Kisah Horor: Benteng Pendem Cilacap
Lorong Berdarah di Bawah Cilacap
Angin laut berhembus pelan saat Farah dan tiga temannya—Dika, Lila, dan Guntur—menginjakkan kaki di Benteng Pendem Cilacap. Mereka sedang melakukan perjalanan dokumentasi tempat bersejarah untuk konten YouTube bertema "Misteri Nusantara". Hari itu, cuaca mendung, dan benteng tua peninggalan Belanda itu tampak lebih suram dari biasanya.
"Tempat ini kelihatan biasa aja, tapi katanya banyak yang kesurupan di sini," gumam Guntur sambil mengarahkan kameranya ke lorong gelap di dalam benteng.
"Justru itu yang kita cari, kan? Semakin angker, semakin viral," sahut Farah, pemilik channel dan sekaligus penulis naskah mereka.
Petugas penjaga hanya menggeleng saat mereka meminta izin untuk merekam hingga malam hari. "Banyak yang nyesel, Mbak. Kalau sudah lewat Magrib, tempat ini bukan cuma sejarah... tapi juga jadi rumah mereka yang tak kelihatan."
Farah menganggapnya bumbu cerita. Mereka bersiap merekam saat senja tiba, menyusuri lorong-lorong lembap, dinding berlumut, dan sel-sel tua yang konon digunakan untuk menyiksa tahanan. Semua berjalan lancar sampai malam mulai turun.
"Kita bagi tim, biar lebih seru. Aku dan Dika ke bagian kiri, kamu dan Guntur ke sisi penjara," kata Farah.
Lila terlihat ragu. "Far, kamu yakin? Tadi aku kayak denger suara ketawa dari balik tembok."
"Justru itu! Kalau kita rekam, bisa jadi viral!"
Pembagian tim dilakukan, dan mereka mulai menyusuri bagian-bagian yang lebih gelap. Di sisi lorong tua, Farah dan Dika berhenti di depan sebuah pintu besi berkarat yang separuh terbuka.
"Kamu lihat ini, Dika? Ada bekas cakar di tembok," bisik Farah sambil merekam dengan ponsel.
Dika mendekat. "Itu bukan cakar, Far. Kayaknya bekas kuku... panjang dan dalam banget."
Suasana tiba-tiba menjadi dingin. Farah merinding, namun tetap merekam. Saat ia menyorot kamera ke dalam ruangan, muncul bayangan perempuan di sudut. Saat lampu dinyalakan, ruangan itu kosong.
“Dik, kamu lihat itu tadi, kan?”
Dika mengangguk, wajahnya pucat. “Far, kita balik aja. Aku nggak enak hati.”
Namun saat mereka berbalik, lorong yang tadinya mereka lewati tiba-tiba tertutup pintu besi yang mengunci sendiri. Mereka terperangkap.
Di sisi lain benteng, Lila dan Guntur menemukan sesuatu yang lebih aneh. Di dinding salah satu sel, tertulis dengan arang kata-kata Belanda yang tak mereka mengerti. Namun, yang membuat mereka merinding adalah goresan kuku dan bercak darah kering yang belum lama.
“Guntur... ini bukan sisa sejarah. Ini baru,” bisik Lila sambil mundur perlahan.
Suara ketukan mulai terdengar dari balik dinding. Satu... dua... tiga... iramanya seperti kode. Guntur mendekat, lalu dengan penasaran membalas ketukan itu. Ketika ia mengetuk dua kali, balasan muncul: tiga ketukan... lalu satu jeritan panjang dari dalam dinding.
“Lari!” teriak Lila.
Saat mereka berlari keluar, lorong berubah gelap total. Lampu senter mati mendadak, dan suara langkah kaki mengikuti mereka. Tapi ketika mereka menoleh, tidak ada siapa-siapa. Bahkan jejak kaki mereka pun lenyap dari lantai berdebu.
Di sisi lain, Farah dan Dika berhasil membuka pintu setelah mencoba menabraknya berkali-kali. Namun saat keluar, lorong yang mereka kenal tidak lagi sama. Temboknya bersih, seolah baru direnovasi. Mereka melihat dua orang tentara Belanda berdiri di ujung lorong. Tapi... tubuh mereka transparan.
"Far... kita di mana sebenarnya?" suara Dika bergetar.
"Kita harus keluar... kita harus keluar sekarang!"
