Teror di Studio Foto: Penampakan dalam Foto
Kisah Horor Penampakan Hantu dalam Foto di Studio
Studio foto itu tampak biasa saja dari luar, hanya bangunan tua dua lantai di tengah kota Malang. Namun siapa sangka, di balik lensa kamera yang tajam, tersembunyi kisah horor yang mengerikan dan tak terlupakan.
Namaku Fira, mahasiswi semester akhir jurusan desain komunikasi visual. Saat itu aku sedang mengerjakan tugas akhir yang membutuhkan sesi pemotretan profesional. Temanku, Rina, menyarankan sebuah studio foto klasik di daerah Klojen yang katanya murah dan hasilnya bagus.
"Studio Dharma itu legendaris, Fir. Katanya dulu pernah dipakai fotografer terkenal, tapi sekarang jarang dipakai. Sepi," kata Rina sambil mengunyah roti bakar.
Aku sempat ragu, tapi karena budget terbatas dan waktuku mepet, akhirnya kuputuskan mencobanya.
Ketika aku datang ke Studio Dharma, hawa dingin langsung menyambutku. Bukan karena AC, tapi udara di sana memang terasa lembab dan menyesakkan. Seorang pria tua berwajah datar menyambutku. Namanya Pak Arman, pemilik studio itu.
"Kamu mau foto? Sendiri?" tanyanya dengan suara serak.
"Iya, Pak. Untuk keperluan tugas kuliah. Bisa kan hari ini?"
Ia mengangguk pelan, lalu mempersilakanku masuk ke ruang pemotretan. Lampu-lampu studio mulai menyala, dan latar belakang foto diturunkan. Semua terlihat profesional, hanya saja ruangan itu dipenuhi aura yang membuat bulu kuduk meremang.
Sesi pemotretan berjalan lancar. Pak Arman tidak banyak bicara. Hanya mengarahkan posisi dan meminta sesekali untuk berganti ekspresi. Setelah selesai, ia berkata akan mengirimkan hasilnya lewat email malam nanti.
Sepulang dari studio, aku merasa tidak enak. Kepalaku pusing, tengkukku berat seperti ditekan. Di cermin kamar kos, aku melihat bayangan hitam sekilas di belakangku, tapi saat ku menoleh, tidak ada siapa-siapa.
Malam harinya, email dari Pak Arman masuk. Ada sepuluh file foto hasil pemotretan. Saat kubuka satu per satu, jantungku serasa berhenti.
Di foto ketiga, terlihat wajahku yang sedang tersenyum, tapi di belakangku, tepat di balik latar studio, ada sesosok wanita berambut panjang berdiri diam. Wajahnya pucat, matanya menatap tajam ke arah kamera. Tubuhnya samar, seperti bayangan tapi jelas terlihat.
"Rina! Lihat ini deh, sumpah ini aneh banget!" teriakku lewat telepon.
Rina datang ke kosku setengah jam kemudian. Kami memeriksa semua foto. Anehnya, sosok wanita itu muncul di tiga foto lain, kadang di pojok, kadang di belakang bahuku, selalu dengan tatapan kosong yang menakutkan.
"Fir, ini serius. Kamu harus balik ke studio itu. Tanya langsung ke Pak Arman. Ini nggak wajar!"
Besoknya aku dan Rina kembali ke Studio Dharma. Tapi kali ini suasananya berbeda. Tertutup. Pintu digembok dari luar dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Aku coba menelepon Pak Arman, tapi tidak aktif.
Kami bertanya pada pemilik warung dekat situ. Jawabannya membuat darahku berdesir.
"Lho... Studio Dharma itu udah tutup sejak lima tahun lalu. Pemiliknya meninggal. Gantung diri di ruang studio katanya, gegara istrinya meninggal mendadak pas pemotretan."
"Tapi... kemarin saya baru difoto di sana sama Pak Arman!" jawabku terkejut.
Si ibu warung memandangku dengan mata lebar. "Mustahil, Nak. Pak Arman sudah meninggal. Kalau kamu lihat dia... berarti kamu diajak masuk dunia lain."
Kami bergegas pergi. Tapi rasa takut itu tak bisa hilang. Malamnya, aku mimpi buruk. Dalam mimpi, aku berdiri di ruang studio itu lagi. Tapi lampunya padam, hanya tersisa cahaya remang dari pojokan. Tiba-tiba sosok wanita dalam foto itu muncul, berjalan mendekat sambil menangis pelan.
"Kembalikan fotoku... jangan ambil wajahku... itu bukan milikmu..." bisiknya.
Aku terbangun dengan keringat dingin. Foto-foto itu masih di laptopku. Dengan panik, aku hapus semuanya. Tapi anehnya, setiap kali kuhapus, file itu muncul kembali di folder berbeda.
