Teror di Sekolah: Hantu Penunggu Kelas

Table of Contents
Teror di Sekolah, Hantu Penunggu Kelas - Cerpen Horor Mania

Teror di Sekolah: Hantu Penunggu Kelas

Pada suatu malam yang kelam di sebuah sekolah menengah pertama di daerah Jawa Tengah, terdengar kisah menyeramkan yang tak lekang oleh waktu. Sekolah itu, meskipun tampak biasa saja di siang hari, berubah menjadi tempat penuh misteri ketika malam mulai menyelimuti. Konon, di salah satu kelas lama yang sudah jarang dipakai, sering terdengar suara aneh dan penampakan bayangan putih. Masyarakat sekitar menyebutnya "Penunggu Kelas 7B".

Ceritanya berawal dari sekelompok siswa yang tergabung dalam ekstrakurikuler jurnalistik. Mereka diberi tugas untuk menulis cerita misteri lokal sebagai bagian dari proyek akhir semester. Adalah Rina, Dika, Tyo, dan Sarah yang memutuskan untuk menyelidiki langsung ke sumber cerita — Kelas 7B, ruang kelas yang sudah dikunci selama lebih dari lima tahun.

"Kita harus datang malam-malam kalau mau ngerasain langsung suasananya," kata Dika sambil menunjuk peta sekolah.

"Kamu yakin ini ide bagus?" tanya Sarah, sedikit ragu.

"Kalau takut, kamu bisa nunggu di luar," sahut Rina, mencoba menyemangati.

Pada malam Jumat, mereka menyelinap masuk ke lingkungan sekolah dengan membawa kamera, senter, dan alat perekam suara. Mereka menuju Kelas 7B yang terletak di ujung bangunan tua. Suasana sunyi, hanya terdengar suara jangkrik dan angin yang berdesir pelan. Saat mereka membuka pintu kelas yang berdebu itu, aroma apek langsung menyambut.

"Ini dia... Kelas 7B," bisik Tyo, mencoba menyalakan senter.

Di dalam ruangan itu, suasananya benar-benar mencekam. Jendela-jendela pecah, papan tulis penuh coretan, dan di salah satu sudut ruangan, ada meja yang diletakkan terbalik. Mereka mulai merekam sambil menjelajahi ruangan. Namun, belum lima menit berjalan, terdengar suara kursi yang bergeser sendiri.

"Kalian denger nggak barusan?" tanya Sarah sambil menggenggam tangan Rina erat-erat.

"Tenang, mungkin cuma angin," jawab Dika, meski wajahnya juga tampak tegang.

Kamera yang dibawa Rina tiba-tiba mati meskipun baterainya masih penuh. Suara aneh mulai muncul dari balik papan tulis — seperti tangisan pelan anak perempuan. Tyo mencoba mendekat dan saat ia menyorotkan senter ke arah suara itu, tiba-tiba muncul sosok perempuan berambut panjang, mengenakan seragam sekolah dengan wajah pucat tanpa mata.

"AAAAAAA!" teriak mereka bersamaan dan langsung berlari keluar dari kelas.

Sayangnya, pintu kelas mendadak tertutup rapat. Mereka mencoba membukanya, tapi tak bergerak sedikit pun.

"Tolong bukain pintunya! Siapa pun!" teriak Dika sambil mengguncang gagang pintu.

Sosok itu perlahan melayang mendekati mereka. Wajahnya semakin jelas, pucat dan penuh luka. Tangannya menunjuk ke papan tulis yang tiba-tiba tertulis sebuah kalimat dengan darah:

"Aku tidak pernah pergi. Kalian yang datang mencariku."

Rina yang mencoba membaca tulisan itu mulai kesurupan. Matanya kosong dan ia berbicara dengan suara berat yang bukan suaranya.

"Kalian mau tahu kenapa aku di sini? Karena aku dikunci di kelas ini... sampai mati."

