Kisah Horor: Malam di Kuburan
Kisah Horor: Malam di Kuburan
Namaku Reza, seorang mahasiswa semester akhir di salah satu universitas di Yogyakarta. Cerita ini terjadi ketika aku dan dua temanku, Deni dan Wawan, nekat melakukan uji nyali di sebuah kuburan tua di pinggiran kota. Kuburan itu dikenal angker dan sering disebut warga sebagai "Kuburan Mbah Rondo". Konon, arwah seorang janda tua yang meninggal bunuh diri gentayangan di sana.
Semua bermula dari obrolan iseng di kosan saat malam minggu. Kami tidak punya rencana apa pun, hingga Wawan mengusulkan ide gila.
"Gimana kalau malam ini kita uji nyali di kuburan Mbah Rondo?" kata Wawan sambil tertawa kecil.
"Seriusan lo?" tanya Deni, separuh tidak percaya.
"Ayolah, hidup cuma sekali. Lagian kita bertiga, masa takut?" balas Wawan dengan nada menantang.
Aku sebenarnya tidak terlalu suka hal-hal mistis, tapi entah kenapa malam itu aku setuju. Mungkin karena ingin membuktikan bahwa aku tidak penakut, atau hanya sekadar ingin ikut keseruan.
Kami berangkat sekitar pukul 11 malam dengan sepeda motor. Jalanan sepi, hanya terdengar suara jangkrik dan angin malam yang dingin menusuk kulit. Kuburan Mbah Rondo terletak di dekat sebuah kebun bambu yang lebat. Tidak ada lampu jalan. Kami hanya mengandalkan senter dari HP.
Setelah memarkir motor di pinggir jalan, kami berjalan menyusuri jalan setapak menuju kuburan. Suasananya mencekam. Bau tanah basah dan kemenyan samar-samar tercium di udara.
"Katanya sih, kalau ada yang berani datang malam Jumat Kliwon, Mbah Rondo suka menampakkan diri," bisik Deni pelan.
"Ini kan bukan malam Jumat Kliwon," jawabku mencoba tenang, walau jantungku berdegup kencang.
Wawan membuka pagar besi tua yang berdecit keras. Di dalam, puluhan nisan berjejer tak terawat. Beberapa tertutup semak dan lumut. Kami memutuskan duduk di dekat makam yang paling besar, yang diyakini sebagai makam Mbah Rondo.
"Siapa duluan yang duduk di atas nisan?" tanya Wawan sambil menunjuk sebuah batu nisan besar di tengah-tengah area.
"Gila lo!" bentak Deni, "Itu makam orang, bukan bangku taman."
"Yah, biar dapet uji nyali yang beneran. Kalau cuma duduk-duduk doang mah nggak kerasa horornya."
Aku berdiri dan berkata, "Udah, kita duduk bareng aja di tanah sini. Jangan ganggu makam orang."
Beberapa menit berlalu. Tidak ada yang aneh. Hanya suara angin yang sesekali membuat ranting bambu saling bergesekan, seperti suara bisikan halus di telinga.
"Kalian denger nggak?" bisik Deni tiba-tiba.
"Denger apa?" tanya Wawan.
"Kayak suara perempuan nangis... dari arah sana," kata Deni sambil menunjuk ke bagian belakang kuburan yang lebih gelap.
Kami semua diam. Lalu terdengar suara lirih, seperti isak tangis. Samar, tapi jelas. Suasana berubah mencekam. Udara mendadak lebih dingin.
"Itu... itu bukan suara angin, kan?" tanyaku pelan.
"Kayaknya... bukan," jawab Wawan, kali ini wajahnya terlihat pucat.
Kami berdiri perlahan, ingin memastikan suara itu berasal dari mana. Namun saat kami melangkah maju, tiba-tiba senter HP Deni mati. Disusul punyaku dan Wawan. Gelap total.
"Sial, kenapa lampunya mati semua?" bisik Deni, suaranya gemetar.
Dari kegelapan, terdengar langkah kaki menyeret. Suaranya pelan, tapi mendekat. Kami membeku di tempat. Tiba-tiba, dari balik pohon bambu, muncul sesosok wanita berambut panjang, mengenakan kebaya putih lusuh. Wajahnya hancur, dengan mata menatap kosong ke arah kami.
"Mbaaakk... Rondooo..." gumam Wawan tanpa sadar.
Sosok itu melayang perlahan ke arah kami. Wajahnya berubah menyeramkan, mulutnya sobek hingga ke pipi. Darah hitam mengalir dari matanya.
