Teror di Rumah Kos: Kisah Mahasiswa

Table of Contents
Teror di Rumah Kos, Kisah Mahasiswa - Cerpen Horor Mania

Kisah Horor Mahasiswa di Rumah Kos

Aku adalah Reza, mahasiswa semester lima di sebuah universitas negeri di Yogyakarta. Karena jarak rumahku yang jauh, aku memutuskan untuk tinggal di sebuah rumah kos di daerah Pogung. Kosan ini tampak biasa saja dari luar—bangunan tua dua lantai dengan cat kusam dan halaman sempit yang dipenuhi semak belukar. Tapi harga sewanya sangat murah, bahkan terlalu murah untuk ukuran kota pelajar ini.

“Jangan tanya kenapa murah,” kata Bu Rini, pemilik kos. “Yang penting, kamu bisa bayar tepat waktu.”

Aku hanya mengangguk waktu itu. Kupikir aku hanya beruntung. Tapi malam pertama sudah membuatku mulai berpikir ulang.

Malam itu, aku baru selesai menyusun materi presentasi. Jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Saat itulah aku mendengar suara langkah kaki di koridor lantai dua. Kosan ini hanya dihuni tiga orang: aku, Dani di kamar ujung, dan satu lagi bernama Yoga, yang jarang sekali kelihatan. Tapi suara langkah itu terdengar seperti menyeret kaki, perlahan namun pasti, tepat di depan pintu kamarku.

“Dani?” panggilku pelan sambil membuka pintu sedikit. Tapi koridor kosong. Tidak ada siapa pun. Angin dingin seperti menerobos masuk dan bulu kudukku meremang.

Keesokan harinya aku menanyakan pada Dani, “Lu jalan-jalan semalam jam satuan, ya?”

“Gila, ngapain jam segitu? Gue tidur dari jam sebelas,” jawabnya sambil mengunyah sarapan.

Sejak itu, gangguan semakin sering terjadi. Buku-bukuku berpindah sendiri, suara bisikan di balik lemari, bahkan bayangan hitam yang kulihat melintas di cermin saat aku cuci muka di kamar mandi.

Suatu malam, aku sedang tidur ketika terbangun karena mendengar suara tangisan perempuan. Suara itu lirih, seperti berasal dari kamar sebelah. Aku tempelkan telingaku ke dinding.

“Tolong… tolong aku…”

Suaranya begitu pelan namun jelas. Jantungku berdebar kencang. Aku segera mengetuk kamar Yoga, karena suara itu berasal dari arah kamarnya. Tapi tidak ada jawaban.

Keesokan paginya, aku memutuskan untuk menunggu Yoga di depan kamarnya. Tapi yang muncul malah Bu Rini.

“Bu, Yoga kemana, ya? Saya nggak pernah lihat dia,” tanyaku.

Bu Rini menatapku lama sebelum menjawab, “Kamu yakin lihat Yoga? Kamar itu kosong sejak dua bulan lalu. Anak yang dulu ngekos di situ… sudah meninggal.”

“Meninggal? Kenapa, Bu?”

“Dia gantung diri… di kamar itu. Katanya karena stres kuliah. Tapi sejak itu, kamar itu nggak pernah ditempati lagi.”

Kakiku lemas. Aku sering melihat sosok pria tinggi memakai hoodie hitam masuk ke kamar itu. Aku pikir itu Yoga. Tapi ternyata… bukan.

Setelah kejadian itu, aku jadi sering mimpi buruk. Dalam mimpiku, aku melihat seseorang berdiri di pojok kamarku, diam, tidak bergerak. Wajahnya gelap, tapi matanya merah menyala.

“Keluar dari sini…” bisiknya setiap malam. “Keluar, atau kamu akan bernasib sama.”

Suatu malam, puncak teror itu datang. Sekitar jam dua pagi, aku terbangun karena mendengar pintu kamarku terbuka sendiri. Aku yakin tadi sudah kukunci. Saat aku membuka mata, kulihat sesosok wanita berdiri di depan pintu. Rambutnya panjang menjuntai menutupi wajah, bajunya lusuh, dan tubuhnya kotor seperti habis digali dari tanah.

Dia perlahan berjalan mendekat. Kakiku kaku, aku tidak bisa bergerak. Nafasku memburu.

“Tolong aku…” bisiknya. “Mereka kubur aku di sini… di bawah lantai…”

Dia menunjuk lantai kamarku. Lalu tubuhnya lenyap dalam asap hitam yang tiba-tiba muncul dan menghilang seketika. Aku langsung menjerit, membangunkan Dani yang berlari menghampiriku.

“Reza! Lu kenapa?”