Rina menyarankan untuk mencari bantuan spiritual. Kami pergi ke seorang paranormal tua bernama Mbah Surip, yang terkenal bisa 'membaca' energi dari benda.
Setelah melihat laptopku, wajah Mbah Surip langsung berubah. "Ini bukan sekadar penampakan. Kalian membuka portal dari ruang yang masih terikat dendam. Wanita dalam foto itu istrinya Pak Arman. Ia meninggal mendadak karena kesurupan waktu dipotret, dan jiwanya terperangkap dalam studio."
"Lalu... kenapa muncul di fotoku?" tanyaku ketakutan.
"Karena kau difoto di tempat itu. Saat kau difoto, sebagian energimu juga terekam. Kau membawa pulang energinya... dan dia ikut."
Mbah Surip melakukan ritual pembakaran digital—semacam pemurnian file dengan mantra dan simbol tertentu. Ia juga menyarankan untuk membuang laptopku. Tapi aku tidak mampu, terlalu banyak data penting di dalamnya.
Hari-hari setelahnya menjadi mimpi buruk. Setiap malam aku melihat wanita itu berdiri di pojok kamar. Kadang menangis, kadang tersenyum ngeri. Setiap foto yang kuambil dengan kamera ponsel, pasti menampakkan sosoknya di belakang.
Hingga akhirnya aku putuskan kembali ke Studio Dharma sendirian. Kubongkar gemboknya dengan paksa. Ruangan itu gelap dan berdebu. Tapi semuanya masih seperti kemarin—kamera, lampu studio, tirai latar.
Aku berdiri di tengah ruangan, lalu berkata lantang, "Saya minta maaf... saya tidak tahu kalau membawa fotomu. Aku kembalikan semua, tolong jangan ganggu aku lagi."
Angin dingin menerpa wajahku. Suara tangis pelan terdengar dari balik tirai. Seketika kamera di atas meja menyala sendiri dan memotretku tanpa henti. Blitz berkedip-kedip, tirai studio bergerak meski tak ada angin.
Aku lari keluar sekuat tenaga. Tak pernah kembali ke sana lagi.
Namun ternyata tidak sesederhana itu. Gangguan belum berhenti. Seminggu kemudian, Rina menghilang. Ia terakhir kali mengirim pesan, "Fir, dia datang ke kosku. Aku lihat dia berdiri di depan cermin..." Setelah itu ponselnya mati.
Orang tuanya melapor ke polisi. Tapi tidak ditemukan tanda-tanda penculikan. Hanya cermin di kamar Rina yang retak, dan laptopnya menyala dengan foto yang sama—penampakan wanita itu berdiri di belakangnya.
Paranoia menggerogoti pikiranku. Setiap suara kecil terdengar seperti bisikan. Aku berhenti kuliah, pindah kos, bahkan mengganti nomor HP. Tapi bayangan itu selalu mengikuti. Bahkan saat aku mencoba foto dengan kamera analog, sosok itu tetap muncul di cetakannya.
Putus asa, aku kembali menemui Mbah Surip. Tapi beliau sudah meninggal tiga hari sebelumnya, katanya karena serangan jantung mendadak. Warga sekitar bilang malam sebelum meninggal, terdengar suara jeritan dari dalam rumahnya, seperti suara wanita tertawa lalu menangis.
Sebulan kemudian, aku memberanikan diri membongkar arsip digital Studio Dharma yang sempat aku salin. Di sana aku menemukan folder lama berjudul "RAW FINAL 2009". Di dalamnya ada puluhan foto pengantin, keluarga, dan satu folder tersendiri: "AKHIR ISTRIKU".
Kubuka folder itu, ada satu video. Di video itu, terlihat Pak Arman sedang merekam istrinya yang sedang berdandan di ruang studio. Tapi sesuatu mengerikan terjadi. Wajah istrinya berubah perlahan menjadi hitam kelam, matanya memutih. Ia berteriak dan menyerang Pak Arman. Kamera jatuh, dan rekaman berhenti dengan suara isak tangis pria.
Tak ada penjelasan lebih lanjut. Tapi aku tahu, wanita itu tidak pernah pergi. Arwahnya masih terikat pada studio, pada foto, pada siapa pun yang berani merekam wajahnya tanpa izin.
Kini, lima tahun telah berlalu. Aku tinggal di luar kota, bekerja sebagai ilustrator. Aku tidak pernah menyentuh kamera lagi. Tapi terkadang, saat aku sedang menggambar wajah seseorang, aku merasa seperti ada yang memperhatikanku dari balik layar.
Dan di cermin, sesekali muncul pantulan wajah pucat dengan rambut panjang terurai... tersenyum samar... seolah berkata, "Aku masih di sini."
Posting Komentar