Hantu Kuntilanak: Jeritan di Kegelapan

Table of Contents
Hantu Kuntilanak, Jeritan di Kegelapan - Cerpen Horor Mania

Hantu Kuntilanak: Jeritan di Kegelapan

Desa Pucungwangi di Jawa Tengah dikenal sebagai desa yang tenang dan damai. Namun, ada satu sudut desa yang jarang dilewati warga saat malam hari—sebuah jalan setapak di belakang hutan bambu, dikenal sebagai Jalan Gelap. Konon, di sanalah Kuntilanak pernah menampakkan diri dan menjerit di kegelapan.

Rina, seorang gadis berusia dua puluh dua tahun, baru saja pindah ke rumah neneknya di desa itu. Ia pindah dari Jakarta untuk mencari ketenangan setelah kehilangan ibunya karena sakit. Rina belum tahu bahwa rumah neneknya berada tak jauh dari Jalan Gelap.

"Rina, kalau malam jangan lewat jalan belakang, ya. Lewat saja jalan utama," pesan Nenek saat mereka makan malam.

"Memangnya kenapa, Nek?" tanya Rina penasaran.

"Sudah lama, ada kejadian aneh di sana. Orang-orang yang lewat malam hari suka dengar suara jeritan perempuan. Ada juga yang katanya melihat sosok perempuan berbaju putih, rambutnya panjang, mukanya... nggak kelihatan."

Rina merinding, tapi mencoba menertawakannya. "Ah, itu cuma cerita buat nakut-nakutin orang, Nek."

Tapi malam itu, rasa penasaran justru tumbuh dalam benaknya. Dan rasa penasaran itu membawanya pada malam yang takkan pernah ia lupakan.

Keesokan harinya, Rina mengantar barang ke rumah temannya di desa sebelah. Saat ia hendak pulang, hujan turun deras. Jalan utama tergenang air dan warga menyarankan untuk lewat jalan belakang, yang lebih tinggi dan tidak tergenang.

Tanpa berpikir panjang, Rina mengambil senter dari tasnya dan berjalan melewati Jalan Gelap. Langit mendung dan rintik hujan masih turun pelan. Di kanan-kiri hanya pohon bambu yang bergerak tertiup angin. Sunyi. Hening. Mencekam.

Tiba-tiba terdengar suara tawa kecil—nyaring dan melengking.

"Hihihihihi..."

Langkah Rina terhenti. Ia menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa.

"Mungkin cuma angin," gumamnya, mempercepat langkah.

Lalu suara jeritan tiba-tiba menggema dari arah pepohonan.

"AAARRGGGHHHH!!!"

Senter di tangan Rina bergetar, lalu padam. Ia panik, menekan-nekan tombolnya, tapi cahaya tidak kembali. Jantungnya berdetak kencang. Nafasnya memburu.

Dari arah hutan bambu, terdengar suara langkah pelan. Rina mundur, matanya mencari-cari sumber suara. Lalu ia melihatnya—sosok putih berdiri di antara batang bambu, rambut panjang menutupi wajah, gaunnya lusuh dan kotor.

"Hihihihihi..."

"Si... siapa kamu?!" teriak Rina.

Sosok itu tidak menjawab, hanya melayang mendekat perlahan. Tanpa sadar, air mata mulai menetes dari mata Rina.

"Tolong... jangan dekati aku..."

Sosok itu berhenti sejenak, lalu membuka mulutnya. Tapi suara yang keluar bukan kata-kata, melainkan jeritan yang membuat bulu kuduk berdiri.

"AAAAAAAAAAAAAAHHHHHHH!!!"

Rina pingsan di tempat.

Ketika sadar, ia sudah berada di dalam rumah neneknya. Tubuhnya basah kuyup dan gemetar.

"Kamu kenapa, Rin? Warga nemuin kamu pingsan dekat kebun bambu," tanya Nenek khawatir.

Rina memeluk neneknya dan menangis. "Aku lihat Kuntilanak, Nek... dia menjerit... dia hampir mendekatiku..."

Nenek menarik napas panjang. "Kamu melewati Jalan Gelap, ya? Sudah Nenek bilang, jangan lewat sana."

Beberapa hari kemudian, Rina mulai mencari tahu tentang cerita di balik Jalan Gelap. Dari warga, ia mendengar kisah lama tentang seorang wanita muda yang dibunuh kekasihnya di hutan bambu karena cemburu buta. Jenazahnya dibuang begitu saja dan tak ditemukan hingga sekarang.

