Teror di Ruang Kelas: Kursi yang Kosong

Table of Contents
Teror di Ruang Kelas, Kursi yang Kosong - Cerpen Horor Mania

Kisah Misteri di SMP Negeri di Jawa Tengah

Di sebuah SMP negeri tua di pedesaan Jawa Tengah, terdapat satu ruang kelas yang dikenal angker oleh siswa dan guru. Ruang itu adalah kelas 9B—tempat terjadinya serangkaian kejadian aneh yang berkaitan dengan satu kursi kosong di pojok ruangan. Tak ada yang berani duduk di sana, bahkan saat ruangan penuh sekalipun. Kata warga sekolah, kursi itu ‘sudah ada yang punya.’

Awal Mula Teror: Kursi Tak Bertuan

Semester baru dimulai, dan siswa pindahan bernama Sinta masuk ke kelas 9B. Ia berasal dari Semarang dan tidak tahu-menahu tentang reputasi buruk ruang kelas itu. Saat semua tempat duduk telah terisi, Sinta hanya menemukan satu kursi kosong—di pojok belakang dekat jendela tua yang selalu tertutup tirai kusam.

"Sini, duduk di tengah aja. Yang belakang itu... jangan," bisik Wulan, calon teman sebangkunya.

"Kenapa? Emangnya kenapa?" tanya Sinta heran sambil berjalan ke arah kursi kosong itu.

"Itu... kursinya Laras," jawab Wulan pelan. "Dia... udah nggak ada."

Sinta mengerutkan dahi. "Kok bisa kursi jadi punya orang yang udah meninggal?"

Wulan tak menjawab. Matanya menatap ke arah jendela seolah menyimpan ketakutan lama.

Sinta tetap duduk di sana. Ia berpikir itu hanyalah cerita lama yang digunakan untuk menakut-nakuti siswa baru.

Kejadian Pertama: Bisikan dari Belakang

Hari-hari pertama berjalan biasa, namun mulai minggu kedua, Sinta mulai mengalami gangguan. Saat sedang mencatat pelajaran, ia mendengar suara perempuan menangis pelan di telinganya.

"Tempatku... kamu ambil tempatku..."

Sinta menoleh ke belakang. Tak ada siapa-siapa. Hanya dinding dengan kaca buram dan tirai yang sedikit berkibar. Ia sempat mengira itu halusinasi, tapi suara itu terus datang. Bahkan saat ruangan penuh, suara itu hanya terdengar oleh Sinta.

Lalu ia menemukan buku tulisnya penuh dengan coretan aneh. Tulisan tangan itu bukan miliknya.

“Kembalikan. Tempatku.”

Coretan itu muncul setiap hari meskipun ia sudah mengganti buku. Bahkan di malam hari, ia sering bermimpi duduk di kelas seorang diri, dengan semua kursi menghadap ke arahnya, seolah-olah para siswa hantu sedang menatapnya dengan wajah kosong.

Misteri Laras: Siswi yang Meninggal Mendadak

Rasa penasaran membuat Sinta bertanya kepada Pak Doni, guru Bahasa Indonesia yang dikenal akrab dengan para siswa. Ia hanya tertawa kecut saat ditanya soal Laras.

"Laras anak yang pintar. Duduknya di situ juga. Tapi waktu ujian akhir semester, dia tiba-tiba teriak-teriak, matanya putih, terus pingsan... dan nggak bangun lagi," kata Pak Doni.

Sejak itu, kursi tersebut dikosongkan. Tapi saat kepala sekolah berganti, peraturan berubah. “Sekolah bukan tempat keramat,” kata kepala sekolah baru, “tidak boleh ada tempat duduk yang dikosongkan tanpa alasan.”

Perlawanan Sinta

Sinta tetap tidak pindah. Ia merasa ada sesuatu yang belum selesai. Ia pun mencari arsip lama di perpustakaan sekolah dan menemukan koran lokal yang memberitakan kematian Laras. Tertulis bahwa Laras meninggal karena gagal jantung, namun saksi-saksi menyebut bahwa sebelum pingsan, Laras sempat berteriak, "Dia mau ambil aku!"

