Ritual Terlarang: Membuka Gerbang Gaib
Ritual Terlarang Membuka Gerbang Gaib: Awal yang Penuh Rasa Ingin Tahu
Desa Cibungur, yang terletak di pinggiran hutan lebat Jawa Barat, menyimpan kisah kelam yang jarang dibicarakan. Konon, di dalam hutan itu terdapat sebuah tempat pemujaan kuno yang dipercaya mampu membuka gerbang ke alam gaib. Tempat itu disebut warga sebagai "Petilasan Kanjeng Wesi".
Dua sahabat, Raka dan Dimas, mahasiswa dari Bandung yang sedang mengerjakan skripsi tentang budaya mistik Nusantara, memutuskan untuk mengunjungi desa tersebut. Mereka tertarik pada cerita tentang ritual yang bisa menghubungkan manusia dengan makhluk tak kasat mata.
"Lo yakin kita harus ke sana, Rak?" tanya Dimas dengan nada ragu. "Orang-orang bilang tempat itu angker, dan gak semua bisa balik selamat."
Raka mengangguk mantap. "Justru itu yang bikin skripsi kita beda. Kita bukan cuma nyari teori, tapi pengalaman langsung. Tenang aja, gue udah minta izin kepala desa."
Petilasan yang Terlupakan
Malam itu, dengan ditemani seorang pemandu lokal bernama Mang Komar, mereka memasuki hutan. Jalan setapak yang mereka lalui tertutup kabut tipis dan diiringi suara serangga malam yang membuat bulu kuduk merinding.
"Petilasan ini udah ratusan tahun nggak dipakai," bisik Mang Komar. "Tapi katanya, kalau ada yang berani melakukan ritualnya, gerbang ke alam lain bisa terbuka. Tapi ingat, jangan sembarangan baca mantra."
Setelah berjalan hampir dua jam, mereka sampai di sebuah tempat terbuka yang dikelilingi batu-batu besar dengan ukiran kuno. Di tengahnya terdapat lingkaran tanah merah, tampak seperti bekas api unggun, dan di sampingnya ada naskah tua berbahasa Jawa kuno.
Raka menatap naskah itu penuh minat. "Ini dia... Mantranya tertulis di sini."
Dimas menelan ludah. "Gak usah dibaca, Rak. Kita cukup dokumentasiin aja."
Namun rasa penasaran Raka lebih besar dari rasa takutnya. Ia mulai membaca mantra dalam naskah itu dengan suara pelan tapi jelas.
Gerbang yang Terbuka
Begitu mantra selesai dibacakan, angin kencang tiba-tiba bertiup dari segala arah. Api menyala sendiri di tengah lingkaran tanah, dan udara menjadi berat, seperti ada tekanan dari langit.
Mang Komar berteriak, "Astaghfirullah! Anak muda, lo udah buka sesuatu yang nggak seharusnya!"
Tiba-tiba, dari tengah api muncul sosok bayangan tinggi besar, bermata merah menyala. Sosok itu melayang di udara dan mengeluarkan suara raungan yang membuat jantung hampir copot.
"SIAPA YANG MEMANGGILKU?!"
Raka mundur ketakutan, suaranya bergetar. "K-kami hanya ingin tahu... Apakah gerbang itu nyata..."
Bayangan itu tertawa, suara tawa yang menggema hingga ke dasar tulang. "Kalian telah memanggilku... dan kalian harus membayar harganya!"
Pertarungan dengan Makhluk Gaib
Mang Komar segera mengambil kantong kecil dari sabuknya, lalu melemparkan sesuatu ke arah bayangan itu. Asap putih menyebar dan membuat makhluk itu mundur beberapa langkah.
"Kita harus menutup gerbang ini sekarang juga!" teriak Mang Komar. "Cepat baca mantranya dari belakang!"
Dimas membantu Raka membuka naskah dan membaca mantra dengan terbalik. Suara mereka menggema bersamaan dengan makhluk itu yang semakin meronta marah.
Tanah berguncang hebat, pepohonan bergoyang, dan lingkaran api mulai menghilang sedikit demi sedikit. Tapi makhluk itu sempat menjulurkan tangannya dan mencakar dada Raka hingga berdarah.