"Sejak saat itu, jeritan perempuan sering terdengar dari dalam hutan. Banyak yang percaya itu arwah perempuan itu yang belum tenang," ujar Pak Darto, tetua desa.

Rina pun merasa bersalah karena sempat meremehkan cerita itu. Ia lalu mengusulkan kepada kepala desa untuk melakukan selamatan dan doa bersama di sekitar Jalan Gelap. Harapannya, arwah yang gentayangan bisa tenang dan tidak mengganggu warga lagi.

Malam selamatan itu, warga berkumpul membawa sesajen dan membaca doa bersama. Di tengah doa, angin bertiup kencang dan terdengar suara tangisan samar dari arah hutan.

"Ia mendengar doa kita," kata Pak Darto lirih. "Semoga ia bisa pergi dengan tenang."

Sejak malam itu, tidak ada lagi suara jeritan di Jalan Gelap. Warga mulai berani melewati jalan itu kembali. Namun, Rina masih sering teringat wajah samar perempuan itu—mata kosong, rambut panjang, dan jeritan yang menggema di telinganya.

Beberapa bulan kemudian, Rina mengikuti kegiatan kampus yang mengangkat tema budaya dan cerita rakyat lokal. Ia membawakan kisah Kuntilanak di Jalan Gelap ke dalam tulisan esai. Cerita itu mendapat sambutan luas dan banyak yang tertarik dengan kisahnya.

Salah satu dosen pembimbingnya, Bu Endah, bahkan menyarankan untuk menjadikan kisah itu sebagai bahan skripsi. "Cerita rakyat semacam ini sangat penting untuk dilestarikan, Rin. Tapi kamu juga harus membedakan mana mitos dan mana sejarah yang bisa ditelusuri."

Rina mulai menelusuri arsip desa tua dan menemukan catatan kepolisian tahun 1974 tentang seorang wanita muda bernama Sri Utami yang dilaporkan hilang. Dalam laporan itu tertulis bahwa pacarnya mengaku terakhir kali bertemu Sri di dekat hutan bambu. Sayangnya, karena kurangnya bukti, kasus itu ditutup.

Dengan data itu, Rina mencoba menghubungkan kisah mistis dengan kejadian nyata. Ia bertanya-tanya, mungkinkah sosok Kuntilanak itu adalah Sri Utami? Arwah yang masih menunggu keadilan?

Suatu malam, Rina bermimpi. Ia berdiri di tengah hutan bambu, diterangi cahaya bulan. Di hadapannya, sosok perempuan berpakaian putih menatapnya. Tapi kali ini, wajahnya jelas—muda, cantik, tapi menyimpan kesedihan mendalam.

"Terima kasih..." suara itu lembut, seperti bisikan angin.

Rina terbangun dengan peluh dingin, tapi hatinya terasa ringan. Ia merasa bahwa arwah itu telah menemukan kedamaian, atau setidaknya merasa bahwa kisahnya telah didengar.

Setelah kelulusan, Rina memutuskan untuk menetap di desa dan membuka komunitas penulis muda. Ia mengajak para remaja untuk menulis cerita rakyat lokal agar tidak hilang dimakan zaman. Cerita tentang Kuntilanak di Jalan Gelap menjadi salah satu materi yang paling sering diceritakan ulang.

Beberapa anak muda bahkan membuat film pendek dari kisah tersebut, lengkap dengan latar hutan bambu asli dan efek suara jeritan yang mencekam. Film itu viral di media sosial dan membuat banyak orang tertarik datang ke Desa Pucungwangi.

Tapi Rina selalu mengingatkan, "Datanglah dengan rasa hormat. Jangan hanya ingin sensasi atau konten. Karena tempat ini pernah menjadi saksi dari penderitaan seseorang."

Kini Jalan Gelap tak lagi menakutkan. Lampu-lampu kecil dipasang di sepanjang jalan, dan papan peringatan didirikan agar orang tahu sejarah tempat itu. Di ujung jalan, sebuah batu besar berdiri dengan tulisan: “Di sinilah jeritan pernah menggema, namun kini telah tenang.”

Namun, setiap kali malam turun dengan sunyi yang pekat, Rina tetap menutup jendela rapat-rapat dan berdoa dalam hati. Karena ia tahu, sekali saja jeritan itu kembali terdengar... mungkin tak akan ada lagi yang bisa menyelamatkannya.

Posting Komentar