Teror Genderuwo di Hutan Kalimantan
Teror Genderuwo di Hutan Kalimantan
Suasana hutan Kalimantan selalu menyimpan misteri, terutama saat malam tiba. Di balik rimbunnya pepohonan dan kabut tebal yang menyelimuti tanah basah, tersembunyi kisah menyeramkan yang hanya dibisikkan dari mulut ke mulut oleh warga desa. Salah satunya adalah tentang teror Genderuwo, makhluk gaib berwujud besar, berbulu lebat, dan bermata merah menyala.
Cerita ini bermula dari sekelompok mahasiswa pencinta alam yang datang dari Jakarta untuk melakukan penelitian flora dan fauna di pedalaman Kalimantan. Mereka terdiri dari lima orang: Andi, Rina, Joko, Mira, dan Wahyu. Mereka mendapatkan izin dari kepala desa setempat untuk tinggal beberapa hari di area hutan yang dikenal angker.
“Pastikan kalian tidak masuk ke bagian hutan yang disebut Hutan Larangan,” pesan Pak Udin, kepala desa. “Sudah banyak yang masuk dan tidak kembali. Konon, di sana tempat tinggal makhluk halus.”
Andi hanya tertawa kecil. “Ah, itu pasti cuma cerita buat menakut-nakuti,” katanya pada teman-temannya.
Hari pertama hingga ketiga berjalan lancar. Mereka berhasil mendokumentasikan beberapa spesies langka dan menikmati keindahan alam Kalimantan. Namun, pada malam keempat, semuanya berubah.
Sekitar pukul 10 malam, saat mereka berkumpul di sekitar api unggun, terdengar suara ranting patah dari balik semak. Suaranya berat dan berat. Angin tiba-tiba bertiup kencang, membuat api unggun hampir padam.
“Kalian dengar itu?” tanya Rina sambil menggenggam tangan Mira.
“Kayaknya binatang besar,” jawab Joko. Tapi nadanya ragu.
Tiba-tiba, terdengar suara tawa berat dari kejauhan. “Huhuhuhuhuuu…”
Semua terdiam. Wajah mereka pucat. Suara itu tidak seperti manusia. Tidak juga seperti binatang.
“Masuk ke tenda sekarang!” perintah Wahyu.
Mereka segera masuk dan mengunci tenda dari dalam. Tapi suara tawa itu semakin dekat. Aroma busuk seperti daging membusuk menyengat hidung mereka.
“Aku lihat sesuatu!” teriak Mira sambil menunjuk ke luar tenda melalui celah kecil.
Di kejauhan, berdiri sosok besar, hitam, dan berbulu. Matanya menyala merah. Sosok itu tidak bergerak, hanya menatap ke arah tenda mereka.
“Itu… itu Genderuwo!” desis Rina ketakutan.
Tiba-tiba, tenda mereka terguncang hebat seperti ada yang menendangnya dari luar. Mereka berteriak panik. Suara tawa itu kembali terdengar, kali ini lebih keras.
Joko mencoba menenangkan semua orang. “Kita harus keluar dari sini sekarang. Kalau tidak, kita bisa mati!”
Dengan cepat mereka mengemasi barang-barang penting dan mencoba melarikan diri ke arah jalan yang mereka lewati saat datang. Tapi anehnya, hutan seakan berubah. Jalan yang mereka lalui kini buntu. Mereka tersesat.
“Aku yakin tadi ini jalan yang kita lewati,” kata Andi sambil menyorotkan senter ke sekitar. Tapi hanya pohon besar dan kabut pekat yang terlihat.
Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar di belakang mereka. Mereka menoleh, dan melihat Genderuwo itu berdiri hanya beberapa meter dari mereka. Nafasnya terdengar berat, seperti hembusan angin dari lubang neraka.
Rina jatuh pingsan. Wahyu mencoba mengangkatnya, tapi Genderuwo itu melangkah semakin dekat.
“Lari!” teriak Joko.
Mereka berlari tanpa arah, menembus semak dan pepohonan. Nafas mereka tersengal, tubuh penuh luka karena ranting tajam. Namun suara langkah berat itu terus mengikuti.
