Hantu Penunggu Kebun: Kisah Mistis

Table of Contents
Hantu Penunggu Kebun, Kisah Mistis - Formula Quest Mania

Hantu Penunggu Kebun: Kisah Mistis di Balik Rimbunnya Alam

Di sebuah desa kecil di lereng pegunungan Jawa Barat, terdapat sebuah kebun tua yang sudah lama tidak terurus. Warga sekitar menyebutnya Kebun Ki Jaya, dinamai dari pemiliknya yang sudah lama meninggal. Konon, kebun itu bukan hanya ditinggalkan karena pemiliknya wafat, melainkan karena ada sesuatu yang jauh lebih menyeramkan: penunggu gaib yang menjaga tempat itu.

Rina, seorang mahasiswi jurusan pertanian dari Bandung, sedang menjalani penelitian tugas akhir tentang tanaman kopi. Ia mendengar kabar tentang kebun tua itu dari dosennya yang dulu sempat berkunjung ke desa tersebut.

"Kamu harus hati-hati kalau ke sana, Rin," kata Pak Darto, dosennya. "Kebun itu sudah lama tidak dijamah manusia. Ada cerita-cerita aneh dari warga sekitar."

Rina hanya tersenyum. "Tenang, Pak. Saya hanya butuh sampel tanah dan beberapa catatan. Paling lama dua hari saya sudah balik."

Bermodalkan keberanian dan rasa penasaran, Rina berangkat ke desa tempat kebun itu berada. Ia disambut oleh seorang warga tua, Pak Rahman, yang bersedia mengantarkannya ke kebun dengan satu syarat: jangan tinggal sampai malam.

"Kalau kamu masih di kebun setelah maghrib, jangan salahkan siapa-siapa," ucap Pak Rahman dengan tatapan serius. "Penunggunya tidak suka ada orang asing."

Rina menginap di rumah Pak Rahman, sebuah rumah panggung sederhana yang terbuat dari kayu jati. Malam pertamanya di desa itu terasa sunyi, jauh berbeda dari hiruk pikuk kota Bandung. Suara serangga dan angin yang meniup dedaunan terasa begitu jelas. Namun yang paling terasa adalah hawa dingin menusuk yang muncul tiba-tiba, terutama saat malam mulai larut.

"Pak Rahman, kenapa warga sini tidak pernah membersihkan kebun itu?" tanya Rina saat makan malam.

Pak Rahman menatap piringnya. "Dulu, ada yang mencoba. Anak muda dari kampung sebelah. Baru setengah hari bersih-bersih, dia tiba-tiba berteriak histeris dan lari ke sungai. Katanya dia melihat wanita berpakaian putih berdiri di atas pohon kopi, menatapnya tanpa mata."

Rina menelan ludah. "Tapi itu kan cuma cerita... mungkin dia halusinasi."

Pak Rahman tidak menjawab. Matanya menatap kosong ke luar jendela yang menghadap kebun jauh di balik bukit.

Keesokan harinya, Rina berangkat ke kebun. Perjalanan menuju sana memakan waktu hampir satu jam jalan kaki melewati hutan kecil dan sungai dangkal. Sesampainya di sana, rasa kagum dan kegelisahan bercampur di hatinya. Kebun itu luas, dengan pepohonan kopi yang sudah tumbuh liar. Beberapa batang pohon tampak hangus di bagian bawah, seperti bekas terbakar.

Rina mulai bekerja, mencatat kondisi tanah, memotret beberapa bagian kebun, dan mengambil sampel. Ia terlalu fokus hingga tak sadar waktu berlalu cepat. Angin tiba-tiba bertiup lebih kencang. Daun-daun berjatuhan dan langit mulai berwarna jingga kemerahan.

"Astagfirullah... udah hampir maghrib," gumamnya. Ia buru-buru membereskan barang-barangnya. Namun, saat hendak kembali ke jalan setapak, ia merasa lingkungan sekitarnya berubah. Pohon-pohon tampak lebih rapat, dan kabut tipis mulai turun.

