Kisah Bajang: Arwah Anak-Anak
Kisah Bajang: Arwah Anak-Anak dari Lombok yang Menuntut Dendam
Di sebuah desa kecil di kaki Gunung Rinjani, Lombok Timur, masyarakat hidup dalam ketenangan yang diwarisi turun-temurun. Namun, desa ini menyimpan legenda kelam tentang makhluk gaib bernama Bajang — arwah penasaran anak-anak yang meninggal sebelum waktunya. Konon, Bajang bukan sekadar hantu biasa. Mereka seringkali menampakkan diri dalam bentuk anak kecil dengan tawa cekikikan yang menyayat hati.
Ari, seorang mahasiswa antropologi dari Jakarta, datang ke desa itu untuk meneliti tradisi masyarakat Sasak. Ia menyewa rumah panggung tua yang sudah lama kosong. Menurut warga, rumah itu dulunya milik seorang dukun bayi yang terkenal, tapi hilang secara misterius dua dekade lalu.
“Mas Ari yakin mau tinggal di sini?” tanya Pak Gede, kepala dusun, saat mengantarkan kunci rumah. “Rumah ini punya sejarah...”
“Saya justru tertarik karena itu, Pak,” jawab Ari dengan senyum yakin.
Hari pertama berjalan normal. Tapi malam itu, Ari terbangun oleh suara mainan jatuh dari atas lemari. Saat ia menoleh, boneka kecil berguling pelan ke arahnya, dan terdengar suara tawa anak kecil.
“Hahaha… main sama aku...”
Ari kaget. Ia menyalakan lampu. Tidak ada siapa-siapa. Boneka itu juga hilang. Ia mengira hanya mimpi, mungkin kelelahan.
Namun malam-malam berikutnya menjadi semakin menyeramkan. Ada bekas kaki kecil berdebu di lantai kayu. Ari juga sering mendengar suara anak kecil menyanyikan lagu tradisional Sasak di sudut kamar.
“Lagi-lagi suara itu...” gumam Ari, mencatat pengalamannya di buku harian. “Jika ini Bajang, aku harus tahu kenapa mereka gentayangan.”
Esoknya, Ari menemui Bu Leli, seorang tetua desa yang dikenal paham soal hal-hal gaib. Ia tinggal di pinggir desa, rumahnya penuh dengan dupa dan daun-daun kering.
“Ada yang mengikuti kamu, Ari,” kata Bu Leli sambil menaburkan beras kuning di sekelilingnya. “Bajang itu bukan satu. Mereka banyak. Mereka dulunya anak-anak yang dibuang atau digugurkan, tidak dimakamkan dengan layak. Arwah mereka marah.”
Ari terdiam. Ia belum pernah mendengar cerita semengerikan ini.
“Kalau begitu, apa yang harus saya lakukan?”
“Temukan tempat mereka dibuang. Biasanya di hutan atau sumur tua. Bakar kemenyan dan bacakan doa. Tapi hati-hati. Bajang suka mempermainkan pikiranmu.”
Malam berikutnya, Ari mengikuti petunjuk itu. Ia menyusuri hutan di belakang rumah, tempat yang konon pernah digunakan dukun bayi itu untuk ritual rahasia. Di bawah pohon beringin besar, ia menemukan boneka kayu, baju bayi usang, dan botol susu berdebu.
Ari menyalakan kemenyan. Tapi tiba-tiba, udara menjadi dingin. Terdengar suara langkah kecil berlarian mengelilinginya. Asap kemenyan berubah jadi hitam. Tiba-tiba muncul sosok anak kecil bermata merah menyala.
“Kenapa kalian dibuang?” tanya Ari, mencoba berbicara.
Anak itu mendekat. Wajahnya hancur di satu sisi. “Kami... tidak diminta. Kami... dikutuk... Kami ingin ibu kami...”
Seketika, tubuh Ari terasa berat. Pandangannya berputar. Ia merasa berada dalam dunia lain — gelap, penuh tangisan bayi, tawa cekikikan, dan sosok-sosok kecil berlarian.
Ari terbangun di rumahnya pagi harinya. Tangannya memegang boneka kayu dari hutan. Ia mulai sering kerasukan. Warga desa takut mendekat. Ia berbicara dalam bahasa anak kecil, tertawa sendiri, bahkan menangis tanpa sebab.
