Teror di Kantor: Teror di Balik Meja
Teror di Kantor: Teror di Balik Meja yang Menghantui Jakarta
Kantor PT Mitra Abadi, yang berlokasi di pusat kota Jakarta, tampak seperti bangunan perkantoran biasa. Berlantai lima, ber-AC dingin, dan dikelilingi kaca gelap yang mengilat. Tapi siapa sangka, di balik ruangan rapat, bilik kerja, dan meja komputer, tersimpan cerita kelam yang hanya diketahui oleh sedikit orang.
Dina, karyawan baru divisi keuangan, bergabung setelah lulus kuliah. Ia penuh semangat, ceria, dan siap meniti karier. Hari pertama, ia langsung disambut oleh Rina, rekan satu divisi yang sudah bekerja selama empat tahun.
"Selamat datang ya, Dina! Kamu duduk di meja kosong di pojok situ," ujar Rina sambil menunjuk ke sebuah meja kerja yang sedikit terpisah dari yang lain.
Meja itu terlihat rapi. Tapi entah kenapa, terasa dingin meski AC tidak mengarah ke sana.
"Makasih, Kak Rina. Tapi kenapa cuma meja itu yang kosong?" tanya Dina penasaran.
Rina terdiam sejenak. Lalu ia tersenyum canggung. "Yah... meja itu udah lama kosong. Yang terakhir duduk di sana resign mendadak."
Dina tak berpikir panjang. Ia menata barang-barangnya, menyalakan komputer, dan mulai bekerja. Namun malam itu, saat semua karyawan sudah pulang, Dina masih lembur menyelesaikan laporan.
Ketika jam menunjukkan pukul 21.13, lampu di lantai lima berkedip-kedip. Dina mengira listrik bermasalah. Tapi kemudian terdengar suara ketikan cepat dari komputer di belakangnya. Padahal, hanya dia yang tersisa.
Dina menoleh. Kosong. Meja-meja lain gelap dan sepi. Tapi suara ketikan itu masih terdengar.
"Siapa...?" gumam Dina.
Tak ada jawaban. Hanya suara ketikan yang berubah menjadi suara gesekan kursi.
Dengan gemetar, Dina berdiri dan berjalan perlahan menuju sumber suara. Ia berhenti di depan bilik kerja... miliknya sendiri. Komputer menyala sendiri. Sebuah file Word terbuka dan menulis otomatis: **"Jangan duduk di sini. Ini mejaku."**
Dina berteriak dan berlari turun tangga. Ia menginap di rumah teman malam itu, tidak berani kembali.
Keesokan paginya, ia menceritakan semuanya kepada Rina.
"Aku nggak bohong, Kak. File itu ngetik sendiri! Tulisan itu muncul di komputernya!"
Rina terlihat pucat. Ia menunduk, lalu berbisik, "Aku belum pernah cerita ini ke siapa-siapa. Tapi kamu harus tahu..."
Tiga tahun lalu, seorang staf bernama Siska duduk di meja itu. Ia rajin, pendiam, dan sering lembur sendiri. Suatu malam, ia ditemukan tak bernyawa, kepalanya terbentur sudut meja. Polisi menyimpulkan itu kecelakaan.
"Tapi anehnya," lanjut Rina, "file terakhir di komputernya bertuliskan 'Aku tidak sengaja melihatnya. Maafkan aku.'"
"Apa maksudnya?" tanya Dina.
"Katanya, sebelum meninggal, Siska pernah memergoki sesuatu di ruang meeting lama lantai bawah yang sekarang dikunci. Katanya ada 'ritual' aneh dilakukan oleh beberapa atasan malam hari."
Malam itu, Dina menyelinap ke ruang meeting yang dikunci. Begitu masuk, aroma anyir darah langsung tercium. Coretan merah di dinding berbunyi: **"Yang melihat, akan digantikan."**
Dari sudut ruangan, terdengar isak tangis. Sosok wanita berkebaya duduk memeluk lutut, rambut panjang menutupi wajahnya.
"Kau... sudah duduk di mejaku..."
Dina pingsan. Ia ditemukan satpam dan dibawa pulang. Keesokan harinya, manajemen memutuskan meja itu tidak boleh digunakan lagi.
Namun gangguan tidak berhenti. File misterius terus muncul: “Aku belum selesai.” Beberapa staf melihat wajah wanita muncul di layar monitor saat lembur malam.
Dina mencoba mencari tahu lebih dalam. Ia menemukan arsip lama HRD dan membuka catatan karyawan yang sudah resign. Ternyata, lebih dari lima staf keuangan pernah duduk di meja itu — dan semuanya mengalami kecelakaan, kehilangan nalar, atau menghilang.
"Apa ini semua kebetulan?" pikir Dina.
Ia menemui Pak Bayu, satpam senior yang bekerja sejak gedung pertama kali dibangun.
“Pak Bayu, apakah Bapak tahu kejadian aneh di kantor ini?” tanya Dina.
Pak Bayu menarik napas panjang. “Dulu, waktu bangunan ini baru selesai, ada kasus yang ditutup rapat. Seorang staf wanita bunuh diri di ruang meeting. Namanya Indri. Dia dituduh menjalin hubungan gelap dengan bos besar. Waktu kabar itu tersebar, dia malu dan... gantung diri.”
“Tapi kenapa mejanya di lantai lima?” tanya Dina.
“Karena setelah renovasi, meja yang dulu dia duduki dipindah ke lantai lima — meja yang sekarang kamu tempati. Mungkin... rohnya masih terikat pada tempat itu.”
Dina mulai merasa semuanya berhubungan. Ia kembali ke ruang meeting dan membakar kemenyan. Tapi ruangan menjadi gelap, lampu mati, dan suara perempuan menggema:
“Mereka menghancurkan aku. Mereka yang sebenarnya harus pergi.”
Seketika bayangan gelap mengelilingi Dina. Indri muncul, wajahnya pucat dengan bekas lilitan tali di lehernya. Tapi kali ini, ia tidak menyerang. Ia menunjuk dinding yang disekat lemari tua.
Dina mendekati lemari dan menariknya. Di baliknya, sebuah dinding tersembunyi berisi coretan dan potongan artikel tua: “Kasus bunuh diri ditutup oleh perusahaan.” Foto Indri terpasang di sana.
Esoknya, Dina melaporkan temuannya ke HRD. Tapi tak ada yang menanggapi serius. Mereka bahkan memintanya untuk tidak membahasnya lagi.
Dina tak menyerah. Ia menulis blog anonim tentang kisah itu. Isinya viral, dan banyak mantan karyawan mulai berbicara. Beberapa mengaku pernah melihat Indri, atau merasa seperti dicekik saat berada di dekat meja tersebut.
Sampai akhirnya, pada suatu malam, Dina kembali lembur. Ia ingin menuliskan semuanya menjadi buku. Tapi tak pernah keluar dari kantor malam itu.
Ia ditemukan tewas di bawah meja kerjanya. Posisi tubuhnya sama seperti Siska dulu. Di layar komputernya, ada satu kalimat terakhir:
“Aku tahu siapa kalian. Tapi sekarang, meja ini... sudah milikku.”
Kini, meja itu tidak hanya ditutup — tapi diisolasi. Ruangannya diblokir, digembok, dan diberi larangan untuk dimasuki siapa pun. Namun sesekali, staf keamanan mengaku masih melihat lampu menyala sendiri dari bilik itu. Dan suara ketikan di tengah malam... tidak pernah berhenti.
Posting Komentar