Misteri Gunung Salak, Bogor
Teror Mistis di Lereng Gunung Salak
Gunung Salak di Bogor dikenal bukan hanya karena keindahan alamnya, tapi juga karena cerita-cerita mistis yang menyelimutinya. Dari pesawat jatuh hingga pendaki hilang tanpa jejak, gunung ini menyimpan banyak misteri yang belum terpecahkan. Cerita ini merupakan pengalaman fiksi berdasarkan kisah-kisah urban yang berkembang di sekitar kawasan tersebut.
Namaku Rian, seorang fotografer alam yang hobi mendaki gunung. Suatu akhir pekan, aku dan tiga temanku—Dimas, Icha, dan Gita—memutuskan mendaki Gunung Salak lewat jalur Cidahu. Kami ingin mengambil gambar sunrise dari atas puncak, serta menguji kamera drone baruku.
“Yakin mau naik Gunung Salak? Katanya angker, bro,” ucap Dimas saat kami bersiap.
“Ah, itu cuma cerita. Yang penting kita hati-hati dan jangan sompral,” jawabku sambil memeriksa perlengkapan.
Kami mulai pendakian pagi hari. Udara masih segar, dan jalur cukup menantang tapi bisa dinikmati. Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan seorang pendaki tua yang memberi kami peringatan.
“Kalau sudah masuk ke Pos 3, jangan belok kiri di pertigaan besar. Banyak yang tersesat ke sana,” katanya sambil menatap kami satu per satu.
“Kenapa, Pak?” tanya Gita.
“Karena itu bukan jalur manusia...”
Kami tertawa kecil, mengira beliau hanya ingin menakut-nakuti. Setelah beristirahat di Pos 2, kami lanjutkan perjalanan hingga sore mulai menyelimuti hutan. Di sinilah hal aneh mulai terjadi.
Sesampainya di Pos 3, Dimas—yang berjalan paling depan—berhenti mendadak.
“Eh, jalannya dua nih. Kiri atau kanan?”
“Tadi kata bapak-bapak itu jangan kiri,” ucap Gita mengingatkan.
Namun Dimas menunjuk jejak tanah yang terlihat lebih sering dilewati ke arah kiri. “Tapi jalur kiri ini kayaknya lebih sering dilalui. Kita coba aja, toh nanti kalau salah, kita bisa balik.”
Aku merasa ragu, tapi karena semuanya sepakat, kami mengikuti jalur kiri. Jalannya makin sempit, ditutupi semak, dan hutan semakin rapat. Suasana mendadak lebih dingin dan sunyi, seperti suara alam menghilang perlahan.
Langit mulai gelap, padahal waktu baru menunjukkan pukul lima sore. Kabut turun perlahan, dan pandangan jadi terbatas. Kami memutuskan berhenti dan membuka tenda kecil untuk bermalam karena tak memungkinkan melanjutkan perjalanan.
Saat malam tiba, kejadian aneh pertama terjadi. Kami mendengar suara orang berjalan di luar tenda.
“Rian, itu kamu?” bisik Dimas yang berbagi tenda denganku.
“Bukan. Aku di sini. Kamu dengar juga?”
Suara itu berputar mengelilingi tenda. Kadang terdengar tawa kecil, kadang seperti orang berbisik dalam bahasa yang tidak kami mengerti. Kami membeku, tidak berani keluar hingga suara itu hilang menjelang tengah malam.
Keesokan paginya, kami dikejutkan oleh penemuan aneh. Di depan tenda, ada jejak kaki telanjang... kecil, seperti kaki anak-anak. Tapi yang aneh, hanya ada jejak masuk—tidak ada jejak keluar.
“Kita harus turun sekarang juga,” ucapku tegas. “Ada yang nggak beres.”
Kami segera berkemas dan mencoba menyusuri jalur kembali. Namun anehnya, jalur yang kami lewati kemarin tak lagi sama. Kami berputar-putar, kembali ke tempat yang sama tiga kali. Seolah kami terjebak dalam lingkaran yang tak terlihat.
“Ini... kita disasarin,” ucap Icha dengan wajah pucat.
Hari itu menjadi semakin mencekam. Dimas tiba-tiba menghilang saat kami berhenti istirahat. Padahal barusan ia masih duduk bersama kami. Kami memanggil-manggil namanya, tapi hanya gema suara kami sendiri yang terdengar.
