Teror di Bandara Juanda Surabaya
Teror di Bandara Juanda Surabaya: Kisah Horor di Malam Hari
Bandara Internasional Juanda Surabaya selalu dipenuhi lalu lintas manusia yang sibuk. Namun, di balik kemegahannya, tersimpan kisah misterius yang belum banyak diketahui publik. Ini adalah cerita nyata dari seorang petugas kebersihan bandara yang mengalami teror tak terduga pada suatu malam sunyi.
Namaku Sari, sudah tiga tahun bekerja sebagai petugas kebersihan malam di Bandara Juanda. Malam itu, seperti biasa aku mendapat shift tengah malam. Suasana bandara sudah sepi, hanya terdengar suara gemuruh AC dan langkah-langkah petugas keamanan yang berpatroli. Aku mulai menyapu di area Terminal 2, dekat gerbang keberangkatan internasional yang sudah tidak aktif sejak pandemi.
Saat sedang menyapu, aku melihat seorang wanita berdiri diam di pojok ruang tunggu. Rambutnya panjang menjuntai, mengenakan gaun putih yang lusuh. Aku kira dia penumpang yang tertinggal. Aku mendekatinya sambil berkata pelan, “Bu, mohon maaf, ini area sudah ditutup. Kalau Ibu butuh bantuan, saya bisa panggilkan petugas.”
Tidak ada jawaban. Wanita itu tetap diam, punggungnya menghadap ke arahku. Aku mulai merinding. Saat aku menyentuh bahunya, tubuhnya terasa dingin seperti es. Dan tiba-tiba, dia menghilang.
Aku terdiam. Bulu kudukku berdiri. Napasku memburu. Tanpa pikir panjang, aku berlari ke pos keamanan dan memberitahu Pak Slamet, petugas jaga malam itu.
“Pak! Di ruang tunggu ada... ada perempuan! Tapi dia tiba-tiba hilang!” ujarku sambil terengah.
Pak Slamet memandangku lekat. “Kamu juga lihat ya?”
“Maksudnya?” tanyaku heran.
“Kamu bukan yang pertama. Sudah beberapa kali ada yang lihat sosok wanita berpakaian putih di terminal ini. Tapi biasanya dia hanya muncul lalu menghilang. Ada yang bilang itu arwah penumpang yang pernah bunuh diri di toilet wanita sepuluh tahun lalu.”
Jantungku serasa berhenti berdetak. Aku tak pernah tahu cerita itu sebelumnya.
Pak Slamet kemudian mengajakku ke ruang monitor CCTV. Kami memutar rekaman beberapa menit sebelum aku melapor. Di layar, terlihat jelas aku berjalan mendekati sosok wanita di pojok ruangan. Tapi anehnya, hanya aku yang terlihat. Tidak ada siapa pun di hadapanku. Bahkan bayangan pun tidak.
“Ini... tidak mungkin. Aku jelas-jelas melihatnya,” kataku dengan suara bergetar.
“Kamera tidak bisa menangkapnya. Dia bukan makhluk dari dunia kita,” jawab Pak Slamet pelan.
Sejak malam itu, aku selalu merasa dia mengawasiku. Bahkan saat membersihkan toilet, aku mendengar suara perempuan menangis dari dalam bilik, padahal tidak ada orang. Di cermin, kadang muncul bayangan rambut panjang yang melintas di belakangku.
Puncaknya terjadi seminggu kemudian. Aku sedang mengepel lantai dekat konter check-in lama yang sudah tidak digunakan. Lampu-lampu di sana redup, sebagian bahkan mati total. Tiba-tiba, aku mencium bau amis yang menyengat, seperti darah. Aku berhenti mengepel dan melihat ada genangan merah di lantai. Tapi ketika aku sentuh, hanya air pel biasa.
Lalu terdengar suara langkah kaki. Pelan. Menyeret. Aku membalik badan dan melihat wanita yang sama sedang berjalan ke arahku. Tapi kali ini wajahnya terlihat. Kulitnya pucat, matanya bolong, mulutnya menganga penuh darah.
“Kembalikan tiketku…” bisiknya dengan suara parau.
“T-tiket apa…?” aku mundur perlahan, napas tercekat.
“Aku harus naik pesawat… aku tidak boleh tertinggal…”
Dia terus melangkah. Aku membalik badan dan berlari secepat mungkin ke luar gedung. Tidak peduli seberapa jauh aku berlari, aku masih mendengar langkahnya di belakangku. Aku berlari sampai ke parkiran, lalu memanggil taksi online dan langsung pulang.
