Teror di Perpustakaan: Kisah Horor Buku Tua

Table of Contents
Teror di Perpustakaan, Kisah Horor Buku Tua - Cerpen Horor Mania

Teror di Perpustakaan: Kisah Horor Buku Tua

Di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, berdirilah perpustakaan tua yang nyaris terlupakan, tepat di pinggir alun-alun. Bangunannya bergaya kolonial dengan cat yang mengelupas, dan jendela kayu besar yang selalu tertutup. Warga sekitar menyebutnya Perpustakaan Rimba, tempat yang sepi dan dianggap angker.

Rani, seorang mahasiswa jurusan sastra, memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan itu demi menyelesaikan tugas akhir. Ia tertarik karena konon, perpustakaan itu menyimpan buku-buku langka yang tak ditemukan di tempat lain.

“Kamu yakin mau ke sana, Ran?” tanya Siska, teman sekamarnya. “Katanya ada buku tua yang bisa bikin orang kesurupan!”

Rani tertawa kecil. “Ah, kamu percaya begituan? Aku cuma mau baca, bukan memanggil arwah.”

Hari itu, Rani datang ke perpustakaan. Seorang petugas tua menyambutnya tanpa banyak bicara, hanya menunjuk ke dalam dengan tangan gemetar. Rani berjalan masuk, melewati rak-rak penuh debu dan buku-buku yang tampak jarang tersentuh.

Ia menemukan sebuah meja di pojok ruangan, lalu mulai membuka buku-buku yang ia perlukan. Namun, matanya tertuju pada sebuah rak tua yang tersembunyi di balik tirai kain lusuh. Ada satu buku di sana—berjilid kulit hitam, tanpa judul di sampulnya. Rasa penasaran membawanya mengambil buku itu.

Begitu dibuka, udara sekeliling terasa dingin. Tulisan dalam buku itu aneh, seperti mantra atau doa dalam bahasa Jawa kuno.

“Apa ini? Seperti... catatan ritual,” gumam Rani.

Tiba-tiba, terdengar suara berbisik di telinganya. Suara wanita, pelan tapi jelas.

“Jangan dibaca... kembalikan aku...”

Rani menoleh, tapi tidak ada siapa-siapa. Ia menutup buku itu buru-buru dan memasukkannya ke dalam tas, berpikir untuk menelitinya di rumah.

Malam harinya, suasana kosan Rani terasa aneh. Lampu kamar berkedip, dan udara terasa lembab. Ia duduk di meja, membuka buku tua itu lagi dengan rasa takut yang entah dari mana datangnya.

“Kalau ini cuma naskah kuno, kenapa rasanya seperti... ada yang memperhatikan?” pikirnya.

Tiba-tiba, suara lemari terbuka sendiri. Rani terlonjak kaget. Dari bayangan di cermin, terlihat sosok wanita berambut panjang berdiri di belakangnya.

“AAAHHH!!”

Ia menoleh cepat, tapi sosok itu telah hilang. Buku di mejanya kini terbuka pada halaman tengah, di mana ada gambar seorang wanita memakai kebaya, dengan mata yang dicoret hitam dan bercak merah seperti darah.

Rani segera menutup buku itu dan menyimpannya di laci. Ia mencoba tidur tapi malam itu dipenuhi mimpi buruk. Dalam mimpinya, wanita dari gambar tadi terus memanggil namanya, mengajaknya kembali ke perpustakaan.

Keesokan harinya, Rani kembali ke perpustakaan untuk mengembalikan buku tersebut. Namun, petugas tua yang kemarin tidak ada. Suasana perpustakaan lebih sunyi dari biasanya. Bahkan suara langkahnya sendiri terdengar bergema menyeramkan.

Ia meletakkan buku di rak tempat semula. Tapi ketika hendak pergi, suara dari arah belakang membuatnya berhenti.

“Kau tak bisa pergi sebelum mengakhiri kisahku...”

Rani menoleh. Di ujung lorong rak, wanita dalam mimpinya muncul. Wajahnya pucat, mata hitam, dan darah mengalir dari mulutnya.

“Siapa kamu?!” teriak Rani.

