Mereka Datang Saat Kau Lengah
Mereka Datang Saat Kau Lengah - Cerita Horor Indonesia
Desa Lenggang, sebuah dusun terpencil di lereng Gunung Salak, Jawa Barat, dikenal tenang dan damai. Namun, di balik keindahan alamnya, tersembunyi cerita yang membuat bulu kuduk berdiri. Cerita tentang mereka yang datang saat manusia lengah—saat lampu padam, saat doa tak terucap, saat hati mulai kosong.
Rina, seorang mahasiswi arkeologi, datang ke desa itu bersama tiga temannya: Edo, Lusi, dan Raka. Mereka hendak melakukan penelitian tentang situs batu tua yang baru ditemukan di dekat hutan larangan desa. Meski sudah diperingatkan oleh warga setempat, rasa penasaran membuat mereka mengabaikan segala larangan.
"Cuma batu tua," ujar Edo. "Apa yang bisa terjadi, sih?"
"Kadang justru yang kelihatan tak berbahaya itulah yang paling berbahaya," timpal Rina sambil mengamati ukiran samar di permukaan batu tersebut. Ukiran itu tak dikenal dalam katalog simbol-simbol kuno Jawa manapun.
Malam pertama mereka bermalam di rumah panggung milik seorang warga, segalanya berjalan normal. Tapi mulai malam kedua, suara-suara mulai muncul. Bisikan lirih di dekat telinga, walau tak ada siapa-siapa. Lantai rumah berderit sendiri meski tak ada yang berjalan.
"Apa kau dengar itu?" tanya Lusi malam itu, saat mereka sedang merekam dokumentasi di sekitar situs batu.
"Dengar apa?" balas Raka, sambil tetap menyalakan senter ke arah semak-semak.
"Seperti... suara bisikan. Banyak, saling tumpang tindih," ucap Lusi dengan suara gemetar.
Edo tertawa kecil. "Paling cuma suara angin atau binatang malam."
Namun Rina memperhatikan. Ia merasa udara malam itu menjadi jauh lebih dingin. Aroma anyir tiba-tiba tercium, seperti bau darah dan tanah basah. Ia menggenggam erat liontin pemberian neneknya, sesuatu yang ia bawa hanya sebagai kenang-kenangan, tapi kini terasa seperti satu-satunya pelindung.
Malam itu, di rumah penginapan, kejadian aneh mulai terjadi. Raka yang sedang mandi, tiba-tiba berteriak histeris. Semua berlari ke kamar mandi dan mendapati dia terduduk di lantai, tubuhnya menggigil.
"Dia... di cermin... dia menatapku," kata Raka terbata-bata.
"Siapa?" tanya Rina.
"Perempuan. Rambut panjang, matanya hitam pekat. Dia berdiri tepat di belakangku... tapi waktu aku menoleh, dia tak ada."
Keesokan paginya, mereka didatangi Pak Darto, warga tertua di desa. Ia membawa kain putih yang sudah menguning.
"Kalian sudah mengusik batu larangan itu. Mereka sudah bangkit. Dulu, tempat itu adalah tempat pengorbanan. Siapa pun yang mengganggunya, akan diburu oleh para 'penjaga'."
"Penjaga?" tanya Rina.
"Makhluk dari alam lain. Mereka datang saat kau lengah. Bukan saat kau menantang mereka, tapi saat kau lemah. Saat kau lengah, mereka masuk, menempel, lalu mengambil."
Pak Darto menyarankan mereka pergi sebelum matahari terbenam. Tapi mereka bersikeras bertahan satu malam lagi, demi dokumentasi terakhir. Sebuah keputusan yang akan mereka sesali selamanya.
Malam itu, listrik desa padam. Senter yang mereka bawa satu per satu kehilangan tenaga. Gelap total menyelimuti rumah panggung.
“Rina... RinAAA... kamu lihat aku?”
Rina menoleh ke jendela. Di luar, siluet perempuan berdiri dengan kepala miring dan rambut menjuntai hingga tanah. Matanya hitam pekat tanpa bola mata, seperti lubang hitam yang menarik jiwanya masuk.
Raka tiba-tiba menghilang. Saat mereka mencarinya, hanya ditemukan bekas telapak kaki yang tertinggal dari kamar hingga ke sumur belakang. Tak ada suara, tak ada jejak darah. Hanya hening dan aroma busuk menyengat.
"Kita harus pergi!" jerit Edo.
Mereka mencoba keluar dari desa, tapi jalan satu-satunya tampak seperti tak berujung. Tiap kali mereka melewati jembatan kecil, mereka kembali ke rumah penginapan.
"Kita... terjebak," gumam Lusi sambil menangis. "Ini bukan dunia kita lagi."
Ketika fajar mulai menyingsing, Lusi ditemukan terduduk di pojok ruangan, tubuhnya kaku, mata melotot ke langit-langit. Mulutnya terbuka seperti menjerit, tapi tak ada suara yang keluar. Mereka tak bisa menyadarkannya.
Hanya tinggal Rina dan Edo. Mereka menyusun rencana untuk kembali ke situs batu dan mengembalikan sesuatu yang telah mereka ambil: pecahan kecil batu yang mereka ambil sebagai sampel.
"Mungkin ini sumbernya. Kita harus mengembalikannya," ucap Rina dengan suara gemetar.
Mereka kembali ke situs, dan suasana berubah drastis. Langit gelap meski matahari sudah tinggi. Suara seperti rintihan terdengar dari bawah tanah. Saat mereka meletakkan batu itu kembali di tempatnya, tanah bergetar pelan.