“Kita harus cari dia!” jerit Gita, panik.
Namun setiap kali kami mencoba mencari, suara-suara aneh makin sering muncul. Ada yang tertawa, menangis, bahkan menyebut nama kami dari balik pohon. Saat malam kedua tiba, hanya aku, Icha, dan Gita yang tersisa di tenda. Kami berpegangan tangan sambil membaca doa dalam hati. Lampu senter kami tiba-tiba padam serentak, dan muncul bayangan putih berjalan perlahan di kejauhan.
“Jangan dilihat, tutup mata kalian!” seruku panik.
Pagi harinya, kami ditemukan oleh tim SAR yang sedang melakukan pencarian pendaki lain. Kami ternyata sudah tiga hari menghilang dari jalur resmi. Padahal menurut kami, itu baru hari kedua.
“Kalian beruntung bisa ditemukan. Banyak yang nggak balik dari jalur itu,” ucap salah satu tim SAR sambil menggelengkan kepala.
Dimas tak pernah ditemukan. Bahkan anehnya, saat ditanya, tim SAR tak menemukan jejak keberadaan Dimas dalam data registrasi awal. Seolah ia tak pernah ikut mendaki bersama kami.
Gita mengalami gangguan mental dan memilih tinggal bersama keluarganya di desa. Icha berhenti mendaki gunung dan kini lebih religius. Sementara aku, masih menyimpan kamera dengan foto-foto kabur yang kuambil malam itu—salah satunya menunjukkan sosok putih berdiri di belakang pohon, memandang langsung ke arah lensa.
Dua minggu setelah kejadian itu, aku nekat kembali ke kaki Gunung Salak untuk mencari jawaban. Aku menemui seorang tokoh spiritual di kaki gunung bernama Mbah Surya, seorang sesepuh yang dipercaya memiliki pengetahuan tentang alam halus di kawasan itu.
“Anak muda... jalur yang kau lewati adalah jalur para penunggu. Itu wilayah mereka,” kata Mbah Surya sembari membakar kemenyan. “Banyak yang masuk ke sana, tapi tak semua bisa pulang.”
“Apakah temanku masih hidup?” tanyaku dengan suara bergetar.
“Jiwanya mungkin masih di sana. Tapi tubuhnya sudah dikuasai oleh mereka. Dia telah menjadi bagian dari alam itu.”
Aku meminta bantuan Mbah Surya untuk melakukan ritual pemanggilan arwah, berharap bisa berkomunikasi dengan Dimas. Malam itu, kami melakukannya di salah satu pos pendakian lama yang sudah tidak digunakan. Bau dupa dan bunga tujuh rupa memenuhi udara.
Ketika malam semakin larut, tiba-tiba angin berhenti berhembus. Api lilin padam sendiri. Dari dalam hutan, terdengar suara langkah kaki mendekat... pelan, tapi pasti. Bayangan hitam tinggi muncul di balik pepohonan, lalu suara Dimas terdengar samar.
“Rian... aku tidak bisa kembali... mereka sudah mengambil aku.”
Wajahnya muncul samar dalam asap dupa. Mata hitam pekat dan kulit pucat. Dia tampak tersiksa, tapi tak bisa melawan.
“Pergilah... jangan ganggu mereka lagi. Jangan cari aku.”
Setelah itu, asap menghilang dan suasana kembali hening. Mbah Surya menghela napas panjang.
“Kau sudah mendapat jawaban. Jangan ulangi lagi masuk jalur itu, apalagi tanpa izin,” katanya tegas.
Sejak saat itu, aku tak pernah lagi mendaki gunung. Setiap kali melihat Gunung Salak dari kejauhan, aku hanya bisa berdoa untuk Dimas. Ia mungkin telah menjadi bagian dari alam gaib di gunung itu—menjaga, mengamati, dan mungkin memperingatkan mereka yang sombong masuk ke dunia yang bukan miliknya.
Gunung Salak memang indah. Tapi tak semua jalannya bisa dilalui dengan sembarangan. Ada jalur yang diciptakan bukan untuk manusia, dan ada tempat yang hanya bisa dikunjungi sekali... tanpa jalan pulang.
Posting Komentar