Bisikan Setan di Telinga: Pengalaman Mengerikan
Bisikan Setan di Telinga: Pengalaman Mengerikan
Rani, seorang karyawan swasta di Jakarta, baru saja menerima warisan rumah tua dari neneknya di Desa Surobayan, Yogyakarta. Ia memutuskan untuk tinggal di sana selama beberapa minggu, berharap suasana tenang desa bisa membantunya menyelesaikan naskah buku yang selama ini tertunda. Rumah itu terbuat dari kayu jati dengan nuansa klasik Jawa yang kental, dikelilingi pohon randu tua yang rimbun. Meski tampak indah dari luar, ada aura dingin yang terasa begitu melangkah masuk.
Malam pertama terasa aneh. Ketika Rani sedang membereskan buku-buku di kamar, ia mendengar bisikan halus di telinganya. "Raniii..." Bisikan itu jelas terdengar, seolah seseorang berdiri di belakangnya. Ia menoleh cepat, tapi tak ada siapa-siapa. Ia mencoba mengabaikan dan menganggap itu hanya perasaannya saja. Namun malam makin larut, dan bisikan itu kembali terdengar. "Bukakan pintu... aku kedinginan..."
Rani memejamkan mata rapat-rapat dan mencoba tidur, tapi suara itu terus berulang, kadang dari arah jendela, kadang dari dalam lemari. Ia bangun dan memastikan semua pintu dan jendela terkunci. Tapi suara itu tidak berhenti. Pagi harinya, ia mencoba bertanya pada Pak Seno, kepala dusun. Dengan wajah serius, Pak Seno berkata, "Kalau ada yang bisik namamu di malam hari, jangan dijawab, Nduk. Jangan pernah menjawab, apalagi kalau kamu sendirian."
Hari berikutnya, kejadian serupa terus berulang. Suara-suara aneh, bayangan yang melintas, dan bisikan yang semakin mendekat. Saat malam ketiga datang, Rani sudah tidak bisa tidur lagi. Ia duduk sambil menyalakan lilin karena listrik di rumah tiba-tiba padam sendiri. Dalam cahaya temaram, bisikan itu terdengar lagi. Tapi kali ini bukan hanya satu suara. Ada banyak. Suara perempuan menangis, suara anak kecil tertawa lirih, dan suara berat seorang lelaki yang berkata, "Rumah ini milik kami... kamu harus pergi..."
Tiba-tiba pintu kamar terbuka sendiri. Dari balik kegelapan lorong, muncul sosok perempuan berambut panjang, mengenakan kebaya lusuh, dengan wajah yang tidak jelas karena ditutupi rambut. Ia berjalan perlahan ke arah Rani. "Kamu sudah mendengarku... sekarang giliranmu menemaniku..." Sosok itu menyeringai, dan dalam sekejap menghilang tepat di depan wajah Rani. Tubuh Rani lemas dan ia berteriak histeris.
Rani langsung lari keluar rumah tanpa alas kaki, menuju balai desa. Pak Seno yang sedang berjaga langsung menghampirinya. Setelah mendengar ceritanya, ia segera memanggil Mbah Wiryo, dukun tua desa. Mbah Wiryo datang dengan membawa dupa, garam, dan segenggam bunga. "Itu arwah Sari," katanya lirih. "Dia pernah tinggal di rumah itu. Dulu bekerja sebagai pembantu, tapi difitnah mencuri. Lalu gantung diri di kamar mandi belakang. Arwahnya tak pernah tenang karena tak ada yang membela dia."
Rani terdiam. Ia tak pernah tahu kisah kelam itu. Malam itu juga, bersama warga, dilakukan ritual pembersihan di setiap sudut rumah. Saat sampai di kamar mandi, suasana mendadak menjadi berat. Angin dingin bertiup meski semua pintu tertutup. Terdengar suara jeritan dan tangisan dari dinding. "Aku tidak mencuri... aku hanya ingin dibenarkan..."
