Hantu Kolor Ijo: Pelecehan yang Menyeramkan

Table of Contents
Hantu Kolor Ijo, Pelecehan yang Menyeramkan - Cerpen Horor Mania

Kisah Nyata Teror Kolor Ijo di Sebuah Desa Jawa Timur

Desa Karangjati di pinggiran Jawa Timur mendadak gempar oleh teror yang tak biasa. Bukan pencuri, bukan pula hewan buas, tapi makhluk misterius yang disebut-sebut warga sebagai "Kolor Ijo". Legenda lama yang dulu hanya dianggap dongeng kini menjelma nyata, meneror gadis-gadis muda di malam hari.

Namaku Dinda, aku tinggal bersama nenek di desa ini setelah kedua orang tuaku merantau ke Jakarta. Usia ku 19 tahun, baru lulus SMA dan sedang menunggu pengumuman kuliah. Awalnya aku tak percaya cerita-cerita soal Kolor Ijo. Menurutku itu hanya mitos kampung untuk menakut-nakuti perempuan agar tak keluar malam.

"Ndak usah keluyuran malam, Nduk. Sekarang Kolor Ijo gentayangan lagi, sudah ada dua gadis yang diganggu!" kata Nek Lastri, nenekku, suatu malam sambil menutup jendela rapat-rapat.

Aku hanya tertawa kecil. "Ih Nek, masa iya sih hantu cuma pakai kolor ijo doang? Kuno banget!"

"Jangan ngeledek, Dinda! Kolor Ijo itu bukan manusia biasa. Dia bisa hilang, bisa manjat tembok, dan katanya cari perempuan muda buat diperkosa!" ujar nenek dengan wajah cemas.

Meski masih tak percaya sepenuhnya, malam itu aku jadi agak waspada. Terlebih saat tetanggaku, Lela, yang tinggal dua rumah dari kami, tiba-tiba jatuh sakit setelah ditemukan linglung di kebun belakang rumahnya dini hari. Bajunya robek, wajahnya ketakutan, dan tubuhnya gemetar tak henti.

"Dia diserang sesuatu," kata Pak RT yang ikut membantu mengevakuasi Lela. "Tapi tak ada tanda bekas manusia. Hanya jejak telapak kaki besar dan... kolor ijo yang tertinggal di dekat semak."

Desa pun heboh. Para lelaki ronda tiap malam. Para ibu menyebar ramuan penangkal dan menggantung cabai merah di depan rumah. Aku sendiri jadi takut keluar kamar setelah Maghrib.

Namun, teror itu belum berhenti. Dua malam setelah kejadian Lela, giliran tetanggaku lainnya, Yuni, yang berteriak keras dari kamarnya. Kami semua berlarian menuju rumahnya. Pintu kamar terkunci dari dalam. Setelah berhasil dibuka paksa, Yuni ditemukan terbaring lemas dengan bekas cakaran di pahanya dan mata melotot ketakutan.

"Dia... dia masuk lewat jendela... besar... pakai kolor ijo... matanya merah!" teriak Yuni sebelum pingsan.

Aku semakin takut. Malam-malam berikutnya terasa mencekam. Setiap suara dari luar membuat jantungku berdetak cepat. Nenek selalu membacakan doa dan meletakkan garam di setiap sudut rumah. Tapi rasa was-was tetap tak hilang.

Suatu malam, saat listrik padam mendadak, aku mendengar suara langkah kaki berat di halaman belakang. Suara itu semakin dekat. Aku mendekat ke jendela dengan hati-hati dan menyingkap tirai sedikit.

Di bawah cahaya bulan samar, aku melihat sosok tinggi besar, tubuhnya berwarna gelap dan hanya mengenakan kolor ijo lusuh. Wajahnya tak jelas, tapi matanya tampak merah menyala. Ia menghampiri jendela kamarku!

"Nek! Nek! Ada dia!" teriakku sambil mundur ketakutan.

Nenek keluar dari kamar sambil membawa sapu lidi dan bacaan ayat suci. Kami berdua membaca doa keras-keras. Sosok itu menghilang begitu saja, seperti asap yang tertiup angin.

Besoknya, Pak Ustadz dan warga berkumpul di musholla. Mereka sepakat untuk mengadakan pengajian dan pembersihan kampung. Menurut Pak Ustadz, Kolor Ijo bukan sekadar makhluk gaib, tapi bisa jadi hasil pesugihan dari seseorang yang mengirim jin untuk pelecehan sebagai tumbal kekayaan.