Pak Gede akhirnya memanggil seorang pawang terkenal dari desa tetangga. Saat upacara pembersihan dilakukan, Bajang-bajang itu menampakkan diri. Mereka marah, berteriak, menangis, dan mencoba menggagalkan ritual.
“Kalian tidak boleh terus di sini!” teriak pawang sambil mengibaskan daun sirih dan menyiram air kembang.
Namun salah satu Bajang mendekati Ari, lalu berkata, “Bawa kami pulang. Ibu kami ada di kota. Dia masih hidup. Dia harus tahu...”
Setelah Ari sembuh, ia mulai mencari informasi lebih dalam. Ia menemukan catatan lama dari rumah dukun bayi itu — daftar nama wanita yang pernah melakukan aborsi secara diam-diam. Salah satunya adalah ibunya sendiri.
Ari gemetar. Ia menghubungi ibunya di Jakarta, dan perlahan-lahan membahas soal masa lalu. Ibunya menangis dan mengakui bahwa dulu ia pernah kehilangan bayi, tapi menyimpannya sebagai rahasia karena rasa malu.
“Saat itu Ibu takut. Ibu masih SMA...”
Ari lalu mengajak ibunya kembali ke Lombok. Di bawah pohon beringin itu, mereka meletakkan bunga dan membacakan doa bersama. Udara menjadi hangat. Tidak ada suara tawa atau tangis. Hanya hening dan tenang.
Namun tidak semua Bajang berhasil ditenangkan. Menurut Bu Leli, masih ada yang gentayangan. “Sebagian masih belum dipanggil namanya. Arwah mereka masih hilang, menunggu dipulangkan,” katanya.
Ari pun menginisiasi sebuah proyek pengabdian sosial di desa itu — mendokumentasikan cerita-cerita anak yang tak sempat lahir, memberi mereka nama, dan menyelenggarakan ritual pemulangan roh secara berkala.
Warga mulai ikut terlibat. Ibu-ibu yang dulu menyimpan rahasia gelap mulai membuka diri. Mereka menulis nama anak-anak mereka di selembar daun lontar, lalu dikuburkan dengan layak, ditemani doa dan tangis.
Namun gangguan tidak sepenuhnya hilang. Suatu malam, saat Ari sedang menyiapkan laporan penelitiannya, terdengar ketukan dari jendela rumah panggungnya. Ia menoleh — sosok anak kecil berdiri di luar, mengenakan baju putih, kepalanya berdarah.
“Namaku belum disebut...” katanya.
Ari membuka pintu. Tidak ada siapa-siapa. Tapi esoknya, ia menemukan coretan di dinding: “Kamu belum selesai.”
Ia kembali ke Bu Leli. “Bu, saya pikir semuanya sudah tenang.”
“Bukan semua, Ari. Ada anak-anak yang tak pernah diingat. Bahkan ibunya tidak tahu mereka pernah ada...”
Ari memutuskan menelusuri desa-desa sekitar. Ia menemukan kasus-kasus serupa. Beberapa wanita bahkan tidak tahu bahwa mereka pernah hamil karena pengobatan tradisional yang keliru. Ada juga yang dipaksa oleh keluarganya untuk menggugurkan kandungan demi menjaga nama baik.
Cerita Bajang menyebar, dari mulut ke mulut, menjadi legenda baru — bukan sekadar kisah hantu, tapi luka sosial yang nyata. Mereka bukan setan, tapi jiwa-jiwa kecil yang hanya ingin dikenang dan diterima.
Pada akhirnya, Ari menyelesaikan tesisnya dan memberinya judul: *"Bajang: Arwah Anak-Anak sebagai Cermin Budaya, Dosa, dan Penebusan di Lombok."*
Ia meninggalkan desa dengan perasaan lega, tapi juga tanggung jawab besar. Di tengah jalan menuju kota, suara tawa kecil terdengar dari balik kaca mobil.
“Kakak belum tahu semua...”
Ari menoleh. Tak ada siapa-siapa. Tapi ia tersenyum.
“Kalian tidak akan dilupakan.”
Posting Komentar