Kisah Horor di Candi Prambanan, Yogyakarta

Table of Contents
Kisah Horor di Candi Prambanan, Yogyakarta - Cerpen Horor Mania

Pengalaman Menyeramkan di Candi Prambanan: Kisah Horor

Yogyakarta memang terkenal dengan budaya dan sejarahnya, termasuk keberadaan Candi Prambanan yang menjadi salah satu ikon wisata. Namun di balik keindahan arsitektur dan kisah Roro Jonggrang yang melegenda, tersimpan cerita misterius yang jarang terungkap ke publik.

Namaku Tegar, seorang mahasiswa arkeologi dari Jakarta. Semester lalu, aku dan dua temanku, Wina dan Bima, mendapat izin untuk melakukan penelitian langsung ke Candi Prambanan. Kami berniat mendalami struktur batuan dan relief yang belum banyak dijelaskan secara akademis. Siapa sangka, penelitian itu justru menjadi pengalaman paling menyeramkan dalam hidup kami.

Kami tiba di Yogyakarta pada hari Senin pagi. Setelah menyelesaikan administrasi dengan pengelola situs, kami diizinkan menginap di penginapan kecil milik Pak Sastro, seorang juru pelihara candi yang sudah puluhan tahun bekerja di sana.

“Kalau malam, jangan keluyuran di sekitar candi ya,” pesan Pak Sastro sambil menyeduh teh. “Kadang ada suara gamelan terdengar sendiri. Itu bukan pertunjukan, tapi tanda...”

“Tanda apa, Pak?” tanya Wina penasaran.

Pak Sastro hanya menghela napas dan tersenyum tipis. “Tanda bahwa mereka sedang mengadakan pertemuan. Sudah, yang penting jangan macam-macam.”

Hari pertama kami berjalan lancar. Kami meneliti sejumlah relief dan memotret beberapa struktur yang belum terdokumentasi dengan baik. Namun rasa penasaran kami justru memuncak saat menemukan sebuah celah kecil di dinding bagian belakang Candi Shiva, yang seolah mengarah ke dalam ruang rahasia.

“Kita harus masuk,” bisik Bima dengan mata berbinar. “Siapa tahu ini bagian dari struktur asli yang belum tercatat.”

“Tapi itu melanggar aturan, Bi,” ucapku ragu.

Namun rasa penasaran lebih kuat. Menjelang maghrib, kami kembali ke candi tanpa sepengetahuan siapa pun. Bima berhasil membuka celah itu dan kami bertiga masuk perlahan menggunakan senter kecil.

Di dalam, hawa dingin langsung menyergap. Bau batuan tua dan tanah lembap menyatu dalam keheningan yang mencekam. Kami menyusuri lorong sempit sekitar 20 meter sebelum akhirnya tiba di ruangan batu persegi. Di tengahnya, berdiri sebuah arca aneh yang tidak tercatat dalam data manapun—arca seorang wanita bertubuh tinggi dengan tatapan tajam dan rambut menjuntai seperti ular.

“Apa ini...?” Wina berbisik sambil memotret.

Namun tiba-tiba, lampu senter Bima mati. Tak lama, senterku juga redup, dan suasana jadi gelap total. Dari kejauhan, terdengar suara gamelan mengalun pelan. Suaranya lembut, tapi ada nuansa menyeramkan di balik irama itu.

“Kalian dengar itu?” bisik Bima.

Wina mulai menangis. “Aku mau keluar dari sini...”

Kami buru-buru mencari jalan kembali. Anehnya, lorong yang tadi kami lewati terasa berbeda. Seperti ada perubahan arah. Dinding yang semula lurus kini bercabang, dan setiap cabang membawa kami ke tempat yang sama—ruangan dengan arca wanita itu.

“Kita... terjebak?” tanyaku panik.

Suara gamelan semakin keras. Lalu muncul suara tawa kecil, seperti anak-anak bermain. Kami menoleh ke belakang dan melihat bayangan bergerak cepat di antara lorong. Nafas kami tercekat. Kami berlari, menabrak dinding batu, berputar, hingga tiba-tiba Bima berteriak keras.

“Tolong! Ada yang menarik aku!”

Kami mencoba menarik tubuh Bima, namun tangannya seperti ditarik oleh kekuatan tak terlihat ke dalam bayangan. Aku menendang dan memukul udara kosong, dan entah bagaimana, tiba-tiba kami kembali berada di dekat celah masuk candi. Nafas tersengal, tubuh kotor penuh debu, dan hanya berdua—tanpa Bima.

