Teror di Bukit Bintang, Yogyakarta

Table of Contents
Teror di Bukit Bintang, Yogyakarta, Cerpen Horor Mania

Teror di Bukit Bintang, Yogyakarta

Namaku Aldi, mahasiswa rantau asal Bandung yang sedang kuliah di Yogyakarta. Pada suatu malam Minggu, aku dan tiga temanku — Fajar, Lina, dan Rino — memutuskan pergi ke Bukit Bintang untuk melepas penat. Tempat itu terkenal dengan pemandangan malamnya yang menakjubkan, lampu kota Yogyakarta terlihat seperti lautan bintang. Tapi malam itu, kami mendapat pengalaman yang tak akan pernah kami lupakan.

"Bro, katanya kalau malam-malam lewat bukit bisa lihat bintang sambil ngopi. Asik kali ya?" kata Rino sambil memutar kunci motor.

"Iyalah, sekalian refreshing. Lina juga belum pernah ke sana kan?" tambah Fajar sambil menoleh ke Lina yang duduk di jok belakang motornya.

"Belum. Tapi aku dengar-dengar tempat itu agak serem kalau udah larut malam," jawab Lina pelan.

Aku tertawa kecil. "Ah, mitos doang itu. Banyak orang ke sana malam-malam. Aman kok."

Kami berangkat sekitar pukul sepuluh malam. Angin malam cukup dingin saat kami menyusuri jalan menanjak ke arah Bukit Bintang. Semakin naik, suasana makin sepi. Beberapa warung kopi sudah tutup. Kami berhenti di spot yang sepi, agak jauh dari keramaian.

"Wah, keren banget pemandangannya!" seru Lina sambil mengarahkan ponsel untuk selfie. Di belakangnya, lampu kota Yogyakarta berkelap-kelip indah.

Kami duduk di rerumputan, mengobrol santai sambil menikmati angin malam. Tapi tidak lama kemudian, suasana berubah. Udara mendadak jadi lebih dingin, dan bau anyir tercium samar di antara angin.

"Kalian cium nggak sih? Kayak bau darah..." tanya Fajar sambil mengernyitkan dahi.

"Iya. Dari tadi aku juga nyium bau aneh," jawab Lina, mulai gelisah.

Rino berdiri dan melihat sekeliling. "Tunggu... tadi pas kita datang, batu besar di situ nggak ada ya?"

Kami semua menoleh ke arah yang ditunjuk Rino. Memang, ada sebuah batu besar menyerupai nisan, berdiri tegak di antara dua pohon. Tapi anehnya, kami tidak melihatnya sebelumnya, padahal posisi batu itu dekat dengan kami.

"Ah, mungkin kita nggak ngeh aja. Gelap begini juga," kataku mencoba menenangkan suasana, meski dadaku mulai tak enak.

Lina tiba-tiba terdiam. Wajahnya pucat. Matanya terpaku pada sesuatu di belakangku.

"Aldi... di belakang kamu..." bisiknya pelan.

Aku menoleh perlahan. Di antara bayangan pepohonan, berdiri sesosok wanita berpakaian putih. Rambutnya panjang menutupi wajah, dan tubuhnya tampak menggantung di udara, seperti tidak berpijak.

"ALLAHU AKBAR!" teriak Fajar seraya mundur terpeleset ke rumput.

Sosok itu tidak bergerak. Tapi tiba-tiba terdengar suara lirih — suara tawa pelan namun mengerikan. Suaranya bergema, seolah berasal dari segala arah.

"Kita harus pergi!" teriakku.

Kami semua segera berlari ke motor. Tapi saat hendak men-starter, motorku tidak menyala. Rino juga panik karena motornya mendadak mati total.

"Cepetan! Gas terus!" Fajar mencoba menenangkan Lina yang sudah menangis.

Akhirnya, motor Fajar menyala lebih dulu dan dia membawa Lina menuruni bukit. Aku dan Rino masih berusaha menyalakan motor ketika terdengar suara langkah dari belakang kami.

