Kucing Hitam Pembawa Petaka
Kucing Hitam Pembawa Petaka: Kisah Horor dari Kampung Pucung
Di Kampung Pucung, sebuah desa kecil di pinggiran Jawa Tengah, hidup sebuah kepercayaan yang diwariskan turun-temurun: bila seseorang melihat seekor kucing hitam dengan mata merah menyala, berarti musibah besar akan datang. Banyak warga menyebutnya “kucing jelmaan,” makhluk gaib yang menjadi pertanda malapetaka.
Kisah ini bermula saat Rendi, seorang pemuda dari Jakarta, pindah ke rumah warisan kakeknya setelah di-PHK dari pekerjaannya. Ia berniat menyepi untuk sementara, menjauh dari hiruk-pikuk ibu kota dan memulai hidup baru. Rumah itu berada di ujung desa, berdinding kayu jati tua, dan sudah lama kosong sejak kakeknya meninggal secara misterius tiga tahun lalu.
“Aneh. Rumah ini seperti tak pernah disentuh siapa pun,” gumam Rendi sambil menggeser perabotan yang tertutup debu tebal. Suasana di dalam rumah begitu suram, dan hawa dingin menusuk terasa tidak wajar di tengah siang hari.
Di atas lemari tua, Rendi menemukan sebuah buku harian milik kakeknya. Halaman-halamannya berisi catatan harian biasa, namun di bagian belakang, ada tulisan mencurigakan:
“Jangan tatap matanya. Jika kau melihatnya, pergi dan jangan kembali. Dia masih menjaga rumah ini.”
Rendi mengernyitkan dahi. “Apaan sih, kek... percaya tahayul begini?” pikirnya, menganggap itu hanya lamunan orang tua.
Tapi malam pertamanya langsung mengubah segalanya. Sekitar pukul dua dini hari, ia terbangun karena mendengar suara cakaran pelan dari arah pintu belakang. Saat membuka tirai jendela, Rendi melihat seekor kucing hitam berdiri diam di tengah halaman. Matanya menyala merah seperti bara api. Kucing itu menatap langsung ke arahnya.
"Hanya kucing..." bisiknya sambil menutup tirai, namun jantungnya berdetak kencang tak karuan.
Keesokan harinya, Rendi menceritakan kejadian itu kepada Bu Warti, tetangga sebelah rumah yang sudah lanjut usia.
“Matanya merah menyala, Bu. Rasanya seperti... dia tahu saya,” kata Rendi gugup.
Wajah Bu Warti langsung berubah pucat. “Nak, kamu harus pergi. Itu bukan kucing biasa. Kami menyebutnya ‘Penjaga Batas’. Ia muncul hanya saat batas antara dunia kita dan dunianya melemah. Dan itu berarti... seseorang akan diambil.”
Rendi tertawa canggung. “Masa iya, Bu? Saya ini anak kota. Nggak percaya yang kayak gituan.”
Namun ketakutan mulai menghantuinya. Suara-suara aneh kerap terdengar di malam hari: langkah kaki di atas atap, bisikan samar dari pojok ruangan, bahkan tangisan lirih yang seolah berasal dari balik dinding.
Di hari ketiga, Rendi memutuskan mencari tahu lebih dalam. Ia mendatangi Pak Sukarno, kepala desa sekaligus dukun tua yang dikenal masih memegang adat dan spiritual kuno.
“Kakekmu menyembunyikan sesuatu. Dulu ia pernah menyelamatkan seseorang yang diburu oleh makhluk dari luar dunia,” ujar Pak Sukarno dengan suara serak.
“Lalu makhluk itu marah?” tanya Rendi.
“Makhluk itu bukan marah... tapi mengikat perjanjian. Kakekmu menolak memberikannya kembali, maka rumah ini dikutuk menjadi penjara antara dua dunia. Dan kucing itu... adalah penjaga gerbang.”
Rendi kembali ke rumah dengan kepala penuh kebingungan. Ia tak tahu harus percaya atau tidak, tapi malam itu semuanya menjadi nyata. Sekitar tengah malam, listrik padam. Hawa menjadi dingin, napas pun terlihat berembun. Tiba-tiba terdengar suara cakaran di lantai atas. Padahal, rumah itu hanya satu lantai.
Rendi mengikuti suara itu. Saat membuka pintu gudang di belakang rumah, ia melihat anak tangga kayu menuju ruang rahasia di bawah tanah. Ruangan itu gelap, tapi dari celah lantai, tampak cahaya merah samar memancar. Ia turun perlahan. Ruangan itu ternyata dipenuhi simbol-simbol aneh di dinding dan bau dupa menyengat.
Di tengah ruangan ada kandang besi, dan di dalamnya... seekor kucing hitam. Tapi kali ini, tubuhnya besar seperti anjing, matanya menyala lebih terang, dan ia berbicara.
“Kamu cucu Jaya?”
Rendi membeku. Lidahnya kelu.
“Dia berjanji mengembalikanku... tapi melanggar. Sekarang, kamu yang membayar...”
Seketika, pintu ruang bawah tanah menutup sendiri. Lampu minyak di dinding padam, dan ruangan menjadi gelap gulita. Rendi menjerit, tapi suara itu tak terdengar keluar.
Keesokan harinya, Bu Warti menemukan rumah Rendi terbuka. Di lantai ruang tamu, hanya ada cakar besar dan buku harian kakek Rendi terbuka di halaman terakhir yang kini bertuliskan:
“Satu lagi telah diambil.”
Warga pun geger. Mereka melakukan upacara adat pemurnian. Pak Sukarno memimpin ritual yang melibatkan doa, sesajen, dan pembakaran dupa di setiap sudut rumah. Namun saat ritual hampir selesai, seekor kucing hitam muncul dari balik bayangan dan menatap seluruh warga dengan mata merahnya. Dalam sekejap, dupa padam, dan semua warga yang hadir merinding bersamaan.
"Dia belum puas..." ucap Pak Sukarno. "Selama gerbang itu belum ditutup, akan terus ada korban."
Kini rumah tua itu dikosongkan dan dipagari bambu kuning. Warga tak berani mendekat, terutama saat malam Jumat Kliwon. Kadang terdengar suara cakaran dari dalam rumah. Ada yang mengaku melihat bayangan Rendi berdiri di balik jendela, matanya merah seperti kucing itu, menatap siapa pun yang lewat.
Bu Warti, satu-satunya yang masih berani tinggal di dekat rumah itu, hanya berkata lirih, “Kalau kau melihat kucing hitam itu menatapmu, jangan tatap balik. Jangan balik ke rumahmu. Pergilah sejauh mungkin. Karena kalau dia mengikutimu... kamu akan jadi korban selanjutnya.”
Dan kucing itu masih ada. Duduk diam di atap rumah, menunggu. Siapapun yang cukup penasaran, cukup berani, atau cukup bodoh untuk datang dan mencari tahu... mungkin akan jadi cerita berikutnya.
Apakah kamu berani datang ke rumah itu? Atau... mungkin kamu sudah melihat matanya malam ini?
Posting Komentar