Tulisan di Dinding: Kisah Mengerikan
Tulisan di Dinding: Kisah Mengerikan
Di sebuah desa tua di pinggiran Yogyakarta, berdiri rumah kosong yang sudah puluhan tahun tak berpenghuni. Warga sekitar menyebutnya Rumah Warno. Konon, rumah itu dulunya milik seorang guru SD yang meninggal secara misterius. Setelah kematiannya, dinding rumah tersebut dipenuhi tulisan-tulisan aneh yang muncul setiap malam Jumat Kliwon.
Rini, seorang mahasiswa jurusan seni rupa dari Bandung, tertarik untuk menjadikan rumah itu sebagai proyek skripsinya. Ia ingin mengkaji makna simbolik dari tulisan-tulisan misterius tersebut. Dengan izin dari kepala desa dan ditemani sahabatnya, Bayu, ia menginap di rumah itu selama tiga malam.
"Rin, kamu yakin mau tinggal di sini? Lihat deh, bahkan siang hari aja suasananya merinding," kata Bayu sambil menatap rumah tua itu.
Rini mengangguk mantap. "Ini penting buat tugas akhirku. Lagian, kita kan cuma tiga malam. Toh, gak ada bukti nyata kalau rumah ini berhantu."
Malam pertama mereka lalui tanpa kejadian berarti. Namun saat tengah malam, terdengar suara berderit dari loteng. Bayu terbangun lebih dulu.
"Rin, kamu dengar itu?" bisik Bayu.
Rini yang baru saja terbangun mengangguk pelan. "Iya... kayak suara langkah ya?"
Mereka memutuskan untuk memeriksanya. Dengan senter di tangan, mereka menaiki tangga kayu menuju loteng. Namun, saat mereka tiba, tak ada siapa-siapa. Hanya debu dan sarang laba-laba.
"Mungkin tikus," kata Rini mencoba menenangkan diri, meski jantungnya berdegup kencang.
Keesokan paginya, dinding ruang tamu rumah itu berubah. Di sana tertulis kalimat dengan huruf merah, seolah ditulis dengan darah:
"Aku belum selesai mengajar."
Bayu langsung pucat. "Rini... ini gak ada semalam, kan?"
Rini mengangguk dengan tangan gemetar. Ia mendekati tulisan itu. Teksturnya lengket. Aromanya amis.
"Kita harus lapor Pak Kades," ujar Bayu tegas.
Namun Rini menolak. "Tunggu dulu. Ini bisa jadi bukti kuat untuk skripsiku. Aku akan dokumentasikan dulu, baru kita lapor."
Hari kedua mereka mulai menggali informasi dari warga sekitar. Seorang ibu penjual jamu bernama Mbok Marni menceritakan bahwa dulu Pak Warno, pemilik rumah itu, sangat disiplin dan keras kepada murid-muridnya.
"Dia suka marah kalau ada murid yang salah. Tapi anehnya, seminggu sebelum dia meninggal, dia selalu ngomong sendiri di kelas kosong," kata Mbok Marni. "Katanya dia masih harus mengajar anak-anak yang belum selesai 'dilatih'."
Malam kedua, suasana semakin mencekam. Angin berhembus kencang, padahal tidak hujan. Suara pintu yang terbanting dan benda jatuh terdengar dari berbagai sudut rumah. Bayu memutuskan untuk merekam semuanya dengan kamera malam.
Ketika mereka meninjau rekaman, terlihat sosok bayangan berdiri di sudut ruang tamu, tepat di bawah tulisan merah itu. Sosok itu tampak seperti pria tua dengan pakaian seperti guru jaman dulu—berpeci dan membawa penggaris kayu panjang.
"Bayu... itu siapa?" tanya Rini dengan suara bergetar.
"Bukan siapa-siapa... itu apa," jawab Bayu pelan.
Hari ketiga, suasana rumah makin berat. Setiap jam menunjukkan pukul 3 pagi, dinding rumah akan menampilkan tulisan baru. Kali ini, tulisannya berubah menjadi:
"Kalian belum belajar dengan benar."
