku.
Namun suara Rangga justru lirih, dingin. “Sudah terlambat... aku bagian dari mereka sekarang.”
Dengan gerakan pelan, ia meletakkan kembali koin kuno di atas batu. Lalu tubuhnya perlahan menghilang dalam kabut.
Wulan langsung jatuh pingsan. Tapi sejak kejadian itu, gangguannya berhenti. Seolah semua ikatan telah dilepaskan.
Kini, setiap kali aku mendaki gunung manapun, aku selalu membawa garam dan air doa. Bukan karena takut, tapi sebagai pelindung. Dan aku selalu berpesan kepada semua pendaki baru:
Jika kalian mendengar suara pasar, gamelan, atau melihat cahaya obor di tengah hutan Gunung Lawu... jangan pernah mendekat. Jangan pernah bicara. Dan yang paling penting—jangan pernah mengambil atau membeli apapun dari mereka.
Karena sekali saja kalian ‘bertransaksi’, kalian tak akan bisa kembali seperti semula. Pasar Setan bukan legenda. Ia nyata, dan selalu menanti pengunjung baru yang tersesat—atau yang terlalu penasaran.
Posting Komentar