Rani tak kuasa menahan air mata. Dengan suara pelan, ia berkata, "Sari, aku minta maaf atas apa yang terjadi padamu. Aku akan ceritakan kebenaran ini kepada semua orang. Aku akan bersihkan namamu." Setelah ucapan itu, angin berhenti. Suasana menjadi tenang, dan bau melati samar menyelimuti ruangan.
Sejak malam itu, tidak ada lagi gangguan. Rani benar-benar menepati janjinya. Ia menulis kisah tentang Sari, menyebarkannya ke warga, dan memastikan bahwa nama Sari dikenang dengan layak. Setiap malam Jumat, ia meletakkan bunga melati di depan kamar mandi sebagai bentuk penghormatan. Namun kadang, di tengah malam, ia masih mendengar bisikan lembut di telinganya, bukan lagi menakutkan, melainkan seperti ucapan terima kasih. "Terima kasih... Rani..."
Namun ketenangan itu ternyata hanya sesaat. Dua minggu kemudian, Rani mulai merasakan keanehan kembali. Kali ini bukan suara, tapi mimpi. Ia selalu bermimpi berada dalam sumur tua di belakang rumah yang sudah lama tertutup papan. Dalam mimpinya, ia mendengar suara-suara meminta tolong. Saat bangun, keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia memutuskan untuk membuka papan penutup sumur itu keesokan harinya.
Dengan dibantu Pak Seno dan dua warga lain, mereka membuka penutup sumur yang dipaku erat. Begitu terbuka, tercium bau busuk menyengat. Di dasar sumur, mereka melihat sesuatu yang mengerikan—tulang belulang manusia. Polisi desa dipanggil, dan hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa itu adalah jasad dua wanita muda yang hilang bertahun-tahun lalu, diduga korban pembunuhan.
Berita penemuan itu membuat geger. Rani semakin dihantui perasaan bersalah, karena ia merasa semua ini berkaitan dengan bisikan-bisikan yang dulu ia alami. Ia kembali menemui Mbah Wiryo, yang mengatakan bahwa rumah itu adalah tempat "penyimpanan" bagi banyak energi kelam, karena tanahnya dulunya adalah lokasi eksekusi zaman penjajahan Belanda.
"Yang kamu dengar bukan hanya satu arwah," ujar Mbah Wiryo. "Banyak yang terjebak di sana. Mereka semua mencari pendengar. Dan kamu sudah menjadi medium mereka."
Rani tidak bisa pindah begitu saja. Semakin ia mencoba meninggalkan rumah itu, semakin banyak gangguan menghampirinya—telepon berdering di tengah malam, suara langkah kaki di atap, dan bayangan hitam yang selalu berdiri di pojok kamar saat ia bangun tengah malam.
Sampai suatu malam, ia tidak hanya mendengar suara bisikan, tapi juga terbangun dalam keadaan berdiri di tepi sumur. Ia seperti ditarik ke sana saat tidur. Untungnya, tetangga yang lewat tengah malam melihatnya dan membangunkan Rani tepat waktu. Kejadian itu membuat Rani sadar bahwa dirinya sudah tidak aman lagi tinggal di rumah itu.
Akhirnya, ia memutuskan untuk menjual rumah tersebut dengan syarat tidak menghilangkan sejarahnya. Rumah itu kini dijadikan rumah sejarah lokal, dilindungi oleh pemerintah desa, dan dilengkapi papan peringatan tentang sejarah kelam yang pernah terjadi di dalamnya. Rani kembali ke Jakarta, namun cerita dan pengalaman di rumah itu tak pernah bisa ia lupakan.
Beberapa tahun kemudian, bukunya yang berjudul “Bisikan Setan di Telinga” menjadi bestseller. Banyak yang menyangka kisah itu fiktif, namun Rani tahu, setiap kata dalam bukunya adalah kenyataan yang menempel erat di pikirannya. Ia masih sering terbangun dengan suara-suara bisikan, tapi kini ia tahu cara untuk mengabaikannya. Ia tahu, selama ia tidak menjawab, mereka tak akan bisa menyentuhnya kembali.
Posting Komentar