Misteri Jenglot: Makhluk Kecil Berambut Panjang
Misteri Jenglot: Makhluk Kecil Berambut Panjang yang Menghantui Desa Gunung Kidul
Gunung Kidul, Yogyakarta, dikenal dengan keindahan gua dan pantainya. Namun, di balik panorama alam itu, tersimpan kisah horor yang jarang terungkap: misteri jenglot, makhluk kecil berambut panjang yang konon membawa kutukan. Kisah ini bermula dari seorang pemuda bernama Rian yang penasaran dengan benda aneh yang ditemukan di sebuah goa tersembunyi.
“Mas, kamu yakin mau masuk ke Goa Siluman ini? Katanya dulu tempat pemujaan,” tanya Dito, sahabat Rian, sambil memegang senter yang mulai redup cahayanya.
Rian hanya tersenyum, “Justru itu yang bikin menarik. Kalau cuma goa biasa, nggak seru dong.”
Mereka berdua sudah menyiapkan perlengkapan sejak pagi. Goa Siluman adalah tempat terlarang yang jarang dikunjungi warga setempat karena dipercaya angker. Tapi rasa penasaran Rian jauh lebih besar daripada ketakutannya.
Langkah demi langkah, mereka menyusuri lorong goa yang lembap dan dingin. Di dalamnya, udara seperti berhenti bergerak. Suasana sunyi membuat jantung mereka berdetak cepat. Beberapa kelelawar beterbangan, membuat Dito sedikit terlonjak.
Setelah hampir satu jam menelusuri goa, mereka menemukan sebuah celah kecil yang tersembunyi di balik batu besar. Di sanalah mereka menemukan sesuatu yang tidak mereka duga.
“Eh, itu apa?” Rian menunjuk ke arah kotak kayu kecil yang tampak tua dan penuh debu. Di atasnya, ada simbol aneh yang terukir.
“Jangan disentuh, Mas. Bisa jadi itu barang mistis,” kata Dito setengah berbisik, matanya tidak lepas dari kotak itu.
Namun Rian mengabaikan peringatan itu. Dengan hati-hati, ia membuka kotak tersebut. Di dalamnya, terbaring sesosok makhluk kecil, kira-kira sepanjang 20 cm, tubuhnya kering, kulitnya seperti mumi, dan rambutnya panjang hingga menyentuh dasar kotak. Matanya tertutup rapat, dan giginya terlihat mencuat ke depan.
“Ini... jenglot?” Rian bergumam penuh kekaguman.
Tanpa memikirkan akibatnya, ia membawa kotak itu pulang. Sejak saat itu, kejadian aneh mulai terjadi di rumahnya. Malam pertama, suara ketukan terdengar dari arah lemari tempat jenglot disimpan.
“Tok… tok… tok…”
Rian yang sedang tidur terbangun. Ia membuka lemari dan melihat kotak itu tetap tertutup. Tapi udara di kamar terasa dingin, padahal jendela tertutup rapat.
Keesokan harinya, ibunya menemukan ayam peliharaan mati dengan kondisi aneh. Darahnya seolah habis terkuras.
“Rian! Ayam-ayam kita mati semua! Ini pasti gara-gara barang aneh yang kamu bawa itu!” teriak ibunya panik.
Rian mulai merasa bersalah, tapi masih menolak percaya bahwa jenglot itu penyebabnya.
Namun malam berikutnya, bayangan hitam mulai terlihat di pojok kamarnya. Jenglot yang awalnya diam, kini kadang berpindah tempat sendiri. Rambutnya tampak lebih panjang dan seperti bergerak pelan-pelan meski tidak ada angin.
“Aku harus kembalikan benda itu ke goa,” gumam Rian sambil gemetar.
Tapi Dito menolaknya, “Jangan, Mas! Kalau kamu kembalikan tanpa ritual, bisa jadi malah makin marah.”
Mereka lalu menemui seorang dukun tua bernama Mbah Wiryo, yang tinggal di pinggir desa. Ketika melihat jenglot itu, Mbah Wiryo langsung memalingkan wajahnya.
“Kalian sudah mengganggu penjaga gaib. Jenglot itu bukan sekadar benda mati. Ia diberi roh oleh seseorang di masa lalu untuk tujuan yang kelam,” kata Mbah Wiryo dengan suara berat.
“Apa yang harus kami lakukan, Mbah?” tanya Rian ketakutan.
“Kalian harus mengembalikannya ke tempat asalnya. Tapi sebelum itu, harus dilakukan pemurnian. Kalau tidak, ia akan menuntut darah.”
Malam itu juga, ritual dilakukan. Asap kemenyan memenuhi ruangan, dan jenglot diletakkan di tengah lingkaran garam dan bunga melati. Mbah Wiryo membaca mantra-mantra kuno dalam bahasa Jawa.