Mereka berlari mengikuti cahaya remang-remang, namun setiap lorong berujung buntu. Suara-suara mulai terdengar: jeritan, tawa cekikikan, dan langkah sepatu bot menyeret. Di kejauhan, terdengar suara perempuan berbahasa Jawa kuno, “Padha mlayu... durung wayahe kowe mlebu kene...”
Sementara itu, Lila dan Guntur berhasil mencapai pintu keluar utama, namun pagar terkunci. Ponsel mereka tak ada sinyal. Guntur mencoba memanjat, tapi tangannya ditarik oleh tangan dingin dari bawah tanah. Ia menjerit.
Lila menariknya, dan melihat tangan putih penuh luka itu kembali tenggelam ke tanah dengan desis aneh.
“Ini bukan tempat manusia lagi, Gun. Kita harus cari Farah dan Dika!”
Mereka masuk kembali. Benteng kini seperti labirin yang berubah-ubah. Saat akhirnya mereka bertemu di ruang tengah, wajah mereka pucat dan penuh keringat dingin. Semua terdiam.
“Aku lihat hantu. Bukan satu... tapi puluhan. Seperti pasukan yang disiksa,” kata Dika lirih.
Farah menunduk. “Aku salah. Ini bukan konten. Ini peringatan.”
Saat mereka hendak keluar, suara lonceng tua berdentang tiga kali dari dalam benteng—padahal tidak ada jam atau lonceng di tempat itu.
“Kalau jam tiga kali... itu tandanya ada yang tidak akan keluar bersama kita,” bisik Lila, teringat kisah rakyat lokal.
Dan benar saja, saat mereka berhasil keluar dari pagar depan dengan bantuan penjaga, Guntur mendadak ambruk. Tubuhnya dingin, napasnya lemah. Matanya terbuka tapi kosong. Ia tak mengenali siapa pun.
Dokter menyatakan Guntur syok berat. Tapi yang membuat mereka ngeri adalah saat memeriksa rekaman kamera Guntur. Di dalam file terakhir, tampak Guntur berdiri diam, lalu sebuah sosok perempuan tanpa wajah muncul dari balik dinding dan berbisik di telinganya.
Rekaman terhenti di situ. File-file lainnya rusak.
Farah memutuskan menghapus seluruh proyek Misteri Nusantara. Ia menutup semua akun media sosial dan tidak pernah kembali membuat konten horor.
Namun seminggu kemudian, Lila menerima kiriman paket tanpa nama. Di dalamnya hanya ada satu kaset tua berlabel tulisan tangan: *"Kembali dan selesaikan cerita kami."*
Dan sejak malam itu, suara ketukan tiga kali selalu terdengar dari balik lemari kayu di kamar Lila…
Tiga bulan kemudian, Farah dan Lila kembali ke Cilacap. Bukan untuk membuat konten, melainkan untuk mencari jawaban. Mereka menemui Pak Suraji, mantan juru pelihara Benteng Pendem tahun 1980-an. Pak Suraji sudah tua dan matanya rabun, namun saat mendengar nama “lorong kiri dan penjara tua”, wajahnya berubah pucat.
“Kalian lihat dia?” tanyanya pelan.
“Siapa?” tanya Farah ragu.
“Perempuan itu... korban eksperimen. Konon dulu tentara Belanda menyiksa tahanan, dan satu perempuan Jawa dijadikan ‘percobaan’. Dia dikurung hidup-hidup. Sampai sekarang arwahnya belum tenang.”
Farah menunjukkan liontin yang mereka temukan di dekat pintu besi. Di dalamnya ada potongan kecil rambut.
Pak Suraji menangis pelan. “Itu milik anak perempuan saya… Sari. Dia hilang tahun 1986 saat bermain di dekat benteng. Saya… saya pikir dia diculik. Tapi... mungkin dia yang sekarang kalian lihat…”
Farah dan Lila terdiam. Dunia mereka berubah seketika. Benteng Pendem bukan hanya saksi sejarah—tapi kuburan sunyi dari jiwa-jiwa yang terlupakan.
Malam itu, mereka kembali ke benteng, membawa bunga, doa, dan liontin itu. Mereka meletakkannya di depan pintu besi yang dulu nyaris menelan mereka hidup-hidup.
Udara tiba-tiba hangat. Tidak ada ketukan. Tidak ada jeritan. Hanya suara laut dari kejauhan… dan bisikan pelan di telinga Farah: *“Matur nuwun...”*
Posting Komentar