"Jin itu dikirim untuk menakuti dan menyakiti perempuan. Ini sudah keterlaluan. Kita harus bersihkan kampung ini," ujar Pak Ustadz tegas.

Pengajian besar pun digelar malam Jumat. Warga membawa air doa dan dupa, membakar kemenyan untuk mengusir makhluk jahat. Namun malam itu juga, serangan kembali terjadi. Kali ini rumah korban cukup jauh dari pusat kampung, milik seorang gadis bernama Wina.

Ia ditemukan pagi harinya di depan rumah, tak sadarkan diri. Di lantainya, terdapat tulisan di dinding dengan lumpur, bertuliskan: "Aku belum kenyang."

Panik dan takut, warga mulai curiga. "Ini bukan hantu sembarangan," kata Pak RT. "Ini dikendalikan. Mungkin ada dukun atau orang kampung kita sendiri yang menyuruhnya."

Penyelidikan kecil pun dilakukan. Beberapa orang yang dikenal suka menyendiri atau memiliki ilmu aneh mulai dicurigai. Tapi tidak ditemukan bukti kuat.

Hingga suatu malam, aku terbangun karena mendengar suara berat memanggil namaku dari luar jendela.

"Dinnn... daaaa... bukaaaan jendelaaaa..."

Suara itu seperti gumaman namun jelas. Tubuhku kaku. Aku hanya bisa menutup telinga dan membaca doa dalam hati. Jendela berguncang. Tapi tiba-tiba, terdengar suara azan dari toa masjid karena sudah masuk waktu Subuh. Sosok itu pun menghilang, jendela tenang kembali.

Keesokan harinya, aku pergi ke rumah Pak Ustadz dan menceritakan semuanya. Ia memberiku air doa dan sebuah kain putih berisi bacaan ayat pelindung, disuruh meletakkannya di bawah bantal.

"Jangan takut, Dinda. Dia akan berhenti kalau sumbernya ditemukan," ucapnya.

Dua hari kemudian, warga menangkap seorang pria paruh baya bernama Pak Warto. Ia kedapatan menyimpan boneka menyerupai manusia di dalam gubuk belakang rumahnya, lengkap dengan foto-foto para korban dan... potongan-potongan kain kolor hijau!

Setelah diinterogasi, Pak Warto mengaku melakukan pesugihan ilmu hitam agar cepat kaya. Ia diminta memberi tumbal perempuan oleh jin peliharaannya. Kolor Ijo hanyalah jelmaan dari jin itu yang dikirim untuk menakuti dan melukai para perempuan muda.

"Saya nggak kuat... mereka minta terus... kalau saya nggak nurut, saya bisa mati," katanya lirih sambil menangis.

Pak Warto langsung diserahkan ke pihak berwajib. Rumahnya dibakar warga, dan pengusiran makhluk gaib dilakukan secara massal di seluruh kampung.

Meski ketenangan kembali, luka batin para korban tidak cepat hilang. Yuni sering menjerit dalam tidur, Lela menolak keluar rumah sama sekali, dan Wina memutuskan pindah ke rumah bibinya di kota. Aku sendiri masih dihantui rasa takut, tapi mencoba kembali menjalani hari-hari seperti biasa.

Beberapa bulan berlalu. Desa mulai tenang. Namun suatu malam, saat aku sendirian di rumah karena nenek sedang menginap di rumah saudara, aku kembali mendengar suara itu.

"Dinda..."

Suara itu pelan, namun menusuk hati. Aku menoleh ke arah jendela. Kosong.

Ketika aku melangkah ke dapur untuk mengambil air, aku melihat bayangan hitam besar melintas cepat di luar pintu belakang. Tak lama kemudian, aku mencium bau amis menyengat. Jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya.

Dengan tangan gemetar, aku menyalakan semua lampu dan menghidupkan radio dengan volume keras. Aku tahu, mungkin Kolor Ijo telah dikalahkan secara fisik... tapi mungkin tidak secara spiritual. Mungkin sebagian dari dirinya masih mengintai... menunggu lengahku.

Semenjak malam itu, aku rajin beribadah. Aku percaya, makhluk seperti Kolor Ijo hanya bisa dilawan dengan kekuatan doa dan iman. Namun aku tahu satu hal—kisah ini belum sepenuhnya berakhir. Selama masih ada orang yang rela menukar nurani demi kekayaan, selama masih ada niat jahat yang tersembunyi dalam gelap... Kolor Ijo mungkin akan kembali.

Posting Komentar