“Namaku Sri. Aku ditulis dalam buku itu. Kisahku tak pernah selesai... karena aku dikubur hidup-hidup...”

Seketika, semua buku di rak beterbangan. Rani berlari menuju pintu, tapi pintu terkunci. Ia terjebak di dalam perpustakaan yang kini berubah menjadi neraka sunyi.

Suara tangisan, jeritan, dan bisikan menggema. Rani menutup telinga, berjongkok sambil menangis. “Tolong... aku tidak tahu... aku cuma mahasiswa!”

Tiba-tiba, seorang lelaki tua menyentuh pundaknya. Ia adalah Mbah Darmo, penjaga asli perpustakaan yang sebenarnya sudah dianggap pensiun oleh warga.

“Buku itu ditulis oleh leluhurku. Isinya kutukan. Hanya bisa dikembalikan dengan ritual. Ikuti aku,” katanya.

Mbah Darmo membawa Rani ke ruang bawah tanah perpustakaan yang tersembunyi. Di sana, ada altar kecil dengan dupa dan sesajen. Ia meminta Rani membaca ulang mantra di halaman pertama buku, sambil menaburkan bunga tujuh rupa.

Begitu Rani membaca mantra tersebut, suara jeritan menggema keras. Sosok wanita bernama Sri muncul lagi, kali ini lebih marah. “Kenapa aku tidak bisa pergi?! Aku masih terperangkap!!”

Mbah Darmo berteriak, “Kau harus mengakui kematianmu! Dunia ini bukan milikmu lagi, Sri!”

Dengan menangis, sosok Sri perlahan memudar. Tapi sebelum hilang, ia menatap Rani dan berkata, “Terima kasih... kini aku bisa tidur...”

Setelah ritual itu, suasana perpustakaan kembali tenang. Buku tua itu dikunci dan disegel di ruang bawah tanah, tidak boleh dibuka lagi.

Namun kejadian tak berhenti di situ. Beberapa hari setelahnya, Rani menerima surat tua tanpa alamat pengirim. Di dalamnya hanya tertulis satu kalimat dengan tinta merah:

“Kisah belum selesai... banyak jiwa yang menunggu diceritakan.”

Rani gemetar. Ia membuang surat itu, tapi malam harinya, terdengar suara ketukan di jendela kamarnya. Saat dibuka, tak ada siapa-siapa. Hanya setangkai bunga melati basah tergeletak di ambang jendela. Harumnya menyengat, seperti bau dari dalam ruang bawah tanah perpustakaan.

Ia mencoba melupakannya dan melanjutkan hidup. Tapi mimpi buruk datang setiap malam. Rani melihat wajah-wajah baru, wanita dan pria berpakaian zaman dahulu, memintanya membaca cerita mereka.

“Tuliskan kisah kami... jangan biarkan kami dilupakan...”

Tak tahan, Rani kembali menemui Mbah Darmo. Namun rumahnya sudah kosong. Warga berkata ia menghilang tanpa jejak, hanya menyisakan lemari tua dan buku-buku tanpa halaman.

Rani mulai merasa terganggu. Ia pindah kos, namun bayangan tetap mengikutinya. Buku-buku barunya di kampus tiba-tiba berisi tulisan-tulisan misterius. Setiap kali ia membaca, halaman berubah menjadi kisah kematian, pengkhianatan, dan kutukan.

Siska yang awalnya tak percaya, akhirnya merasakan juga. Suatu malam ia melihat Rani berdiri menghadap dinding, membisikkan mantra aneh sambil menggenggam pena.

“Rani...? Kamu kenapa?”

Rani berbalik dengan mata hitam legam dan suara lirih. “Aku harus menulis... kalau tidak... mereka akan marah...”

Setelah malam itu, Rani menghilang. Kamar kosnya kosong, namun di meja tertinggal buku harian dengan tulisan terakhir: “Buku tua itu bukan hanya bacaan. Ia jendela antara dunia kita... dan dunia mereka.”

Perpustakaan Rimba kini ditutup secara permanen. Tapi bagi yang berani mengintip dari jendela pecahnya, kadang terlihat sesosok wanita berkebaya duduk di meja pojok, menatap lurus ke arah pengunjung... menunggu kisahnya dibaca kembali.

Posting Komentar