Rini mulai kerasukan. Ia duduk diam menatap dinding selama berjam-jam, mencatat simbol-simbol yang bahkan tak bisa dikenali oleh Bayu. Suaranya mulai berubah—serak dan seperti suara lelaki tua.
"Bayu, kamu duduk. Aku mau kasih ujian," ucap Rini sambil menatap kosong.
Bayu panik. Ia mencoba membangunkan Rini, tapi perempuan itu seperti tak sadar. Tubuhnya dingin, tangannya penuh coretan seperti tulisan-tulisan di dinding.
Akhirnya, Bayu memutuskan pergi ke rumah Pak Kades malam itu juga. Bersama Pak Kades dan dua dukun kampung, mereka kembali ke rumah Warno menjelang subuh. Rumah itu sudah penuh dengan tulisan—dinding, lantai, bahkan langit-langit. Di tengah ruangan, Rini berdiri kaku sambil menulis di udara dengan jari-jarinya.
"Rin!" teriak Bayu, namun Rini hanya membalas dengan tawa nyaring yang bukan miliknya.
Dukun mulai membaca doa-doa, menaburkan garam dan air bunga ke sekeliling rumah. Rini berteriak keras dan pingsan. Perlahan tulisan-tulisan di dinding mulai memudar dan menghilang. Sosok Pak Warno muncul sekali lagi, berdiri di pojok ruangan sambil menatap mereka tajam, lalu menghilang seperti asap.
Keesokan harinya, Rini siuman. Ia tak ingat apa-apa. Semua tulisan benar-benar hilang, seolah tak pernah ada. Namun Bayu masih menyimpan semua rekaman dari malam sebelumnya.
Mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan proyek itu. Rini akhirnya membuat karya seni abstrak berdasarkan mimpi-mimpinya setelah kejadian itu, namun tidak pernah menyebut rumah Warno dalam karyanya. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar proyek skripsi.
Sampai sekarang, rumah itu tetap kosong. Tidak ada yang berani menyentuh atau merenovasi. Beberapa warga mengaku masih melihat cahaya dari dalam rumah di malam Jumat Kliwon, dan kadang terdengar suara seperti seseorang sedang mengeja huruf dan memberi perintah layaknya guru di kelas.
Dan tulisan di dinding itu... masih muncul sesekali. Hanya bagi mereka yang benar-benar keras kepala atau nekat, seperti Rini.
Beberapa minggu setelah kejadian itu, Rini kembali ke kampus dan menjalani hari-harinya seperti biasa. Namun, Bayu menyadari bahwa ada yang berubah dari sahabatnya itu. Ia kini menjadi lebih pendiam, sering termenung, dan kadang menulis simbol-simbol aneh di bukunya tanpa sadar.
“Rin, kamu masih mimpi soal rumah itu?” tanya Bayu suatu sore di kantin kampus.
Rini mengangguk pelan. “Setiap malam. Aku seperti sedang belajar di dalam kelas yang gelap. Ada suara guru yang terus menyuruhku menyalin huruf-huruf... huruf yang nggak kukenal.”
Bayu khawatir. Ia mencoba meyakinkan Rini untuk menemui ahli spiritual atau psikolog, tapi Rini bersikeras semua baik-baik saja. Namun Bayu tahu, ada sesuatu yang belum selesai.
Beberapa hari kemudian, Bayu mendapatkan kabar dari Pak Kades melalui telepon. Ternyata, warga kembali menemukan tulisan-tulisan di dinding rumah Warno. Tapi kali ini, lebih banyak dan lebih gelap. Tulisan itu berbunyi:
"Ujian belum selesai. Murid kembali ke kelas."
Bayu merasa bulu kuduknya meremang. Ia langsung menemui Rini dan menunjukkan foto yang dikirim Pak Kades.
Rini menatap foto itu lama. “Aku... aku harus kembali ke sana.”
“Gila kamu, Rin! Kamu hampir kehilangan nyawa waktu itu!”
“Aku gak punya pilihan, Bayu. Ini seperti panggilan. Kalau aku abaikan, mimpi itu makin parah. Aku mulai dengar suara di siang hari sekarang.”
