Mereka Datang di Malam Jumat Kliwon
Kisah Horor: Mereka Datang di Malam Jumat Kliwon
Malam itu sunyi. Angin malam bertiup pelan, namun menggigit kulit. Di sebuah desa terpencil di Jawa Tengah, tepatnya di Desa Kendalrejo, Jumat Kliwon dianggap malam yang keramat. Warga biasanya memilih tidak keluar rumah, menutup jendela rapat-rapat, dan mematikan lampu lebih awal. Konon, pada malam itu, batas antara dunia nyata dan dunia gaib menjadi sangat tipis.
Andi, mahasiswa dari Jakarta, datang ke desa itu untuk melakukan penelitian tentang budaya mistis di pedesaan Jawa. Ia menginap di rumah Pak Darto, seorang warga tua yang dikenal sebagai juru kunci makam keramat di ujung desa.
“Kamu yakin mau jalan-jalan malam ini, Le?” tanya Pak Darto sambil mengelus jenggotnya yang sudah memutih.
Andi tersenyum. “Saya cuma ingin melihat suasana desa saat malam Jumat Kliwon, Pak. Siapa tahu dapat pengalaman menarik buat bahan penelitian.”
Pak Darto menarik napas panjang. “Hati-hati, Le. Banyak yang tak kasat mata berkeliaran. Mereka datang saat malam seperti ini.”
Andi hanya mengangguk, mengira itu sekadar nasihat dari orang tua yang masih memegang teguh kepercayaan lama.
Sekitar pukul sebelas malam, Andi keluar dari rumah. Ia membawa senter dan kamera. Jalanan desa gelap gulita. Tidak ada suara motor, hanya suara serangga malam dan sesekali anjing menggonggong dari kejauhan.
Ia berjalan ke arah makam tua yang sering disebut warga sebagai "Astana Keramat". Tempat itu diyakini sebagai petilasan tokoh leluhur yang dulu membuka desa Kendalrejo. Di sekitar makam, terdapat banyak pohon beringin besar yang daunnya bergoyang meski tak ada angin.
Saat sampai di gerbang makam, Andi berhenti. Di balik pagar kayu lapuk, ia melihat sosok wanita berdiri membelakanginya. Rambutnya panjang terurai, pakaiannya serba putih, dan tubuhnya sedikit melayang.
“Permisi, Bu…” sapa Andi dengan suara pelan.
Wanita itu tidak menoleh. Justru, dari arah belakangnya terdengar suara lain. Seperti orang tertawa cekikikan—namun lirih dan mengerikan. Andi menoleh, tak ada siapa-siapa. Ketika ia kembali melihat ke depan, sosok wanita itu sudah menghilang.
Andi mulai merasa merinding. Ia memutuskan untuk mengambil gambar makam dari kejauhan. Tapi saat kamera diangkat, layar menampilkan wajah pucat penuh darah tepat di depan lensa. Ia terkejut dan terjatuh ke tanah.
Tiba-tiba udara di sekitar berubah drastis menjadi dingin. Dari balik pohon beringin, muncul bayangan hitam tinggi besar, matanya merah menyala, dan tangannya panjang seperti ranting kering. Sosok itu melayang ke arah Andi.
Andi bangkit dan berlari sekuat tenaga. Napasnya terengah-engah. Jalanan desa yang tadi dikenalnya terasa berubah, seperti tak berujung. Ia terus berlari hingga melihat rumah Pak Darto. Saat hendak membuka pagar, seorang wanita tua tiba-tiba muncul di depannya.
“Mau ke mana kamu, Nak?” tanyanya dengan suara berat dan mata kosong.
Andi mundur selangkah. “Saya… saya mau masuk ke rumah Pak Darto…”
Wanita itu tertawa pelan, lalu menghilang menjadi asap hitam.
Dengan panik, Andi masuk ke rumah Pak Darto dan langsung mengunci pintu. Ia duduk terengah di lantai ruang tamu.
Pak Darto yang ternyata belum tidur, datang membawa lampu minyak. “Aku sudah bilang, Le. Mereka datang di malam Jumat Kliwon. Kau sudah melihatnya?”
Andi mengangguk pelan, wajahnya pucat pasi.
Keesokan paginya, Andi menunjukkan foto-foto yang sempat ia ambil. Anehnya, semua gambar berisi kabut tebal, dan salah satunya memperlihatkan sosok hitam besar berdiri di dekat makam dengan mata merah menyala. Foto itu membuat bulu kuduk merinding.
“Sosok itu disebut 'Wong Samar',” ujar Pak Darto sambil melihat foto itu. “Ia penjaga gerbang antara dunia gaib dan dunia manusia. Jika kau melihatnya, artinya kau telah melewati batas.”
Andi yang awalnya skeptis mulai percaya bahwa ada hal-hal yang tak bisa dijelaskan logika. Ia memutuskan untuk tidak keluar rumah setiap malam Jumat Kliwon selama sisa waktunya di desa itu.