"Sudah... selesai?" tanya Edo.
Tiba-tiba, sosok hitam pekat muncul dari balik pepohonan. Tubuhnya tinggi, matanya menyala merah. Sosok itu bergerak cepat, melayang, bukan berjalan. Edo menarik tangan Rina dan berlari, tapi suara jeritan lelaki itu menggema di udara. Rina menoleh, dan melihat Edo terseret ke dalam kabut hitam, tubuhnya lenyap tanpa jejak.
Rina tak ingat bagaimana ia bisa sampai di tepi desa. Saat warga menemukannya, tubuhnya kotor dan matanya kosong. Mulutnya hanya mengucapkan satu kalimat berulang-ulang:
"Mereka datang saat kau lengah... Mereka datang saat kau lengah..."
Semenjak itu, Desa Lenggang menutup akses ke situs batu tersebut. Warga melarang siapa pun mendekat. Tapi tak semua percaya. Beberapa pendaki tetap mencoba masuk ke wilayah itu.
Beberapa kembali dengan cerita aneh: mereka merasa diikuti saat berjalan di hutan. Ada yang mengaku melihat perempuan berdiri diam menatap mereka di kejauhan. Bahkan ada yang menemukan batu kecil dengan ukiran tak dikenal di dalam tenda mereka—padahal mereka tak pernah mengambil apapun.
Ada seorang vlogger bernama Kevin yang mencoba menelusuri kisah ini dan merekam videonya di hutan dekat desa. Tapi hanya video awal yang ditemukan. Dalam rekaman terakhir, Kevin tersenyum ke kamera dan berkata, "Aku merasa seperti... dia sedang menatapku sekarang."
Lalu layar gelap. Tak ada video lanjutan. Kevin tak pernah kembali.
Sebuah legenda kini hidup di antara penduduk lokal. Mereka percaya bahwa saat malam sunyi dan hati manusia mulai lengah, para penjaga itu akan kembali. Bukan hanya di Desa Lenggang. Tapi di tempat mana pun di mana ada yang berani mengusik batas antara dunia manusia dan yang tak terlihat.
Rina kini tinggal di panti rehabilitasi. Setiap malam ia masih berbicara dengan sosok yang tak terlihat. Tangannya sering menunjuk sudut ruangan sambil berkata, "Dia di sana... dia melihatku lagi."
Para suster kadang mendengar suara langkah kaki dari kamar Rina, meski tak ada siapa pun di dalamnya. Dan pada malam-malam tertentu, listrik panti padam seketika, hanya di kamarnya saja.
Dan saat itulah, terdengar gumaman lirih dari balik pintu:
"Aku datang... saat kau lengah..."
Mereka kembali ke situs, dan suasana berubah drastis. Langit gelap meski matahari sudah tinggi. Suara seperti rintihan terdengar dari bawah tanah. Saat mereka meletakkan batu itu kembali di tempatnya, tanah bergetar pelan.
"Sudah... selesai?" tanya Edo dengan napas memburu, keringat dingin membasahi pelipisnya meski udara begitu dingin.
Rina memejamkan mata. "Entah... rasanya belum."
Suara langkah kaki mendekat, berat dan menyeret. Dari balik pepohonan, sosok hitam pekat muncul. Tubuhnya tinggi, lebih dari dua meter. Kulitnya seperti arang terbakar. Matanya menyala merah membara, tanpa bola mata.
"Edo..." bisik Rina dengan suara bergetar. "Itu... bukan manusia."
Sosok itu berhenti tepat lima meter di depan mereka. Tiba-tiba ia membuka mulutnya, dan suara-suara dari dalamnya terdengar—bukan satu, tapi banyak, seolah seluruh arwah yang tersiksa berbicara bersamaan.
"Ka-mu... gang-gu... ka-mi..."
Edo mundur satu langkah, lalu berteriak, "Kita cuma ingin mengembalikan apa yang kita ambil! Kami tidak tahu!"
Sosok itu bergerak cepat. Ia melayang, bukan berjalan. Dalam sekejap, dia tepat di depan Edo. Tangannya yang besar terangkat, mengarah ke wajahnya.
"EDO, LARI!!!" teriak Rina.
Tapi sudah terlambat. Sosok itu menyentuh dahi Edo dengan satu jari. Tubuh Edo langsung kejang, matanya membalik ke atas, dan dari mulutnya keluar kabut hitam tebal yang berputar-putar lalu masuk ke tubuh makhluk itu.
“RAAAAAAAAGHHHH!!!” Edo menjerit, suara manusia terakhir yang keluar dari dirinya. Setelah itu, tubuhnya ambruk, dan lenyap diselimuti kabut.
“TIDAAAAAAAKKK!!” Rina berteriak, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Ia berbalik dan berlari sekuat tenaga, tanpa menoleh ke belakang. Di telinganya, bisikan-bisikan mengikutinya seperti gema: “Kau berikutnya... kau berikutnya...”
Hutan seperti menutup jalan keluar, ranting dan akar muncul seolah hidup, menjulur dan hampir mencengkeram kakinya. Tapi Rina terus berlari, menabrak semak, luka di wajah dan tangan tak ia hiraukan.
Di kejauhan, suara perempuan tertawa kecil terdengar. Halus, namun tajam seperti jarum yang menyusup ke dalam kepala.
“Rinaaaa... kenapa lari? Aku sudah di dalam hatimu...”
“Diam... DIAM!!!” Rina menjerit histeris sambil menutup telinganya, tapi suara itu justru semakin nyaring.
“Saat kau lengah... aku datang... saat kau lupa... aku tinggal...”
Posting Komentar