Aku menceritakan semua padanya. Wajah Dani pucat. Kami memutuskan untuk mengungsi ke kamar teman di luar kos malam itu.

Besoknya, kami berdua memaksa Bu Rini menjelaskan semuanya. Awalnya dia menolak, tapi akhirnya dia mengaku. Dulu, rumah kos itu adalah rumah keluarga. Anak perempuan satu-satunya hilang secara misterius dan tak pernah ditemukan. Konon, sebelum hilang, dia sering dikurung di kamar belakang karena mengidap gangguan jiwa.

Setahun setelah kehilangannya, seorang pekerja renovasi sempat mencium bau busuk dari lantai kamar belakang. Tapi tidak pernah digali karena keluarga itu langsung menjual rumah. Rumah itu akhirnya dijadikan kos-kosan oleh Bu Rini.

“Saya juga sering mimpi aneh, Mas,” kata Bu Rini dengan suara gemetar. “Kadang saya dengar suara ketukan dari bawah lantai. Tapi saya pura-pura nggak dengar.”

Aku dan Dani sepakat untuk pindah hari itu juga. Kami tidak peduli soal uang sewa yang masih tersisa. Kami hanya ingin jauh dari tempat itu. Saat kubereskan barang, aku mendengar suara dari bawah lantai.

“Terima kasih…”

Hanya dua kata, tapi cukup membuat hatiku terasa sesak. Mungkin, entitas yang selama ini menghantui hanya ingin didengar. Mungkin dia hanya ingin ditemukan.

Beberapa minggu setelah kami pindah, Dani mengajak kembali ke daerah Pogung, karena penasaran dengan cerita tentang rumah itu. Dia mengajakku menemui warga sekitar untuk mencari tahu lebih jauh.

Salah satu warga tua yang tinggal tak jauh dari kosan itu, Pak Darto, mengatakan, “Rumah itu dulunya milik keluarga pejabat. Anaknya hilang tahun 2007. Waktu itu ramai sekali beritanya. Tapi mendadak semua bungkam, kayak ada yang disembunyikan.”

Kami makin penasaran. Dani lalu menyarankan agar kami menyelidiki kamar belakang, jika mungkin. Kami kembali menyelinap ke kos itu malam hari, dengan alasan ingin mengambil barang yang tertinggal. Bu Rini tidak curiga, tapi wajahnya tampak cemas.

Di dalam kamar belakang yang lama dikunci, kami mencium bau menyengat. Seperti bangkai lama. Kami mengangkat karpet lama yang menutupi lantai. Di sana ada bekas garis retakan semen. Dani mengetuk-ngetuk lantainya.

“Coba pakai linggis kecil ini,” katanya sambil menyodorkan alat yang ia bawa dari rumah temannya.

Kami bekerja dalam diam. Sekitar satu jam kemudian, akhirnya sebagian lantai terbuka. Dan di dalamnya—sebuah karung plastik besar. Bau busuk menyergap keras. Ketika kami membukanya, tampak tulang-belulang manusia yang sudah membusuk, dengan sisa pakaian lusuh perempuan.

Aku langsung muntah di tempat. Dani gemetar. Kami melapor ke polisi malam itu juga. Esoknya, media lokal langsung ramai memberitakan penemuan kerangka manusia di kos tua di Pogung. Identitas korban akhirnya terungkap lewat pencocokan DNA—benar, anak perempuan yang dulu dilaporkan hilang. Ia dibunuh dan dikubur di bawah lantai rumah sendiri.

Setelah itu, rumah kos itu ditutup dan dipasangi garis polisi. Bu Rini kabarnya pindah keluar kota. Dani dan aku kembali fokus ke kuliah, tapi kejadian itu terus membekas dalam hidup kami.

Yang lebih mengerikan, malam setelah semua itu selesai, aku bermimpi lagi. Dalam mimpi, gadis itu tersenyum padaku. Rambutnya rapi, wajahnya bersih, dan dia berkata, “Terima kasih… akhirnya aku ditemukan.”

Aku tersenyum dalam mimpi itu. Tapi saat aku menoleh ke belakang, sosok lain berdiri. Wajahnya gelap, bermata merah menyala. Sosok pria. Dan dia berbisik, “Ini belum selesai…”

Aku terbangun dengan peluh dingin. Mungkin terornya belum benar-benar berakhir. Mungkin ada yang lain… yang juga menunggu ditemukan.

Dan sampai hari ini, aku tak pernah berani lagi lewat depan rumah itu, apalagi menoleh ke lantai dua. Karena siapa pun yang tinggal di sana… mungkin belum sepenuhnya pergi.

Posting Komentar