Akhirnya, gerbang gaib tertutup dengan dentuman keras. Makhluk itu menghilang, dan hutan kembali sunyi seperti semula. Raka tergeletak dengan luka dalam, wajahnya pucat.
Harga dari Keingintahuan
Mereka kembali ke desa dengan bantuan Mang Komar. Raka dirawat oleh dukun kampung selama tiga hari tiga malam tanpa sadar. Setelah sadar, ia tidak lagi bisa berbicara. Dukun berkata, "Rohnya disentuh oleh makhluk dari dimensi lain. Suaranya telah diambil sebagai tumbal."
Dimas berhenti menulis skripsi tentang mistik. Ia memilih topik lain dan meninggalkan semua riset lamanya. Namun ia menyimpan satu naskah penting — naskah ritual kuno itu — di dalam laci terkunci.
Setiap malam, Dimas mendengar suara Raka memanggil dari dalam mimpinya. Tapi suaranya bukan lagi suara manusia.
Kembalinya Bayangan Lama
Beberapa bulan kemudian, keanehan mulai terjadi di Desa Cibungur. Warga mengeluhkan suara-suara aneh dari dalam hutan. Beberapa hewan ternak ditemukan mati dengan luka-luka yang tidak bisa dijelaskan secara logis.
"Seperti bekas cakar, tapi besar sekali," ujar salah satu warga. "Dan malam-malam sering ada yang teriak, tapi bukan suara manusia."
Mang Komar mendatangi rumah Dimas yang kembali berkunjung ke desa. "Gerbang itu memang tertutup, tapi tidak sempurna. Kalau tidak disegel dengan benar, dia bisa terbuka lagi sedikit demi sedikit."
Dimas hanya menatap kosong. "Raka masih muncul dalam mimpi. Kadang... aku rasa dia minta aku buka gerbang itu lagi."
Pengaruh dari Alam Lain
Semakin hari, Dimas terlihat berubah. Ia sering termenung, matanya cekung, dan tubuhnya kurus. Kadang ia berbicara sendiri dengan bahasa yang tidak dikenal. Warga mulai takut padanya.
Suatu malam, Dimas menghilang. Naskah kuno itu ikut lenyap dari tempat penyimpanannya. Keesokan harinya, terdengar ledakan kecil dari dalam hutan. Warga melihat langit di atas Petilasan Kanjeng Wesi berwarna merah darah.
Mang Komar dan beberapa pemuda desa yang berani masuk hutan menemukan lingkaran ritual telah dibuka kembali. Tapi Dimas tidak ditemukan. Hanya ada sepasang jejak kaki yang membakar tanah tempat ia berdiri.
Warisan Kegelapan
Petilasan Kanjeng Wesi kini dijaga ketat oleh warga desa. Ritual penutupan dilakukan kembali oleh para spiritualis dari luar daerah. Namun luka yang ditinggalkan tidak mudah disembuhkan.
Raka, yang masih hidup tapi bisu dan kerap melamun, kini tinggal di padepokan. Kadang-kadang ia menggambar simbol-simbol aneh di dinding, sama seperti ukiran di batu-batu petilasan. Seolah jiwanya masih terikat pada gerbang itu.
Beberapa orang percaya bahwa Dimas tidak mati — ia hanya berpindah dimensi, terserap ke dunia yang pernah dibukanya sendiri. Dan Raka, sebagai korban yang setengah tersentuh dunia gaib, menjadi penghubung antara dua alam.
Penutup yang Menyisakan Misteri
Cerita tentang Raka dan Dimas kini menjadi bisik-bisik di Desa Cibungur. Warga memperingatkan para pendatang agar tidak mendekati hutan setelah senja. Gerbang itu mungkin sudah tertutup, tapi bekasnya tetap ada. Dan siapa tahu, suatu saat nanti, ada orang lain yang cukup nekat untuk membukanya lagi.
"Beberapa gerbang seharusnya tidak pernah dibuka," kata Mang Komar dengan tatapan kosong. "Karena tidak semua yang datang dari sana... ingin kembali."
Posting Komentar