Aku menoleh dan melihat sosok itu sekarang lebih dekat. Matanya hitam legam, tidak ada bola mata. Mulutnya robek hingga ke pipi. Darah menetes dari jarinya yang panjang dan tajam seperti cakar.

"RINO, LARI!" aku berteriak sambil mendorongnya naik ke motor.

Motorku akhirnya menyala. Kami melaju menuruni bukit dengan kecepatan penuh. Tapi sepanjang jalan, kami merasa ada yang mengikuti dari belakang. Beberapa kali aku melihat bayangan putih melintas di antara pohon di tepi jalan.

Sesampainya di bawah, kami berhenti di warung kopi 24 jam yang masih buka. Nafas terengah, tubuh gemetar. Lina masih menangis, sementara Rino menatap kosong ke depan.

"Apa tadi... itu?" tanya Fajar pelan.

"Entah. Tapi bukan manusia," jawabku sambil memegangi dada yang masih sesak.

Beberapa hari setelah kejadian itu, kami semua mengalami kejadian aneh. Lina mengaku sering mendengar suara tawa di kamarnya tengah malam. Rino mimpi buruk berulang tentang wanita bergaun putih yang mencakar lehernya. Bahkan aku sendiri pernah melihat bayangan berdiri di pojok kamar saat bangun tidur.

Kami akhirnya mencari informasi dari warga sekitar. Seorang bapak tua penjaga warung berkata, "Dulu tempat itu ada kecelakaan mobil. Perempuan hamil meninggal terguling di jurang dekat situ. Katanya, arwahnya masih gentayangan, apalagi kalau ada yang nongkrong larut malam di tempat yang sepi."

Setelah mendengar cerita itu, kami penasaran dan mencoba mencari tahu lebih banyak. Ternyata, beberapa tahun lalu, memang terjadi kecelakaan tragis di jalan menuju Bukit Bintang. Seorang wanita muda bersama suaminya mengalami kecelakaan tunggal saat malam hari. Suaminya selamat, tapi istrinya yang sedang hamil meninggal di tempat, terlempar keluar dari mobil dan tubuhnya tertindih kendaraan yang terguling.

Kejadian itu konon menyisakan duka mendalam karena menurut cerita warga, sang suami tidak pernah kembali ke lokasi dan bahkan sempat mengalami gangguan jiwa. Ada yang bilang arwah istrinya masih belum tenang karena merasa suaminya meninggalkannya di saat terakhir.

Sejak malam di Bukit Bintang itu, aku mulai rajin shalat tepat waktu. Fajar bahkan menghapus semua film horor dari laptopnya. Rino jadi sering pakai gelang tasbih ke mana-mana. Dan Lina? Dia pindah kos. Katanya, kamar lamanya terlalu banyak kenangan buruk setelah kejadian itu.

Beberapa bulan kemudian, aku kembali melewati Bukit Bintang, siang hari. Kali ini bersama teman kampus yang lain. Di tempat yang sama, aku melihat batu besar yang dulu kami kira sebagai nisan. Tapi sekarang, tidak ada apapun di sana. Bahkan pepohonan pun berbeda. Seolah malam itu, kami berada di dimensi lain.

Salah satu temanku yang asli Wonosari berkata, "Oh, tempat itu sering berubah-ubah kalau malam. Dulu nenekku bilang, kalau di sana ada lorong gaib. Kadang bisa bikin orang tersesat, kadang bawa mereka lihat hal-hal dari masa lalu."

Dan sampai hari ini, aku tidak pernah berani kembali ke Bukit Bintang saat malam. Bukan karena takut pada hantu, tapi karena aku tahu, ada hal-hal yang lebih menyeramkan dari sekadar bayangan — seperti rasa bersalah, dan kenangan yang tak mau pergi.

Jadi jika kamu suatu malam berada di Bukit Bintang, dan mendengar suara tawa lirih dari arah pohon di kejauhan, sebaiknya kamu segera pergi. Karena mungkin, dia sedang memperhatikanmu.

Posting Komentar