Akhirnya mereka melihat cahaya dari kejauhan. Cahaya itu berasal dari sebuah pondok tua yang tampaknya sudah lama ditinggalkan.
Mereka masuk dan mengganjal pintu dengan kayu. Di dalam, suasana lembap dan penuh debu. Tapi setidaknya mereka bisa bernapas sejenak.
Andi menemukan sesuatu di dinding — simbol kuno dan tulisan yang tidak mereka mengerti.
“Tempat ini aneh… aku rasa pondok ini bukan sembarang pondok,” kata Mira.
Tiba-tiba terdengar ketukan keras dari luar. “DUG DUG DUG!”
Ketukan itu semakin keras, hingga salah satu dinding retak. Genderuwo itu mencoba masuk. Matanya terlihat dari celah dinding — merah, penuh kebencian.
Joko membaca doa yang dia tahu, Mira memeluk tubuh Rina yang masih tak sadarkan diri. Wahyu menggenggam parang kecil, satu-satunya alat pertahanan mereka.
Tapi sebelum makhluk itu bisa masuk, terdengar suara kakek tua dari luar. “Pergilah! Tempat ini bukan untukmu!”
Genderuwo itu meraung keras, lalu lenyap dalam kepulan asap hitam. Pagi pun datang, dan mereka menemukan diri mereka tertidur di tepi desa, dekat jalan masuk hutan.
“Kalian beruntung,” kata Pak Udin saat mereka sadar. “Tak semua bisa keluar dari Hutan Larangan.”
Rina akhirnya sadar, tapi sejak hari itu, dia tak pernah berkata sepatah kata pun. Jiwanya seperti hilang.
Beberapa bulan setelah kejadian itu, Andi mencoba mencari tahu lebih dalam tentang sejarah Hutan Larangan. Ia kembali ke Kalimantan sendiri, menemui seorang dukun tua bernama Mbah Rano yang tinggal di desa sebelah.
“Genderuwo itu bukan sembarang makhluk,” kata Mbah Rano. “Ia dulunya manusia. Seorang dukun sakti yang berkhianat dan dikutuk oleh leluhur kami. Ia memilih hidup abadi di hutan dan menjelma menjadi makhluk buas. Siapa pun yang masuk ke wilayahnya tanpa izin akan dianggap musuh.”
“Lalu… kenapa kami tidak dibunuh?” tanya Andi.
“Kalian diselamatkan oleh roh penjaga hutan. Pondok yang kalian temui adalah tempat suci. Tidak semua orang bisa melihatnya. Kalian dipilih untuk menyampaikan pesan.”
“Pesan?” tanya Andi bingung.
“Jangan ganggu alam. Jangan serakah. Hormati batas antara dunia manusia dan dunia gaib. Karena jika tidak, Genderuwo tidak akan hanya menakut-nakuti… ia akan membunuh.”
Sejak saat itu, Andi berhenti menjadi peneliti. Ia memilih menjadi pembicara tentang pentingnya menghormati kearifan lokal dan batas-batas alam. Ia menulis buku berjudul “Hutan Larangan: Antara Ilmu dan Gaib”, yang menjadi peringatan bagi generasi muda.
Sementara itu, Rina masih dirawat di rumah sakit jiwa. Kadang ia tertawa sendiri, dengan suara berat yang menyeramkan. Kadang ia menatap kosong ke dinding dan berbisik, “Dia datang… dia datang lagi…”
Cerita ini bukan untuk menakuti, melainkan untuk mengingatkan. Hutan Kalimantan bukan hanya kaya akan flora dan fauna, tapi juga menyimpan dimensi lain yang tak terlihat oleh mata. Jika suatu saat kamu berani masuk terlalu dalam ke hutan tanpa izin, jangan heran jika kamu bertemu makhluk yang tak bisa dijelaskan oleh logika.
Dan jika kamu mendengar tawa berat di balik pepohonan… berdoalah kamu masih punya waktu untuk lari.
Posting Komentar