“Bima! Bima masih di dalam!” Wina histeris.

Kami berlari mencari bantuan ke rumah Pak Sastro. Namun saat kami menceritakan kejadian itu, ekspresi Pak Sastro berubah muram.

“Kalian membuka jalur lama... jalur yang sudah ditutup sejak ratusan tahun lalu. Itu bukan ruang sembarangan. Itu tempat pengasingan roh.”

“Bima masih bisa diselamatkan, Pak?” tanyaku.

Pak Sastro menggeleng pelan. “Kalau dia sudah melihat arca itu dan mendengar gamelan, maka jiwanya mungkin telah ditarik ke dimensi lain. Hanya orang-orang khusus yang bisa memanggilnya kembali.”

Esoknya, tim pencari dikerahkan. Anehnya, mereka tidak menemukan celah masuk seperti yang kami lalui. Dinding tempat kami masuk kini kembali utuh, seolah tidak pernah terbuka. Pengelola menyebut Bima hilang, tapi kami tahu kebenarannya.

Wina pulang ke Jakarta dalam kondisi trauma berat. Aku bertahan beberapa hari, berharap bisa menemukan petunjuk. Suatu malam, aku bermimpi bertemu Bima. Ia berdiri di tengah candi, mengenakan pakaian Jawa kuno, wajahnya pucat dan tatapannya kosong.

“Aku tidak bisa pulang, Gar. Mereka menjadikanku penjaga...”

Begitu aku terbangun, aku merasa ada yang membisikkan sesuatu di telingaku. Saat menoleh, tak ada siapa pun. Namun udara kamar mendadak dingin dan aroma bunga melati menyengat.

Karena tak kunjung mendapat jawaban, aku mendatangi seorang spiritualis di daerah Kotagede, bernama Mbah Darmo. Ia dikenal memiliki kemampuan melihat dimensi lain.

“Kau sudah melihat apa yang tak seharusnya kau lihat,” kata Mbah Darmo sambil menatap mataku dalam. “Temanmu diambil oleh penjaga lama. Arca yang kau lihat adalah perwujudan permaisuri masa lalu yang dikutuk menjadi pengikat jiwa manusia.”

“Apa aku bisa menyelamatkan Bima?” tanyaku.

“Bisa,” jawabnya. “Tapi kau harus masuk lagi... membawa sesajen khusus, dan hati yang ikhlas. Tidak boleh ada rasa takut. Kalau tidak, kau akan ikut terjebak.”

Dengan bantuan Mbah Darmo, kami mengadakan ritual kecil di pelataran Candi Shiva. Malam itu, aku merasakan lorong itu muncul kembali. Aku masuk sendirian, membawa dupa, bunga, dan air kembang. Suasana di dalam berbeda. Ruangan arca terlihat lebih besar, dan di sampingnya berdiri sosok Bima, diam mematung.

“Bima... pulanglah bersamaku,” bisikku lirih.

Sosok arca bergerak perlahan, dan tiba-tiba bayangan-bayangan muncul di sekelilingku. Aku menutup mata dan mengucap mantra yang diajarkan Mbah Darmo. Udara bergetar, dan seketika tubuh Bima roboh ke tanah.

Dengan gemetar, aku mengangkat tubuhnya. Lorong itu mulai runtuh, dan aku berlari sekencang-kencangnya hingga kembali ke pelataran candi. Bima sadar beberapa jam kemudian, bingung dan ketakutan.

“Aku merasa seperti hidup ratusan tahun di tempat itu, Gar... gelap... dan sunyi...”

Setelah kejadian itu, kami pulang ke Jakarta. Bima memutuskan berhenti dari dunia arkeologi. Ia kini tinggal di desa dan memilih hidup sederhana. Wina pun mulai menekuni bidang seni dan menjauhi cerita mistis.

Adapun aku, Tegar, menuliskan semua pengalaman ini dalam laporan dan menyampaikannya ke dosen. Sebagian tak percaya, sebagian tertarik meneliti lebih dalam. Tapi aku tahu, beberapa pintu memang sengaja dikunci oleh masa lalu—bukan untuk diselidiki, tapi dihormati.

Dan jika suatu saat kalian berkunjung ke Candi Prambanan di malam hari, lalu mendengar suara gamelan pelan dari dalam candi... berhentilah. Tutup telinga, dan segera pergi. Karena tak semua suara itu berasal dari dunia yang sama.

Posting Komentar