Namun malam berikutnya, tepatnya Jumat Kliwon kedua setelah kedatangannya, kejadian lebih aneh kembali terjadi. Sekitar pukul dua dini hari, Andi terbangun karena mendengar suara ketukan di jendela.
Tok... Tok... Tok...
Suara itu berulang tiga kali. Perlahan-lahan, Andi mendekati jendela dan mengintip. Di luar, berdiri wanita yang sama dengan rambut panjang dan gaun putih. Namun kini wajahnya menghadap langsung ke arah Andi—mata kosong, mulut sobek lebar, dan darah mengalir dari hidungnya.
“Aaandiiiii… ikut aku…” bisik suara itu dari balik kaca.
Andi menjerit dan mundur. Pak Darto berlari ke kamarnya dengan membawa kitab kecil dan kemenyan.
“Kau harus membaca doa ini. Jangan lihat ke matanya!” teriak Pak Darto sambil meletakkan kitab itu di tangan Andi.
Malam itu menjadi malam terpanjang bagi Andi. Ia membaca doa dengan suara gemetar. Sosok di luar terus mengetuk jendela hingga adzan subuh berkumandang. Barulah suara itu menghilang.
Setelah kejadian itu, Andi memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta. Ia berpamitan pada Pak Darto dengan wajah lesu.
“Terima kasih, Pak. Saya rasa cukup penelitiannya. Saya tidak akan pernah lupakan apa yang saya alami di sini,” ucapnya.
Pak Darto hanya mengangguk. “Jangan lupa, Le… jangan pernah datang lagi ke Desa Kendalrejo saat malam Jumat Kliwon. Mereka akan selalu menunggumu.”
Andi tak menjawab. Ia masuk ke mobil sewaan dan segera pergi, meninggalkan desa itu di balik kabut pagi yang belum juga sirna.
Namun, kisah tidak berhenti di situ. Beberapa hari setelah kembali ke Jakarta, Andi mulai mengalami gangguan aneh di kosannya. Setiap malam Jumat Kliwon, ia mendengar suara ketukan di jendela kamarnya, sama seperti saat di desa.
Ia bahkan sempat merekam suara aneh tersebut, dan ketika diputarkan ke temannya, terdengar bisikan lirih perempuan berkata, “Kembali ke Kendalrejo…”
Andi mulai merasa terganggu secara mental. Ia sulit tidur, sering mimpi buruk, dan merasa seperti selalu diawasi. Pada suatu malam, ia mendapati tulisan di cermin kamar mandi: **“Kamu sudah milik kami.”**
Karena ketakutan, Andi menemui seorang paranormal bernama Mbah Suro, yang direkomendasikan oleh salah satu dosennya.
Setelah mendengarkan ceritanya, Mbah Suro berkata, “Kamu telah membuka gerbang yang seharusnya tidak dibuka. Sosok yang mengikuti kamu itu bukan sembarang arwah. Ia tertarik pada jiwamu.”
Andi terdiam. Wajahnya pucat. “Lalu… saya harus bagaimana, Mbah?”
“Kamu harus kembali ke Kendalrejo. Tutup gerbang itu. Datangi makam tempat kau pertama kali melihat mereka. Lakukan ritual permintaan maaf dan pemutusan ikatan,” jawab Mbah Suro sambil menyalakan dupa.
Meski takut, Andi akhirnya kembali ke Kendalrejo. Kali ini ia tidak sendiri. Ia ditemani Mbah Suro dan dua asisten spiritual.
Mereka tiba pada malam Jumat Kliwon. Di bawah sinar bulan pucat, mereka berjalan menuju Astana Keramat. Di sana, Mbah Suro memulai ritual dengan menaburkan bunga tujuh rupa dan membaca mantra dalam bahasa Jawa kuno.
Saat ritual berlangsung, angin bertiup kencang. Daun-daun berputar, dan dari dalam makam terdengar suara tangis perempuan dan derap langkah kaki seperti puluhan orang berjalan mengelilingi mereka.
Mbah Suro berteriak, “Jangan goyah! Tetap baca doanya, Andi!”
Andi menutup mata dan membaca doa yang telah diberikan. Tubuhnya gemetar, keringat dingin membasahi wajahnya.
Seketika itu juga, suara-suara aneh menghilang. Angin berhenti, dan suasana kembali sunyi.
Mbah Suro tersenyum. “Gerbangnya sudah tertutup. Tapi ingat, jangan pernah mencoba membuka lagi. Dunia mereka bukan tempat kita.”
Sejak hari itu, hidup Andi perlahan kembali normal. Tak ada lagi ketukan di jendela, tak ada bisikan, tak ada mimpi buruk.
Namun, hingga kini, setiap malam Jumat Kliwon, ia selalu menyalakan dupa dan membaca doa. Ia tahu, walaupun gerbang telah tertutup, mereka masih ada. Menunggu… siapa pun yang berani melintasi batas.
Posting Komentar