Besoknya, aku meminta pindah shift ke siang hari. Atasan hanya mengangguk, seolah sudah paham. Rupanya, tidak semua orang kuat menghadapi "penghuni malam" di Bandara Juanda.
Beberapa bulan setelah kejadian itu, aku mendengar cerita serupa dari seorang penjual makanan di area parkir. Ia melihat wanita berbaju putih berdiri di jalur keberangkatan saat menjelang subuh, padahal tidak ada jadwal penerbangan.
“Wajahnya rusak… dan dia menangis,” kata si penjual. “Dia cuma berdiri, seperti menunggu seseorang, lalu hilang begitu saja.”
Aku pun mulai menggali informasi dari beberapa petugas senior bandara. Seorang teknisi bernama Pak Hadi, yang sudah bekerja sejak awal 2000-an, akhirnya membuka cerita yang membuat bulu kudukku merinding.
“Dulu, ada seorang wanita muda yang akan pergi ke luar negeri, katanya mengejar suaminya yang kerja di luar. Tapi dia datang terlambat. Tiketnya hangus, dan karena dia tidak punya uang lagi, dia menangis di pojok ruang tunggu. Tidak lama setelah itu, ditemukan mayatnya di toilet wanita. Gantung diri. Itu kejadian sekitar tahun 2011,” ujar Pak Hadi sambil menatap kosong.
“Setelah kejadian itu, sering muncul laporan gangguan listrik, AC tiba-tiba mati, dan suara tangisan dari speaker bandara yang tidak bisa dijelaskan asalnya.”
Semua penjelasan itu seperti kepingan puzzle yang mulai tersusun di pikiranku. Sosok wanita yang aku lihat, mungkin adalah arwah dari wanita itu. Dia tidak bisa pergi karena masih terikat dengan rasa penyesalan dan kehilangan.
“Tapi kenapa dia mulai muncul lagi sekarang?” tanyaku.
Pak Hadi menghela napas. “Karena bangunan terminal lama mulai digunakan lagi untuk pelatihan dan kegiatan teknis. Mungkin dia merasa terganggu.”
Suatu malam, aku memberanikan diri kembali ke terminal itu, kali ini bersama dua teman dan seorang paranormal yang disarankan oleh petugas keamanan. Kami membawa sesajen kecil, kemenyan, dan bunga tujuh rupa.
Paranormal itu mulai membaca doa dan membakar kemenyan. Suasana seketika berubah. Udara menjadi lebih dingin, dan aroma melati menyengat. Tiba-tiba, suara tangisan terdengar di pojok ruangan, sangat pelan namun memilukan.
“Dia ada di sini,” ucap sang paranormal. “Dia belum tenang. Dia merasa ditinggalkan dan kecewa. Dia ingin ditemani.”
Lalu, perempuan itu muncul. Kali ini wujudnya lebih jelas. Gaun putihnya kotor, wajahnya sayu, dan matanya kosong. Dia berdiri di dekat konter check-in lama, menghadap ke jendela besar tempat pesawat biasa terlihat lepas landas.
“Bilang padanya… bahwa dia sudah tidak perlu menunggu lagi. Katakan bahwa dia boleh pergi,” ucap sang paranormal kepadaku.
Aku memberanikan diri melangkah. Meski lututku gemetar, aku berkata lirih, “Ibu… maafkan kami. Tiket itu tidak penting lagi. Suami Ibu pasti sudah menunggu di alam sana. Sekarang saatnya Ibu pergi dengan tenang.”
Sosok itu tidak langsung menghilang. Dia memandangku, dan sebutir air mata jatuh dari matanya. Perlahan, tubuhnya menjadi samar dan akhirnya lenyap di antara hembusan angin malam.
Sejak malam itu, gangguan berkurang drastis. Tidak ada lagi tangisan dari toilet, atau penampakan di ruang tunggu. Seolah arwah itu benar-benar telah pergi.
Aku pun kembali bekerja di shift malam, meski sesekali masih merasa dia ada. Mungkin bukan untuk mengganggu, tapi hanya sekadar menatap dan mengucapkan terima kasih… karena sudah membantunya menemukan jalan pulang.
Bandara Juanda kini tetap berdiri megah, penuh cahaya dan kesibukan. Tapi bagi mereka yang pernah merasakan sendiri kehadiran dari “penghuni lama”, tempat ini akan selalu menyimpan sisi gelap yang tak kasat mata. Jika kau berada di bandara ini saat malam larut, jangan lupa menoleh ke belakang. Mungkin… ada sepasang mata kosong yang sedang menatapmu dari bayang-bayang.
Posting Komentar