"Halo? Pak Rahman?!" teriaknya. "Tolong! Saya tersesat!"

Tak ada jawaban. Lalu terdengar suara langkah pelan, diikuti bisikan aneh yang seperti datang dari segala arah.

"Kamu tidak boleh pergi..."

Rina menoleh. Dari balik kabut, muncul sosok perempuan berjubah putih dengan rambut panjang menutupi wajahnya. Ia berdiri diam, namun aura dingin menyelimuti udara sekitarnya. Wajahnya perlahan muncul dari balik rambut: pucat, dengan mata yang kosong dan mulut yang terus berbisik tanpa suara.

"Siapa kamu?! Jangan dekati aku!" Rina gemetar dan mundur perlahan, tapi langkahnya malah membawanya semakin dekat ke pohon kopi tua di tengah kebun. Di sana, ia terjatuh dan tubuhnya seolah tak bisa digerakkan.

Sosok itu mendekat. Tiba-tiba, dari arah lain terdengar suara keras seperti bunyi lonceng kecil, diikuti oleh suara lantunan ayat suci. Sosok itu menghilang seketika, dan Rina pingsan di bawah pohon itu.

Ia terbangun di sebuah gubuk kecil yang biasa digunakan warga untuk berteduh. Pak Rahman duduk di sampingnya bersama dua pemuda desa.

"Kamu semalaman nggak sadarkan diri," kata salah satu pemuda.

"Kami menemukannya di dekat pohon tua itu," tambah yang lain. "Untung saja masih hidup."

Rina masih gemetar. "Saya melihat dia... perempuan itu... dia bilang kebun itu miliknya..."

Pak Rahman menghela napas panjang. "Itu memang tanah terkutuk, Nak. Dulu, istri Ki Jaya bunuh diri di sana. Ada yang bilang karena dia dipaksa menyerahkan warisan tanah itu ke adik tirinya. Dia bunuh diri setelah membakar sebagian kebun sebagai bentuk protes. Sejak itu, kebun itu tak pernah tenang."

Setelah kejadian itu, Rina tetap tinggal di desa selama beberapa hari. Ia ingin memastikan dirinya pulih sepenuhnya. Namun, setiap malam, ia mengalami mimpi yang sama: sosok perempuan itu berdiri di bawah pohon kopi dan terus mengulangi kata-kata yang sama.

"Kamu harus kembalikan... kembalikan tanah ini..."

Rina akhirnya mencoba menyelidiki lebih jauh dengan bantuan Pak Rahman. Mereka menemukan bahwa tanah itu dulunya memang diperebutkan oleh dua keluarga besar, dan ada dugaan bahwa kematian istri Ki Jaya bukan murni bunuh diri. Beberapa warga percaya, arwahnya gentayangan karena belum tenang dan ingin agar kebenaran diungkap.

Setelah berdiskusi dengan tokoh adat desa, dilakukanlah ritual pemanggilan arwah dan permintaan maaf di tengah kebun. Malam itu, suara-suara aneh terdengar dari kejauhan. Angin kencang bertiup, dan suara tangisan wanita menggema di sekitar bukit. Namun keesokan harinya, kebun itu terasa lebih tenang. Tidak ada kabut, dan burung-burung mulai terdengar kembali.

Rina kembali ke Bandung dengan pengalaman yang tak akan pernah ia lupakan. Ia menulis ulang skripsinya, bukan hanya soal kondisi tanah dan pertumbuhan tanaman, tapi juga bagaimana budaya dan cerita mistis masyarakat sekitar bisa memengaruhi keberadaan suatu lahan.

Kebun Ki Jaya masih tetap tak terurus, tapi kini warga tak lagi terlalu takut. Mereka percaya, arwah perempuan itu akhirnya mendapat ketenangan. Meski begitu, tidak ada yang berani menetap terlalu lama di sana. Dan jika kau berani datang, pastikan kau pulang sebelum matahari tenggelam...

Sebab, siapa tahu bisikan itu masih menyisakan gema terakhirnya...

"Kamu tidak boleh pergi..."

Posting Komentar