Sarah menangis histeris, sementara Tyo mencoba membaca doa yang ia ingat. Tiba-tiba, suara adzan terdengar dari kejauhan — rupanya satpam sekolah yang hendak menunaikan salat tahajud. Suara itu membuat sosok hantu tersebut menghilang perlahan, dan pintu pun terbuka dengan sendirinya.

Mereka segera membawa Rina keluar. Setelah beberapa menit, Rina sadar kembali, tapi dia tidak ingat apa-apa yang terjadi sejak masuk ke dalam kelas. Keesokan harinya, mereka melaporkan kejadian itu ke kepala sekolah. Mendengar cerita mereka, kepala sekolah hanya terdiam lama, lalu berkata,

"Lima belas tahun lalu, ada siswi bernama Melati yang dikunci oleh teman-temannya di kelas sebagai bentuk perundungan. Saat itu terjadi kebakaran kecil yang membuat dia terjebak dan meninggal. Sejak saat itu, kelas itu dikosongkan."

Dengan berat hati, sekolah akhirnya memutuskan untuk merobohkan bangunan lama tersebut dan membangun ruang ibadah di atasnya. Namun sejak malam itu, satu per satu dari keempat siswa mulai mengalami mimpi buruk yang sama — mereka melihat Melati berdiri di depan pintu kamar mereka, tersenyum menyeramkan sambil berbisik,

"Kalian sudah membangunkanku..."

Beberapa minggu kemudian, Rina pindah sekolah. Sarah tidak pernah ikut kegiatan ekstrakurikuler lagi. Tyo menjadi pendiam dan jarang berbicara, sementara Dika mulai rutin mengikuti pengajian dan menjauh dari hal-hal berbau mistis. Namun teror itu belum selesai. Meskipun mereka telah berpencar, suara bisikan yang menyebut nama mereka terus terdengar di malam hari, dan setiap kali mereka bercermin, sering kali terlihat bayangan perempuan berdiri di belakang mereka.

Salah satu guru, Pak Ridwan, penasaran dan mencoba menyelidiki lebih jauh. Ia menemukan buku harian lama Melati di perpustakaan lama sekolah. Di dalamnya, tertulis bahwa Melati kerap diintimidasi oleh teman-temannya. Bahkan ia pernah mengadukan hal itu pada guru, tapi tak pernah ditanggapi. Dalam halaman terakhir, tertulis dengan tinta merah: "Kalau aku mati, aku tidak akan pergi. Aku akan menunggu kalian, satu per satu."

Setelah penemuan itu, guru-guru mulai merasakan gangguan. Proyektor menyala sendiri di tengah pelajaran, papan tulis tertulis sendiri, dan suara tangisan sering terdengar dari ruang guru. Bahkan ada salah satu siswa baru yang tiba-tiba kesurupan dan menyebut nama-nama siswa yang dulu mengunci Melati — termasuk salah satu yang kini sudah menjadi wali kelas.

Isu ini membuat seluruh warga sekolah mulai panik. Akhirnya, pihak sekolah memanggil seorang ustaz untuk melakukan pengajian dan ruqyah di seluruh bangunan. Saat prosesi pembacaan ayat suci dilakukan di bekas lokasi Kelas 7B, terdengar jeritan panjang dari arah bawah tanah yang membuat seluruh peserta terdiam ketakutan.

Setelah pengusiran dilakukan, gangguan memang mereda, namun cerita tentang Melati tetap menjadi legenda yang dituturkan dari angkatan ke angkatan. Bahkan beberapa siswa mengaku melihat Melati di mimpinya, meminta mereka untuk "menceritakan kebenaran", agar dunia tahu bahwa ia bukan hanya legenda, tetapi arwah yang masih berjuang menuntut keadilan.

Pelajaran dari kisah ini: Jangan pernah meremehkan perasaan orang lain, terutama dalam lingkungan sekolah. Perundungan bisa menyisakan luka mendalam, bahkan sampai akhir hayat. Dan jika tak diselesaikan, luka itu bisa menjadi teror yang menghantui semua pihak yang terlibat.

Posting Komentar