"Lariii!!!" teriak Deni sambil menarik tanganku.
Kami berlari sekuat tenaga keluar dari kuburan, tak peduli arah. Nafasku tersengal, tubuhku gemetar hebat. Kami akhirnya sampai ke jalan raya, langsung menyalakan motor dan tancap gas tanpa bicara sepatah kata pun.
Sesampainya di kos, kami saling pandang dengan wajah pucat pasi. Wawan yang biasanya paling berani, malam itu menangis seperti anak kecil. Deni terus membaca doa tanpa henti.
Esok paginya, kami mencoba meyakinkan diri bahwa yang kami lihat hanyalah halusinasi. Tapi saat Wawan mengecek HP-nya, ada satu foto yang tersimpan otomatis. Foto kami bertiga di depan makam... dan di belakang kami, berdiri sosok wanita berkebaya putih, tersenyum dengan wajah rusak mengerikan.
Sejak malam itu, hidup kami tak pernah sama. Wawan sering kerasukan, Deni mengalami mimpi buruk terus-menerus. Aku sendiri sering melihat bayangan perempuan di sudut kamar kosku.
Kami akhirnya memanggil seorang ustaz untuk ruqyah. Menurutnya, kami sudah mengganggu makhluk penunggu kuburan itu. Sebuah pelanggaran besar karena menginjak wilayah mereka dengan niat main-main.
Ustaz itu berkata, "Jangan pernah anggap remeh tempat yang sudah lama menjadi peristirahatan makhluk gaib. Mereka bisa marah."
Sejak itu, aku mulai mencari tahu lebih dalam tentang sejarah kuburan Mbah Rondo. Aku mewawancarai beberapa warga sekitar, termasuk Pak Surip, seorang pria tua yang rumahnya paling dekat dengan area pemakaman.
"Mbah Rondo itu dulu janda kaya. Suaminya mati muda, dan anak-anaknya merantau nggak pulang-pulang," cerita Pak Surip sambil mengunyah sirih. "Dia akhirnya hidup sendiri. Sering bicara sendiri, dan kadang tertawa tengah malam. Sampai suatu malam, dia ditemukan tergantung di dapurnya."
Ada bisik-bisik bahwa dia tidak mati bunuh diri. Beberapa warga percaya dia dipaksa mati oleh orang-orang yang mengincar tanah warisannya. Dan arwahnya belum tenang sampai sekarang.
Pak Surip menambahkan, "Makanya jangan main-main ke makamnya malam hari. Kadang dia ngikutin pulang. Sudah banyak yang ngalamin."
Setelah mendengar cerita itu, kami bertiga merasa bersalah. Kami mulai sering mengunjungi masjid, memperbanyak ibadah, dan meminta maaf secara batin kepada arwah Mbah Rondo.
Namun, gangguan itu belum sepenuhnya berhenti. Suatu malam, aku terbangun karena mimpi yang sama berulang kali—Mbah Rondo berdiri di dekat tempat tidurku, menyentuh wajahku dengan tangan dinginnya. Dalam mimpiku, dia hanya berkata satu kalimat, "Kamu belum minta maaf."
Aku akhirnya memutuskan kembali ke kuburan itu—kali ini sendirian, tapi bukan untuk uji nyali. Aku membawa bunga melati, air doa, dan niat yang tulus untuk meminta maaf. Aku tiba saat matahari hampir tenggelam, dan suasana mulai tenang.
Aku duduk di depan makam besar itu, dan berdoa. Lalu aku berkata lirih, "Maafkan aku, Mbah. Aku datang dulu dengan niat buruk. Maafkan jika aku mengganggu."
Angin tiba-tiba bertiup kencang. Bunga melati yang kususun terbang begitu saja, tapi aku tidak lari. Aku tahu, dia mendengarku.
Sejak malam itu, mimpi buruk berhenti. Wawan tidak lagi kerasukan, dan Deni sudah bisa tidur nyenyak. Kami bertiga menganggap semua yang terjadi adalah pelajaran besar dalam hidup—bahwa dunia tak kasat mata itu nyata, dan tidak boleh disepelekan.
Dan jika suatu hari kamu berjalan di jalan setapak dekat kebun bambu itu, dan mendengar isak tangis perempuan di kejauhan, jangan pernah mencoba mencari sumber suaranya. Bisa jadi, itu bukan manusia.
Karena di malam yang sunyi, Mbah Rondo masih berjalan pelan di antara nisan, menunggu siapa lagi yang berani datang... untuk main-main di tempat peristirahatan terakhirnya.
Posting Komentar