Dengan berat hati, Bayu akhirnya menemani Rini kembali ke desa. Namun kali ini mereka tidak sendiri. Mereka membawa serta Pak Jo, seorang spiritualis dari Magelang yang dikenal mampu menangani kasus-kasus gangguan non-fisik.
Setibanya di desa, suasana desa tampak lebih suram. Langit kelabu meski tidak hujan, dan burung-burung seperti enggan terbang di sekitar rumah Warno. Warga pun makin menjauh dari lokasi itu.
Pak Jo memeriksa sekeliling rumah dan langsung mengernyitkan dahi. “Energi di tempat ini sangat padat. Seperti ada ribuan jiwa terjebak dan tidak bisa keluar.”
Di dalam rumah, tulisan-tulisan merah kini memenuhi hampir seluruh permukaan dinding. Bahkan cermin-cermin tua yang dulu tidak terpakai kini menampilkan bayangan anak-anak kecil berseragam sekolah, duduk rapi di barisan seperti sedang menunggu pelajaran dimulai.
“Rin… kamu lihat itu?” tanya Bayu pelan.
Rini hanya mengangguk, air matanya mulai menetes. “Mereka… mereka ingin diajari. Tapi Pak Warno sudah tidak ada…”
Pak Jo mulai melakukan ritual pembersihan. Ia membacakan doa-doa dan memercikkan air suci ke sudut-sudut ruangan. Namun, tiba-tiba suasana berubah drastis. Angin kencang masuk dari jendela yang tertutup rapat. Lampu-lampu mati. Suara teriakan anak-anak menggema di seluruh ruangan.
Rini jatuh pingsan. Saat itu juga, sebuah tulisan besar muncul di dinding ruang tamu:
"Kau gurunya sekarang."
Bayu menjerit memanggil Rini, namun Pak Jo menahannya. “Jiwanya sedang ditarik ke dimensi lain. Kita harus cepat.”
Dalam kondisi tak sadarkan diri, Rini mulai berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti. Namun di antara kalimat-kalimat itu, terdengar jelas nama-nama anak-anak. Seolah ia sedang mengabsen murid-murid di dunia lain.
Pak Jo membuat lingkaran pelindung dari garam dan lilin. Ia memanggil nama Rini berulang-ulang sambil membaca mantra pemanggil jiwa. Setelah hampir satu jam, tubuh Rini mulai gemetar hebat, lalu membuka mata sambil menjerit.
“AKU BUKAN GURU KALIAN!! LEPASKAN AKU!!”
Bayu langsung memeluk Rini, menangis sejadi-jadinya. Perlahan, angin berhenti. Suara anak-anak lenyap. Dan tulisan di dinding mulai memudar satu per satu.
Setelah kejadian itu, rumah Warno kembali kosong. Tapi kali ini benar-benar hening. Tak ada lagi suara gamelan, atau tulisan yang muncul. Pak Jo berkata bahwa arwah anak-anak itu telah dilepaskan, setelah mendengar bahwa guru mereka tidak akan pernah kembali. Mereka hanya ingin dilihat, diakui, dan dimengerti.
Rini akhirnya bisa tidur nyenyak. Ia menulis ulang skripsinya, bukan lagi tentang simbol mistis, tapi tentang bagaimana kenangan dan trauma bisa bertahan dalam bentuk energi yang bahkan tak kasat mata.
Bayu pun kembali ke aktivitasnya, namun ia tetap menyimpan satu foto—foto terakhir sebelum mereka meninggalkan rumah Warno. Di sudut ruangan, di balik tirai, tampak siluet seseorang berdiri diam, menghadap papan tulis… seakan pelajaran belum benar-benar usai.
Beberapa tahun kemudian, rumah itu dibeli oleh seorang dosen dari luar kota yang tak percaya cerita mistis. Ia berniat menjadikannya vila artistik. Tapi belum sebulan tinggal di sana, ia ditemukan meninggal di kursi ruang tamu. Di dinding, tertulis satu kalimat:
"Jangan main-main dengan ruang kelas."
Posting Komentar