Hal itu membuat Sinta yakin bahwa arwah Laras belum tenang. Ia bahkan mulai melihat sosok perempuan di cermin kelas saat ia sendirian, berdiri tepat di kursi yang ia duduki.

“Aku nggak mau kamu duduk di sini,” bisik suara itu suatu malam, saat ia tertidur di kelas untuk proyek dekorasi lomba kelas bersih.

Sinta merasa waktunya untuk menyelesaikan semua ini. Ia mengumpulkan bunga melati, secarik kain putih, dan sebuah surat yang ia tulis untuk Laras.

Ritual Tengah Malam di Ruang Kelas

Didampingi Wulan dan dua teman lainnya, Sinta masuk ke ruang 9B tengah malam. Angin berhembus melalui jendela tua. Meja Laras tampak bersih, seolah tak tersentuh waktu. Ia meletakkan bunga dan surat itu di atas kursi, lalu duduk bersila di lantai.

"Laras... maaf kalau aku duduk di tempatmu. Aku cuma pengin bantu. Kamu boleh tenang sekarang," ucap Sinta dengan pelan.

Lalu lampu berkedip. Udara menjadi dingin, dan muncul aroma melati yang sangat kuat. Tirai jendela berkibar hebat meski jendela tertutup rapat. Tiba-tiba, sosok perempuan dengan rambut panjang menutupi wajahnya muncul berdiri tepat di atas kursi itu. Ia mengenakan seragam putih abu-abu dengan bagian dada yang penuh noda merah.

"Kamu... tahu rasa sakitnya... ditinggalkan?" tanya sosok itu dengan suara serak.

"Kamu belum bisa pergi karena belum ada yang minta maaf, ya?" jawab Sinta perlahan. "Sekarang aku minta maaf, untuk semuanya."

Sosok itu diam. Air matanya mengalir—namun darah juga menetes dari bibirnya. Ia menunduk, lalu perlahan menghilang dalam angin yang mereda.

Perubahan di Kelas 9B

Sejak malam itu, tidak ada lagi suara bisikan. Tidak ada lagi coretan di buku Sinta. Bahkan suasana kelas 9B terasa lebih terang, lebih hangat. Para siswa tak lagi merasa tertekan atau takut duduk di bagian belakang kelas.

Pak Doni akhirnya menyetujui permintaan Sinta untuk mengosongkan kursi itu dan menaruh vas bunga kecil di atas mejanya sebagai bentuk penghormatan pada Laras.

“Biar arwahnya tahu, kita masih ingat dia,” kata Pak Doni sambil tersenyum lelah.

Bayangan Baru

Namun cerita belum berakhir. Suatu siang, seorang guru piket bernama Bu Erna melihat bayangan anak perempuan duduk di kursi itu sambil tersenyum. Tapi kini, wajahnya tenang. Ia hanya menunduk membaca buku.

"Aku pikir itu Sinta. Tapi saat aku panggil, dia lenyap. Hanya wangi melati yang tertinggal," cerita Bu Erna di ruang guru.

Sementara itu, Sinta tak pernah lagi mengalami mimpi buruk. Ia tetap menjadi siswa yang ceria dan mulai menulis tentang pengalaman itu dalam bentuk cerita pendek. Bahkan, ia berencana ikut lomba menulis tingkat provinsi dengan judul: “Kursi yang Kosong.”

Penutup: Jangan Abaikan Pertanda

Kisah ini menjadi pengingat bahwa tempat yang terlihat biasa saja bisa menyimpan kenangan kelam yang belum selesai. Kursi kosong di pojok kelas bukan sekadar furnitur, tapi saksi bisu dari tragedi yang meninggalkan jejak gaib.

Di sekolah tua seperti itu, kadang mereka yang telah tiada pun masih ingin hadir. Jika suatu hari kamu masuk ke ruang kelas dan melihat satu kursi kosong yang tidak pernah diduduki siapa pun—mungkin lebih baik kamu tidak duduk di sana.

Dan jika kamu terlanjur duduk di sana, dengarkan baik-baik... siapa tahu ada suara pelan yang berbisik: "Itu tempatku..."

Posting Komentar