Ketika mantra mencapai puncaknya, jenglot tiba-tiba membuka matanya. Matanya merah menyala dan tubuhnya bergetar hebat. Bunga-bunga di sekelilingnya layu seketika, dan cahaya lampu padam sendiri.
“Jangan bergerak!” teriak Mbah Wiryo.
Tiba-tiba, jenglot melompat ke arah Dito, mencakar pipinya hingga berdarah. Dito berteriak kesakitan. Mbah Wiryo segera menaburkan garam ke arah jenglot, membuat makhluk itu jatuh dan mengerang seperti terbakar.
“Sekarang! Bawa dia kembali ke goa sebelum fajar!”
Dengan luka di wajah dan tubuh gemetar, mereka kembali ke Goa Siluman. Kali ini, suasananya jauh lebih mencekam. Angin bertiup kencang di dalam lorong, dan bisikan-bisikan gaib terdengar di telinga mereka.
Ketika sampai di celah batu, Rian meletakkan kotak itu kembali. Begitu jenglot menyentuh tanah tempat ia ditemukan, suara jeritan melengking memenuhi ruangan dan lalu... hening.
Udara menjadi tenang kembali. Tidak ada angin, tidak ada suara. Seolah waktu berhenti. Mereka buru-buru keluar dari goa tanpa menoleh ke belakang.
Setelah kejadian itu, hidup Rian dan Dito tak lagi sama. Bekas cakaran di wajah Dito tidak pernah hilang. Dan Rian, setiap malam masih mendengar suara ketukan di kamarnya. Tapi setiap ia buka, tidak ada siapa-siapa.
“Kadang, yang kita kira benda mati... punya roh yang lebih gelap dari bayangan kita sendiri,” kata Mbah Wiryo suatu hari.
Beberapa minggu setelah kejadian itu, warga desa mulai bercerita bahwa mereka melihat bayangan kecil melintas di pekarangan rumah. Anak-anak menangis tanpa sebab di malam hari. Beberapa bahkan mengaku melihat sosok menyerupai jenglot duduk di atas atap rumah mereka.
Desas-desus berkembang cepat. Cerita tentang jenglot menyebar ke desa tetangga. Seorang paranormal dari luar kota datang untuk menyelidiki, tapi malam pertama ia menginap, ia ditemukan pagi harinya dalam kondisi linglung, dengan mata melotot dan mulut menggumam kata-kata tak jelas.
“Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Tempat itu, goa itu... harus ditutup,” katanya sambil meninggalkan desa tanpa pamit.
Pemerintah desa akhirnya memutuskan menutup Goa Siluman secara permanen dengan menutup pintu masuknya menggunakan beton dan kawat berduri. Namun, seminggu setelahnya, tanda-tanda mistis justru makin meningkat. Banyak warga mimpi buruk yang sama: didatangi makhluk kecil berambut panjang yang meminta darah.
Rian, yang merasa bersalah, akhirnya kembali menemui Mbah Wiryo.
“Mbah... kenapa semuanya jadi makin parah?”
“Karena jenglot itu sudah terikat dengan energi kehidupan. Ia haus, dan akan terus haus. Penutup fisik tidak akan menahan makhluk seperti itu. Kau harus menebus perjanjian yang tak pernah kau buat tapi sudah kau langgar,” jawab Mbah Wiryo dengan tatapan kosong.
“Lalu apa yang harus saya lakukan?”
“Kamu harus menjadi penjaga baru. Setiap malam bulan mati, kamu harus menaruh sesajen: darah ayam hitam, bunga kantil, dan minyak cendana, di depan batu tempat jenglot itu dikubur. Jika tidak... dia akan keluar mencarinya sendiri.”
Rian tak punya pilihan lain. Sejak hari itu, ia menjalani ritual aneh itu sendiri, diam-diam. Hidupnya berubah menjadi penuh ketakutan dan penyesalan. Ia menjauh dari teman-temannya, termasuk Dito yang memutuskan pindah ke luar kota karena trauma.
Kini, bertahun-tahun telah berlalu. Goa Siluman masih tertutup, tapi warga tahu, rahasia kelam di balik beton itu belum benar-benar hilang. Jenglot masih di sana... menunggu. Dan Rian, sang penjaga, masih hidup dalam bayang-bayang rasa bersalah dan ketakutan abadi.
Jika suatu malam kamu berjalan melewati desa kecil di Gunung Kidul dan mendengar suara ketukan dari balik tanah... jangan berhenti. Jangan lihat ke belakang. Bisa jadi... itu jenglot yang akhirnya lepas dari kurungannya.
Posting Komentar